Pendekar Tongkat Dari Liong-san Chapter 27

NIC

Thio Sui Kiat tadinya merasa betapa telapak tangan pemuda yang menerima cangkir itu lemas bagaikan kapas sehingga ia kagum sekali. Tapi setelah Kong Lee menambah dengan lwee-kang kedua, maka tangan pemuda yang tadinya lemas, tiba-tiba menjadi keras dan mengalirkan hawa dingin yang seakan-akan menjalar melalui cangkir dan terus menjalar ke tangan Thio Sui Kiat yang merasa dingin sekali sehingga tangannya seakan-akan lumpuh! Orang tua itu terkejut sekali dan cepat-cepat melepaskan cangkir itu sambil melangkah mundur dua tindak! Ia memandang dengan kagum dan heran kepada pemuda yang kini minum air teh itu dengan tenang.

“Lim-hiante, kau tentu telah mendapat kepandaian yang tinggi, bukan?”

“Ah, Thio-susiok, sukar untuk dikatakan batas kepandaian seseorang, karena sampai di manakah batas kepandaian? Aku hanya mempelajari sedikit kepandaian dan kini mohon petunjuk dari susiok yang telah banyak pengalaman.”

Thio Sui Kiat making girang mendengar kata-kata pemuda yang tahu membawa diri ini dan ia makin ingin sekali mencoba kepandaian calon menantunya ini. Ia lalu mempersilakan Kong Lee menuju ke lian-bu-thia yang letaknya di ruang belakang. Seperti dulu, pemuda ini mengikuti tuan rumah menuju ke belakang. Lian-bu-thia itu masih tetap seperti dulu dan di rak senjata terdapat senjata-senjata baru yang bagus- bagus karena orang tua ini memang suka mengumpulkan senjata-senjata yang baik. Thio Sui Kiat sengaja memanggil beberapa orang pelayan yang kebetulan berada di ruang belakang dan memerintahkan mereka untuk berdiri di pinggir ruang itu untuk menonton.

“Lihatlah! Hari ini aku kedatangan seorang pemuda gagah perkasa yang mengajak pibu. Lihatlah kepandaian Lim-kongcu, putera dari almarhum Lim Ek-kauwsu di Bi- ciu!”

Kong Lee merasa heran sekali mendengar ini dan ia masih ragu-ragu apakah maksud hartawan ini. sementara itu Thio Sui Kiat sudah melepaskan jubah luarnya. “Marilah, Hian-te, bukalah pakaian luarmu agar lebih leluasa.”

“Tak usah, susiok. Bukankah kita hanya main-main saja?”

Thio Sui Kiat mengambil toya kecil yang dulu juga dan ia kaget dan heran melihat betapa pemuda itu membawa sebatang tongkat bambu di tangannya.

“Ha, jadi kau rupanya telah memperdalam ilmu tongkat?” tanyanya. Kong Lee hanya tersenyum.

“Aku hanya mengikuti jejak mendiang ayahku,” jawabnya. “Nah, marilah kita mulai!” kata Thio Sui Kiat.

Kong Lee sengaja memainkan gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir seperti yang dulu ia mainkan ketika ia dirobohkan hanya dalam tiga jurus oleh orang tua ini sambil berkata, “Seranglah, Thio-susiok!”

Thio Sui Kiat merasa sangat heran melihat betapa pemuda ini memainkan gerakan itu. Apakah benar-benar pemuda ini tidak mempelajari ilmu tongkat lain ataukah pemuda ini hendak main-main dengannya? Akan tetapi, tidak ada waktu baginya untuk memikirkan hal ini. Ia lalu menggerakkan toyanya dan menyerang sendiri dulu pula dengan maksud untuk memberi pemuda itu penerangan mengapa dulu ia sampai terjatuh dalam tiga jurus.

Melihat gerakan-gerakan Thio Sui Kiat, maka terbukalah mata Kong Lee dan tahulah ia mengapa ia dulu sampai dijatuhkan karena ternyata bahwa di dalam gerakan ini bagian atas tubuhnya kosong terbuka. Kini pada saat Thio Sui Kiat melompat ke atas dan menyerang ke arah kepala, ia diamkan saja, tapi pada saat toya tuan rumah sudah tiba dekat, dengan luar biasa cepatnya Kong Lee memutar tubuhnya dan toya Thio Sui Kiat mengenai tempat kosong. Orang tua itupun memiliki gerakan cepat sekali dan dapat meloncat turun dan memutar tongkatnya dengan hebat!

Kong Lee menyambutnya dengan tenang karena memang sengaja hendak mengukur sampai di mana tingginya kepandaian orang she Thio yang dulu mengalahkan mendiang ayahnya itu! Melihat betapa ujung toya Thio Sui Kiat bergetar dan terpecah menjadi berpuluh batang, diam-diam ia memuji dan maklumlah ia bahwa kepandaian orang ini masih juga melebihi kepandaian Coa Kim Nio, bahkan mungkin tidak kalah dengan Pauw Kian Si Iblis Tangan Hitam!

Setelah mengukur kepandaian Thio Sui Kiat sampai lebih dari lima puluh jurus, Kong Lee lalu merubah gerakannya dan kini ia mulai balas menyerang, Thio Sui Kiat tadinya merasa kagum dan merasai kemajuan anak muda itu karena ia sama sekali tidak berdaya mendesak pertahanan yang sangat kuat itu. Sekarang melihat datangnya serangan-serangan Kong Lee, ia terkejut sekali. Belum pernah ia menghadapi serangan yang demikian cepat dan bertenaga, maka ia menjadi makin kagum. Ia tidak mau menyerah begitu saja dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mempertahankan diri.

Akan tetapi, Kong Lee segera mengirim serangan-serangan yang paling berbahaya dari Liong-san Tung-hwat sehingga orang tua itu terdesak mundur demikian cepat. Sebuah sabetan dengan tongkat yang cepat sekali ke arah leher hampir saja mengenai sasaran, tapi Thio Sui Kiat dengan cepat menangkis dengan toyanya. Karena kerasnya tenaga Kong Lee, tangan Thio Sui Kiat terasa tergetar dan sebelum ia dapat membetulkan kedudukannya, ujung tongkat Kong Lee telah meluncur ke arah dadanya tepat di ulu hati!

“Celaka!” dengan tak ia sadari Thio Sui Kiat berseru karena ia sudah tak mungkin lagi mengelakkan bahaya ini, maka ia hanya memandangi kepada anak muda itu dengan tajam.

Ketika ujung tongkat Kong Lee sudah hampir tiba di ulu hati lawan. Tepat di tempat dulu ayahnya dilukai oleh she Thio ini. Tiba-tiba ia merubah gerakannya dan ujung tongkatnya tidak jadi menembus dada, tapi meluncur ke kanan dan terdengar suara “brett!” maka robeklah baju Thio Sui Kiat sehingga dadanya tampak!

Kong Lee berdiri sambil memandang lawannya dengan sinar mata dingin karena baru saja dalam sedetik terjadi pertempuran yang lebih hebat lagi di dalam hatinya.

Menurut nafsunya, ia ingin sekali melihat orang she Thio itu roboh karena tusukannya, atau sedikitnya luka. Namun, hati nuraninya tak mengijinkannya sehingga ia hanya merobek saja pakaian orang tua itu! Hasilnya membuat ia kecewa dan juga puas. Kecewa nafsu mudanya yang menggelora dan menuntut balas dan puas bahwa ternyata ia masih kuat menahan nafsu itu!

Thio Sui Kiat dengan mata terbelalak memandang kepada pemuda itu. Nyawanya tadi benar-benar tergantung pada seujung rambut! Kalau saja Kong Lee tidak merubah gerakannya pada saat yang tepat sekali, pasti ia akan roboh binasa.

“Lim-hiante, sungguh kau hebat sekali! Tak kusangka bahwa dalam beberapa tahun saja kau benar-benar berhasil memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya!

Sungguh-sungguh aku merasa takluk! Bukankah kau berguru kepada seorang tokoh dari Liong-san?”

Kong Lee memuji ketajaman mata Thio Sui Kiat yang ternyata dapat mengenal Liong-san Tung-hwat. Ia lalu menjura karena kagum melihat sikap orang tua yang begitu tenang padahal baru saja terlepas dari bahaya maut.

“Thio-susiok, kau sengaja mengalah. Maafkan kelancanganku dan sekarang aku mohon pamit.”

Thio Sui Kiat hendak menjawab, tapi pada saat itu dari ruang dalam muncul seorang gadis berpakaian biru. Kong Lee memandang kagum karena gadis itu demikian cantik dan sopan sikapnya. Pakaiannya ringkas dan gagang pedang nampak tersembul dari belakang pundak kirinya. Ikat pinggang dan celananya berwarna merah, dan ikat pinggang itu bergantungan bagaikan dua ekor ular. Sepatunya yang kecil berwarna hitam mengkilat. Gadis ini adalah Thio Eng dan Kong Lee segera dapat menduganya. Akan tetapi, ketika mereka bertemu pandang, ia merasa heran sekali gadis yang tadinya gagah dan cekatan itu tiba-tiba memerah muka dan nampak gugup!

“Eng-ji,” kata Thio Sui Kiat kepada anaknya, “lihat, Lim-hiante sekarang telah memiliki kepandaian yang jauh melampaui kepandaian ayahmu!”

“Ayah, kebetulan aku tadi melihat sendiri, betapa bajumu robek oleh tongkatnya, maka biarlah aku mencoba kepandaiannya dengan pedangku!”

“Hush, jangan kau main gila, Eng-ji!” kata Thio Sui Kiat yang maklum bahwa gadisnya yang nakal ini merasa gemas mengapa “calon suaminya” berani mengalahkan ayahnya yang menjadi calon mertuanya.

Memang Thio Eng telah diberitahu oleh ayahnya tentang ikatan jodoh antara ia dengan Kong Lee. Sebagai seorang anak yang berbakti ia hanya taat kepada kehendak ayahnya. Lebih-lebih kini melihat betapa tunangannya telah memiliki kepandaian tinggi dan pemuda itu kini tampak demikian gagah dan tampan, tentu saja hatinya menjadi girang sekali. Tiada jalan lain baginya untuk dapat bertemu lebih lama dengan pemuda tunangannya yang sekaligus menawan hatinya itu, kecuali mengajaknya berpibu dengan alasan membela ayahnya yang telah dikalahkan!

Akan tetapi, Kong Lee yang juga terpesona oleh gadis itu, segera menjura kepada Thio Sui Kiat dan Thio Eng sambil berkata, “Kalau aku yang tiada kepandaian ini hendak diberi kehormatan melayani Siocia barang sepuluh jurus dan mendapat petunjuk-petunjuk berharga, tak lain aku haturkan banyak-banyak terima kasih.” Ucapan ini merupakan penerimaan tantangan yang bersifat halus.

Mendengar jawaban ini, Thio Sui Kiat hanya tersenyum dan orang tua ini bahkan pergi duduk di atas sebuah bangku yang berada di pinggir. Ia ingin melihat anaknya bertanding dengan calon menantunya yang sangat hebat itu.

Thio Eng sudah mencabut pedangnya dan melintangkannya di depan dada, sedangkan Kong Lee juga siap sedia dengan tongkat bambunya.

“Seranglah, Nona,” kata Kong Lee dengan halus sambil mengagumi raut muka yang kini nampak nyata keindahannya itu.

Thio Eng mengerling malu-malu dan ia segera maju menyerang dengan sungguh- sungguh. Ia memang hendak mengukur sampai di mana kepandaian Kong Lee. Akan tetapi dengan sengaja Kong Lee tidak mempergunakan tenaganya, hanya mendemonstrasikan kelincahan dan ketinggian ilmu gin-kangnya. Ia bergerak cepat dan tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan Thio Eng dan hanya tampak bayangannya saja berkelebat mengikuti sinar pedang!

Bukan main indahnya pemandangan ini sehingga semua pelayan yang menonton di situ bertepuk-tepuk tangan, sedangkan Thio Sui Kiat diam-diam tertawa senang karena gin-kang dari pemuda itu benar-benar hebat!

Kong Lee menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus bertindak untuk menjatuhkan gadis itu. Dengan cara bagaimanakah agar gadis itu dapat dikalahkan tanpa merasa tersinggung dan malu?

Posting Komentar