Halo!

Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 23

Memuat...

“Engko Thian In, kau....kenapa kau tidak hendak....bunuh lagi aku yang hina ini? Sudah tidak marah lagikah kau kepadaku?”

Untuk beberapa lama Thian In tak dapat menjawab hanya menghela napas berkali-kali.

“Nona Ong, aku dapat bayangkan betapa kebenciannya kepadaku! Aku telah berusaha membunuh kau dan ayahmu! Ah, aku memang orang rendah yang tak berguna. Membalaskan sakit hati ibu tak berhasil, sebaliknya aku yang hina telah membalas cinta kasih dan kebaikan hati ayahmu dengan pedang! Aah, tapi... aku tak berdaya...aku harus! Aku harus bunuh ayahmu! Aku harus bunuh dia! Nona Ong katakan, di mana dia? Di mana ayahmu, orang kejam terkutuk itu. Tiba-tiba saja Thian In berdiri dan memandang Giok Cu dengan wajah beringas. Giok Cu terkejut, tapi ia tidak takut. Tidak seperti dulu, ia hadapi kemarahan. Thian In dengan kemarahan pula. Sekarang ia bahkan tutup mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu.

“Kau hendak bunuh ayah? Bunuhlah saja aku! Kau sakit hati kepada ayah? Biarlah aku yang menebusnya. Engkoh Thian In, kau kau bunuhlah aku, aku rela mati di tanganmu, apalagi kalau kematianku ini untuk...menebus...sakit hatimu terhadap ayah ”

Thian In kepal-kepal tangannya dan ia bicara seperti kepada diri sendiri: “Dulu...dulu ada dia yang melindungi kau dan ayahmu hm kalau tidak, sudah impasla! Sudah selesailah kewajibanku. Tapi, ah, kau

bukanlah musuhku. Aku tak menghendaki jiwamu. Aku tak dapat membunuhmu. Ayahmu itulah orangnya yang harus kubunuh demi baktiku kepada ibu. Di mana ayahmu?”

“Ayah...ayah telah meninggal dunia dan Giok Cu tekep mukanya lalu menangis sedih.

Thian In pucat mukanya. Berita ini mengejutkannya karena memang tidak disangkanya sama sekali. “Meninggal dunia? Aah, mengapa? Bagaimana terjadinya? Aku terlambat ”

“Biarpun kau tidak membunuhnya dengan ujung pedang, tapi kematiannya karena kau juga. Kau tertawalah, kau puaslah. Bergembiralah kau karena sesungguhnya ayahku meninggal dunia karena kau!”

“Apa katamu? Mengapa begitu?”

“Ayah meninggal dunia karena....karena hatinya terpukul. Karena malu. Kau telah mencemarkan nama keluarga kami: “Tidak tahukah kau betapa kau telah menghina kami, menghina nama keluarga kami, menghina ayah dan menghina aku? Kau sedia akan menjadi mantu ayah, tapi...tapi...justru pada saat perkawinan...kau...kau hendak membunuh kami. Sedangkan para tamu tahu belaka akan hal itu. Ayah tak dapat menahan kesedihan dan malunya hingga ia jatuh sakit...dan meninggal dunia...Bukankah hal ini berarti bahwa kau telah membunuhnya? Telah membalasnya jika benar-benar dia berhutang kepadamu?”

Thian In menundukkan kepala. “Aku tak puas. Aku tak rela ia mati dalam keadaan demikian. Aku belum begitu rendah untuk melakukan pembalasan dendam secara pengecut dan rendah itu. Kau tahu sendiri...tadinya aku tidak tahu bahwa ayahmu adalah musuhku. Tadinya dengan jujur aku memasuki sayembara, dengan jujur...ingin kawin dengan engkau. Tapi pada saat perkawinan dilangsungkan barulah aku tahu bahwa ia adalah musuhku, bahwa kau adalah anak musuh besarku, bahwa kita...tak mungkin menjadi suami isteri ayahmu, untuk membunuh kau juga, tapi aku tak berhasil. Ayahmu mati karena perbuatanku yang memang rendah, walaupun tak kusengaja. Kau....kau mencari aku untuk membalas

dendam?”

Giok Cu mengangguk. “Memang! Tadinya aku merasa sakit hati sekali dan tinggalkan rumah untuk mencarimu. Untuk menuntut balas! Tapi...aku tak dapat....kau..engko Thian In, kau harus terangkan padaku mengapa kau sakit hati kepada ayah. Barulah hatiku bisa tentram, barulah penasaran dalam hatiku dapat lenyap.

Thian In memandang kepada Giok Cu dengan heran, kemudian dengan pandangan penuh hati iba. Ia dapat meraba perasaan gadis cantik ini. Pengakuan yang baru saja diucapkan gadis itu adalah pembukaan rahasia hatinya. Gadis ini mencinta padanya. Tapi betapa tidak? Bukankah ia pemuda pilihan dalam sayembara yang telah kawin padanya, walaupun perkawinan resmi itu belum selesai? Thian In merasa bingung dan menghela napas, penuh penyesalan.

“Sayang dulu aku tak berhasil membunuh ayahmu. Kalau berhasil, tentu kau akan merasa dendam padaku dan akan membenciku selama hidup. Sayang kau dan ayahmu berada dalam lindungannya. Oo, ya, di manakah dia?”

Giok Cu heran. “Dia? Dia siapakah yang kau maksudkan? Dan berapa kali kau katakan pelindung, siapakah yang kau maksudkan?”

“Dia itu, kawanmu dulu itu, pemuda yang berlagak sastrawan ”

“Ooo, kau maksudkan Gan Kam Ciu?”

Thian In mengangguk. “Ya, siapa lagi. Di manakah pelindungmu yang gagah dan lihai itu?”

Giok Cu terkejut bukan main. “Eh, eh, jangan kau permainkan namanya. Biarpun ia hanya seorang sastrawan yang lemah, tetapi ia seorang pemuda yang baik dan jujur. Selama hidup aku takkan melupakan kebaikan hatinya.”

Thian In tertegun. “Pek I Lihiap! Kau seorang gadis pendekar yang pandai ilmu silat. “Benar-benarkah kau begitu bodoh hingga menyangka bahwa Gang Kam Ciu itu seorang sastrawan lemah?” Tiba-tiba Thian In tertawa bergelak, “Lucu! Lucu! Bukan aku yang sekarang merasa heran sekali mengapa kau dan ayahmu main-main, tapi kaulah yang hendak mempermainkan aku. Sampai mengadakan sayembara pilih mantu yang lihai dalam ilmu silat dan ilmu surat? Padahal di dekatmu ada pemuda seperti Kam Ciu! Terus terang saja, sepuluh kali lipat ia lebih pandai dariku, baik dalam ilmu silat maupun dalam ilmu kesusasteraan.”

Giok Cu memandang wajah Thian In dengan mata terbelalak dan mulut ternganga heran. Ia tidak mau percaya dan anggap bahwa Thian In sengaja mempermainkannya atau menyindirnya. Thian In dapat menduga keraguan gadis itu, maka ia berkata:

“Nona Ong, memang mungkin kau tidak tahu, sedangkan aku sendiri yang tinggal sekamar dengan dia juga tadinya tertipu. Tahukah kau, siapa yang dulu menjatuhkan aku dan menolong kau dan ayahmu? Siapakah yang menotoku dan membuat aku tak berdaya hanya dengan beberapa butir buah kerikil? Siapa pula yang membantuku ketika aku bertempur melawan Hoan Tin-cu dengan sindiran tentang ular dan burung? Semua itu bukan lain ialah perbuatan pemuda sastrawan yang kau anggap lemah itu!”

“Dia...? Dia....?? Tapi...ayah dulu bilang bahwa yang dapat menggunakan batu untuk menotok orang hanyalah Hong-san Lojin. Apakah dia murid locianpwee itu?” “Entahlah, tapi yang kutahu jelas ialah kepandaiannya yang hebat. Ingatkah kau dulu Hoan Tin-cu pernah menjura dan menyerang secara gelap kepadanya? Ia hanya duduk tertawa saja dan diam-diam memukul kembali serangan tosu itu! Ah aku sendiri masih geli memikirkan betapa bodohnya kita dapat ditipu sedemikian rupa!”

Sementara itu Giok Cu duduk termenung dengan pandangan jauh. Pikirannya melayang tak karuan. Ia teringat betapa baiknya pemuda sastrawan itu terhadapny, sungguhpun lamarannya dulu telah ditolak mentah-mentah dengan alasan bahwa Kam Ciu tidak pandai silat! Ah, mengapa begitu? Mengapa dul pemuda itu tidak terus terang saja dan memperlihatkan diri sebenarnya? Mengapa pemuda itu rela lamarannya ditolak dari pada membuka rahasia dirinya? Tapi ia dapat menguasai diri dan tunjukkan perhatiannya kepada Thian In, pemuda yang sedianya menjadi suaminya tapi yang kini seakan menjadi musuh itu!

Cobalah, ceritakan padaku tentang sakit hatimu,” katanya. Thian In menghela napas beberapa kali kemudian berkata:

“Baiklah, memang seharusnya kau tahu pula duduknya perkara agar kau tidak manjadi penasaran.”

Tapi Thian In tidak lanjutkan kata-katanya, bahkan miringkan kepala seakan-akan ada sesuatu yang didengarkan. Giok Cu merasa heran dan curahkan perhatiannya untuk mendengar pula. Benar saja, ada tindakan kaki orang di atas genteng! Tindakan kaki itu demikian ringan hingga kalau tidak didengar dengan teliti, tentu takkan terdengar orang.

Sebelum mereka berdua dapat berbuat sesuatu, tiba-tiba ada bayangan orang melayang turun dan tahu- tahu seorang tosu yang bermuka kejam dengan pakian mewah berwarna kuning keemasan berdiri di depan pintu kamar mereka yang merupakan jeruji besi yang kuat. Melihat tosu itu menyeringai memandang mereka, Giok Cu loncat berdiri dengan wajah pucat karena ia kenali tosu itu yang bukan lain Gang Ong Tosu, pendeta siluman yang sangat lihai dan yang pernah menculiknya dulu!

“Ha, ha, ha! Pek I Lihiap yang manis jelita ternyata benar-benar orang yang berani mengganggu anak Kwie-san. Aku tahu, aku tahu, selain kau si cantik manis siapa lagi yang berani? Hayo kau turut aku ke Kwie-san!” Setelah berkata begini tosu itu gunakan kedua tangannya memegang jeruji-jeruji besi itu dan sekali betot saja ia berhasil membongkar pintu besi yang belum tentu dapat terbongkar oleh tubrukan seekor kerbau!

Thian In meloncat mundur sambil mencabut pedangnya dan membentak: “Tosu, siluman dari mana berani kurang ajar?”

Tosu itu memandang dan ketika melihat pedang Thian In yang digerak-gerakkan dalam persiapan, ia berkata: “He, gerakan pedangmu menyatakan bahwa kau adalah murid Gak Bong. Benarkah?”

Thian In terkejut sekali. Baru melihat ia mencabut pedang dan menggerakkan sedikit saja tosu itu sudah dapat tahu bahwa ia adalah murid Gak Bong Tosu! Ia merasa heran siapakah tosu siluman yang kenal pada Pek I Lihiap dan juga agaknya kenal pula dengar gurunya ini!

“Gak Bong Tosu adalah suhuku. Siapakah engkau?”

“Ha, ha, ha! Memang Gak Bong bukan orang baik-baik. Ia tidak bisa mengajar adat kepada muridnya. He, kau muridnya Gak Bong! Siapa namamu? Kau kurang ajar sekali berani-sekali berlaku tidak sopan terhadap susiokmu sendiri?”

Gemetarlah tubuh Thian In. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang sute bernama Gak Ong Tosu tapi agaknya suhunya tidak suka kepada sute ini. Apakah tosu ini Gak Ong?

Giok Cu berbisik di dekatnya: “Ia adalah Gak Ong Tosu, tosu siluman yang dulu pernah menculikku, baiknya aku ditolong oleh gurumu!”

Pucatlah wajah Thian In. Terpaksa ia berlutut dan berkata: “Maaf, susiok. Teecu tidak tahu sedang berhadapan dengan susiok maka berlaku kurang ajar. Terserah kepada susiok kalau hendak mengajar kepada teecu.” Sementara itu, Gak Ong Tosu telah masuk ke dalam kamar dan tertawa bergelak. “Nah, begitulah seharusnya. Tapi kau tadi berlaku sangat kurang ajar! Kesinikan pedangmu!” Thian In angsurkan pedangnya dan Giok Cu sudah siap dengan pedangnya pula dengan hati berdebar karena ia hendak membela mati-matian jika tosu siluman itu akan mencelakakan Thian In. Tapi dengan gunakan jari telunjuk dan ibu jari, tosu itu tekan pedang Thian In.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment