Halo!

Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 21

Memuat...

“Sesuai dengan sumpahmu, kita di depan suhu dulu. Kau harus ikut aku pulang ke Lang-san, segala ilmu yang kau pelajari di sana harus kau kembalikan dan kau harus lepaskan nyawa dari tubuhmu yang kotor itu di depan makam suhu.”

Tiba-tiba sikap Gak Ong Tosu berubah beringas. “Enak saja kau bicara! Apakah kau anggap ayam saja demikian mudah menyerah hendak kau sembelih? Ha, ha! Gak Bong kalau kau sudah lupakan perhubungan suheng dan sute, biarlah kita menjadi musuh. Aku tidak takut padamu. Kau baru boleh bawa aku ke Lang-san kalau kau mampu kalahkan aku!”

“Aku tahu kau akan membangkang, Gak Ong! Tapi baik hidup maupun mati kau harus ikut aku ke Lang- san!”

“Kaulah yang akan mampus di sini!” Gak Ong berteriak keras dan maju menubruk. Gak Bong berkelit dan sebentar lagi Giok Cu hanya melihat dua bayangan berputar-putar bagaikan menjadi satu hingga biarpun matanya telah terlatih namun tetap ia tak dapat bedakan mana Gak Ong, mana Gak Bong! Giok Cu rasakan matanya menjadi kabur dan kepalanya pening hingga terpaksa ia lepaskan pandangan matanya dari mereka. Ketika ia memandang kembali ternyata mereka telah lenyap dan ia hanya mendengar suara Gak Ong Tosu berseru:

“Gak Bong! Kalau kau memang gagah, datanglah ke Kwie-san!”

Dari jauh Giok Cu mendengar jawaban Gak Bong Tosu! Tunggulah saja, manusia sesat, saatmu pasti akan tiba!”

Kemudian keaadaan menjadi sunyi dan Giok Cu berada seorang diri di hutan itu. Ia memandang ke atas sambil termenung ia melihat bulan-bulan terang berjalan-jalan di atas mega. Pikirannya making bingun. Yang masih berat menekan pikirannya ialah kenyataan bahwa Bu-eng-cu Koay-hiap bukan Souw Thian In! Thian In adalah murid Gak Bong Tosu, sedangkan tadi ia mendengarnya bahwa Gak Bong Tosu tidak menyebut nama pemuda penolongnya itu sebgai murid! Sedangkan Bu-eng-cu juga tidak menyebut guru kepada Gak Bong Tosu. Siapakah pemuda itu? Siapakah Bu-eng-cu Koay-hiap? Mengapa selalu menolongnya? Dan kenapa setelah menolong selalu tidak mau memperlihatkan diri?

Dengan pikiran dan tubuh lemas Giok Cu pungut kedua senjatanya yang terlepas dari pegangan ketika ia lepaskan dari totokan tadi, lalu ia berjalan kembali ke kota Hay-tin. Ketika memasuki kota, maka ia disambut oleh para ahli silat dengan tercengang keheranan, tapi penuh kegembiraan bahwa nona pendekar itu ternyata tidak mengalami bencana seperti yang mereka khawatirkan.

Lebih-lebih guru silat Kwa. Ia menyambut Giok Cu dengan seribu satu macam pertanyaan. Giok Cu hanya menjawab singkat:

“Siluman itu telah terusir pergi oleh orang yang lebih pandai darinya. Bahkan aku pun ditolong olehnya. Kini jangan kalian ikut lagi, siluman itu takkan kembali ke sini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia tinggalkan kota itu, diantar oleh para penduduk yang berterima kasih kepadanya. Ia menuju terus ke utara, melalui bukit dan hutan.

Pada suatu hari, ia sampai di kota An-ting. Kota ini letaknya di daerah pegunungan, dengan sebelah timur mengalir sungai Huang-ho yang terkenal dan di sebelah utara berdirilah Tembok Besar ban-li-tiang-sia dengan megahnya sebagai lambang kekuatan Tiongkok.

Karena kota itu tidak terlalu besar, maka terpaksa Giok Cu harus merasa puas mendapat kamar dalam sebuah rumah penginapan yang sederhana. Ia melihat bahwa keadaan kota itu d alam suasana gembira. Maka ia minta keterangan kepada pelayan yang menuturkan dengan wajah berseri:

“Kownio, kau beruntung sekali masuk ke kota ini pada hari ini, karena selama tiga hari berturut-turut dan mulai hari ini, patung Kwan Im dari Kwan Im-bio di kota ini akan diarak menuju ke bukit Ho-san di mana telah dibangung sebuah bio baru untuk Kwan Im Pouwsat. Banyak tontonan akan diadakan di antaranya barongsay dan tari liong.”

