Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 19

NIC

Kepala pendeta memberitahu padanya bahwa jalan yang menuju ke utara itu akan bercabang, yang kiri menuju ke kota Siong-ek dan yang ke kanan menuju ke kota Hay-tin.

“Kalau nona hendak merantau, lebih baik nona pergi ke Siong-ek saja, karena selain di situ lebih banyak terdapat pemandangan-pemandangan indah, juga pada waktu ini di kota Hay-tin tidak aman.”

“Tidak aman? Apakah di situ terganggu oleh perampok?” tanya Giok Cu.

“Bukan perampok biasa, tapi lebih tepat disebut siluman,” pendeta itu menjawab dengan sikap takut. “Beberapa orang kota Hay-tin pergi mengungsi dan yang lewat di sini semua membawa cerita yang menyeramkan.”

“Apakah yang terjadi?” tanya Giok Cu bertanya.

“Telah hampir sebulan di kota ini berjangkit semacam penyakit hebat! Tapi yang selalu menjadi korban adalah anak-anak bayi atau anak-anak gadis yang cantik. Orang tidak tahu bila terjadinya, tapi tahu-tahu orang melihat seorang gadis cantik atau seorang anak bayi telah mati di dalam kamarnya dalam keadaan yang menyeramkan. Lebih-lebih anak bayi perutnya telah dibelek dan jantungnya lenyap dicuri!

Giok Cu rasakan bulu-tengkuknya berdiri dan ia merasa ngeri dan serem. Ia pandang pendeta itu dengan sangsi. “Memang kabar ini luar biasa dan sukar dipercaya,” pendeta itu menyambung. Tapi bagaimana juga dengan adanya bukti banyak orang lari mengungsi dari kota Hay-tin, pasti di sana terjadi apa-apa yang hebat dan menyeramkan. Maka lebih baik nona jangan menuju ke kota yang sedang dilanda malapetaka itu.”

Tapi pendeta itu tidak kenal dan tidak tahu akan keberanian gadis itu. Kalau ia tidak ceritakan hal yang seram-seram dan aneh-aneh itu mungkin Giok Cu akan tertarik bujukannya dan pergi ke Siong-ek. Tapi kini setelah mendengar berita itu, biarpun dilarang agaknya Giok Cu takkan mundur untuk menyaksikan sendiri keadaan yang ganjil itu. Selain dari pada keingin tahu ini, iapun merasa penasaran dan marah sekali.

“Tidak adakah orang-orang gagah di kota itu untuk basmi kejahatan itu?” tanyanya penasaran.

Pendeta itu geleng-geleng kepala dan menghela napas. “Itulah yang celaka. Guru-guru silat dan para enghiong sudah berusaha membasminya tapi apakah daya orang-orang gagah melawan siluman? Akibatnya tiga guru silat binasa. Karena itu sampai sekarang iblis itu masih terus merajalela.”

Hawa marah yang bergelora dalam dada Giok Cu tak dapat tertahan lagi. Matanya berapi-api hingga pendeta itu menjadi takut. “Aku harus basmi iblis itu!” Giok Cu berkata keras lalu lari keluar dan cempak kudanya, tinggalkan pendeta yang berdiri dengan tubuh gemetar sambil berkali-kali mengucap “O-mi-to- hud!”

Setelah bedal kudanya beberapa lama, benar saja Giok Cu bertemu dengan jalan simpang kanan kiri. Tanpa ragu-ragu lagi Giok Cu belokkan kudanya ke kanan, menuju ke kota Hay-tin, kota yang sedang diganggu siluman itu!

Setelah balapkan kudanya kira-kira tiga puluh li jauhnya, Giok Cu tiba dipinggir sebuah kota. Tembok yang mengelilingi kota itu berwarna merah dan tidak berapa tinggi. Pintu tembok terpentang lebar. Benar saja, kota itu tampak sunyi. Di antara sepuluh buah toko yang buka hanya dua tiga, kebanyakan menutup tokonya. Di jalan-jalan yang kelihatan hanya laki-laki yang membekal senjata dan wanita-wanita tua. Tak kelihatan seorang perempuan muda atau perempuan yang menggendong bayi! Benar-benar merupakan kota mati!

Ketika Giok Cu jalankan kudanya memasuki kota itu, semua orang yang melihatnya menjadi heran dan memandangnya dengan mulut ternganga, tapi gadis itu tak hiraukan semua pandangan itu, lalu terus saja mencari kamar di sebuah penginapan.

Baru saja ia memasuki kamarnya, pelayan hotel memberitahukan bahwa di luar ada Kwa Loya ingin berjumpa.

“Siapakah Kwa Loya itu?” tanyanya.

“Kwa Loya adalah guru silat yang paling ternama di kota ini.”

Giok Cu lalu keluar dan menyambut tamunya di ruang tengah. Setelah memperkenalkan diri, guru silat she Kwa itu lalu berkata dengan halus:

“Nona, agaknya nona orang asing di sini. Sebetulnya, tadi ketika nona masuk kota ini kami sudah hendak memberitahu agar nona dapat lewati saja kota kami yang terkutuk ini. Tapi melihat bahwa nona membawa pedang, kami rasa nona adalah seorang ahli yang dapat diajak bicara segolongan. Ketahuilah nona bahwa kota ini sedang terganggu oleh...”

“Iblis pengganggu wanita?” Giok Cu menyambung sambil tertawa. “Aku sudah mendengar tentang hal itu, tuan Kwa, dan justeru karena itulah maka aku datang ke kota ini.”

Mendengar kata-kata yang jumawa ini Kwa-suhu memandang ke arah gadis itu. “Nona, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, tapi tahukah kau betapa lihainya siluman yang mengganggu kota ini? Harap kau jangan main-main dengan jiwa dan lebih baik menyingkirlah dari sini sebelum terlambat!”

“Aku tidak takut. Pertama, aku ingin melihat bagaimana macam iblis itu, kedua aku tak percaya bahwa ia adalah siluman, kurasa ia adalah siluman biasa.”

“Adakah manusia, bagaimana jahatpun ia tega membelek perut bayi-bayi untuk mengambil jantungnya?”

Kembali Giok Cu bergidik mendengar ini dan pada saat itu Giok Cu berseru: “Awas!” ulur tangannya menyambut sebatang piauw yang menyambar ke arah leher orang she Kwa itu! Ketika tangannya menyambut barang itu, Giok Cu merasa betapa besar tenaga orang yang menyambitnya, lebih-lebih ketika ia melihat bahwa piauw itu bukan lain hanyalah sebatang kayu basah?”

“Bangsat jangan lari!!” Giok Cu berseru dan loncat ke atas genteng, di mana ia celingukan mencari-cari. Tapi tak tampak bayangan seorangpun. Ia loncat turun kembali, disambut oleh guru silat she Kwa itu yang kini berwajah girang.

“Sukur kau keburu menolong, Lihiap. Ternyata kepandaianmu cukup tinggi. Kalau begitu marilah kita bersama kawan-kawan coba membasmi siluman ini!” Guru silat itu melihat kepandaian Giok Cu, tiba-tiba menjadi tabah dan semangatnya timbul kembali. Tapi diam-diam Giok Cu sangsi adakah ia akan sanggup melawan penjahat yang dari sambitannya saja ia tahu mempunyai kepandaian yang sangat lihai! Tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Ia akan lawan sekuat tenaga.

“Baiklah saudara Kwa. Mudah-mudahan saja dengan bantuan pedang dan sabuk suteraku, aku akan dapat ikut membasmi setan itu. Kata-kata ini diucapkan oleh Giok Cu dengan sejujurnya, tapi tanpa merasa ia memperkenalkan diri sendiri, karena guru silat itu memandangnya dengan mata terbelalak lalu berkata:

“Lihiap, kalau begitu kau kau adalah Pek I Lihiap?”

Giok Cu mengangguk, dan orang she Kwa yang telah lama mendengar nama Pek I Lihiap yang mulai termasyhur, memandangnya kagum dan sikapnya menjadi ramah dan hormat.

“Bagaimana diaturnya untuk menempur si paman itu, lihiap?”

“Bilakah keluarnya siluman itu dan tahukah kau di mana tempat sembunyinya?”

“Biasanya ia keluar di waktu malam, lihiap. Ia keluar dengan berterang karena suara ketawanya yang menyeramkan terdengar sampai di mana-mana. Suara ketawa itu saja cukup membuat orang menjadi lumpuh!”

“Bagaimana bentuk badan dan mukanya?”

“Tubuhnya tinggi besar dan kepalanya ditumbuhi rambut panjang yang riap-riapan. Tapi bagaimana rupanya tak seorangpun dapat melihatnya karena gerakannya demikian cepat hingga kami hanya melihat bayangannya saja.”

“Kalau begitu, baik kita kepung saja dia, jika malam nanti dia keluar. Biarkan aku bertempur dengan dia. Jika kiranya dia terlalu kuat bagiku, barulah kalian turun tangan ramai-ramai.”

Setelah bertanding, guru silat itu lalu pamit untuk memberi tahu kawan-kawannya dan mengatur barisan pengepungan. Giok Cu biarpun tidak percaya penuh keterangan guru silat itu, namun hatinya agak khawatir. Ia duduk bersemadhi untuk tenangkan pikiran, tetapi duduknya tak dapat diam karena wajah Thian In selalu terbayang di depan matanya. Teringat akan Thian In, hatinya agak lega dan kekhawatirannya berkurang. Bukankah pemuda itu selalu melindunginya? Buktinya ketika ia akan diserang harimau dan ketika ia bertempur melawan Gan Tin Cu, ia selalu tertolong! Tentu kali ini pula penolong itu tidak berada jauh darinya. Tapi ketika memikir sampai di sini, kembali timbul keragu-raguan di dalam hatinya. Benarkah penolong itu Be-eng-cu Koay-hiap dan jika benar, adalah Koayhiap itu Souw Thian In? Hal ini selalu meragukannya dan merupakan teka teki baginya.

Posting Komentar