Girang hati Giok Cu mendengar itu karena sudah lama ia tidak melihat keramaian dan hiburan. Maka dengan hati senang ia keluar dari kamar dan melihat-lihat. Banyak tontonan dimainkan orang di kota itu. Bahkan ada serombongan tukang silat yang mempertontonkan kepandaiannya di sebuah panggung. Suara tambur gembreng menulikan telinga.

Sebagai seorang ahli silat tentu saja panggung inilah yang paling menarik hati Giok Cu. Ia berdiri di tempat yang enak dan melihat dengan penuh perhatian. Tapi ia kecewa karena pemain-pemain silat yang mempertunjukkan kepandaian mereka itu hanyalah orang-orang biasa saja.

Tapi ketika mereka itu mundur dan lari dari belakang, loncat pemain barongsay. Ia menjadi kagum. Pemain barongsay itu bergerak dengan lincah sekali sedangkan permainan kakinya demikian gesit dan hidup seakan-akan barongsay tulen! Pembantunya yang main di belakangnya adalah seorang anak tanggung yang juga indah gerak kakinya. Permainan barongsay ini disambut denga tepuk tangan riuh rendah.

Giok Cu bertanya kepada seorang kakek yang berdiri di dekat: “Lopeh, pandai sekali pemain barongsay itu. Siapakah dia?”

Orang tua itu tersenyum kepadanya. “Ia adalah Ong Sin dan adiknya, pemain barongsay terbaik di kota ini.

Barongsay itu mempermain-mainkan cu atau mustika yang terbuat daripada kain membungkus bola dari bambu. Cu itu digantungkan kelenengan-kelenangan kecil hingga ketika dilempar, digigit lalu dikejar oleh barongsay itu mengeluarkan bunyi tang-tang-ting-ting lebih menghidupkan permainan barongsay. Memang indah permainan Ong Sin hingga diam-diam Giok Cu kagum dan bangga karena permaian itu masih satu she dengan dia.

Tiba-tiba dari bawah panggung loncat seorang tinggi besar yang dengan sekali tendang saja sudah membuat cu atau mustika itu terlempar ke bawah panggung. Penonton-penonton me njadi tegang karena mereka tahu bahwa ada orang hendak mencoba kepandaian barongsay itu! Memang di kota itu terdapat semacam peraturan, yaitu apabila ada permainan barongsay, maka siapa saja diperbolehkan ikut bermain seakan-akan menjadi lawan barongsay itu. Jika orang itu sampai kena gigit sedikit saja ujung baju atau anggota badannya maka ia dinyatakan kalah. Tapi sebaliknya jika ia dapat cabut jambul sutera di kepala barongsay itu, ia dianggap menang atau gagah. Harus diketahui bahwa pemegang ekor atau pembantu pemain barongsay itu boleh membantu kepalanya dan boleh mengeroyoknya.

Telah banyak orang gagah mencoba untuk mencabut jambul di barongsay yang dimainkan Ong Sin. Tapi mereka gagal semua dan dikalahkan, hingga pemain barongsay Ong Sin yang muda itu menjadi terkenal dan dianggap pemain yang terbaik dan terpandai. Sudah lama juga tak seorangpun berani coba-coba lagi, tapi tak disangka kini ada orang tinggi besar itu yang loncat menantang. Yang membuat para penonton tidak senang ialah cara orang itu menantang. Biasanya jika ada orang hendak mengajak bermain ia loncat dan cepat ambil bola cu itu lalu diangkat tinggi di atas kepala, baru dilemparkan ke arah penonton untuk menyimpannya sebentar. Tapi orang tinggi besar itu dengan kurang ajar sekali menendang begitu saja hingga cu terlempar ke tanah. Ini merupakan penghinaan besar terhadap Ong Sin.

Tapi ketika orang-orang memandang orang itu, mereka tidak berani mencela karena wajah orang itu sungguh-sungguh bengis dan menakutkan. Sebaliknya Ong Sin berlaku tenang. Ia mainkan barongsaynya dan tekuk kaki kiri ke belakang hingga tubuhnya merendah. Gerakan ini ialah berarti memberi hormat kepada yang datang. Tapi si tinggi besar hanya mengangguk perlahan dan berkata keras: “Jagalah jambul dan nyawamu!”

Berbareng dengan kata-katanya ini, si tinggi besar segera loncat menyambar jambul barongsay itu, tapi barongsay itu seperti hidup dan bermata, dengan gesit sekali ia berkelit dan kepalanya bergerak memutar hendak menggigit lengan si tinggi besar yang menjadi kaget dan tidak menyangka akan gerakan secepat itu hingga ia buru-buru loncat ke belakang! Para penonton bersorak memuji.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment