Pendekar Tongkat Dari Liong-san Chapter 24

NIC

Pada suatu hari, ketika ibu yang mencari anaknya ini tiba di kaki sebuah bukit yang sunyi, tiba-tiba ia mendengar suara orang menjerit minta tolong. Nyonya yang berhati tabah dan yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi ini segera lari menuju ke arah suara itu dan segera ia mendengar suara senjata beradu. Ia percepat larinya dan tak lama kemudian ia melihat betapa seorang wanita muda sedang bertempur melawan tiga orang laki-laki yang berpakaian sebagai pengawal. Wanita muda itu hebat sekali dan dengan pedangnya ia mendesak ketiga orang lawannya yang bersenjata golok. Di dekat tempat pertempuran itu, terdapat sebuah kendaraan kecil yang ditarik oleh seekor kuda. Dari dalam kendaraan yang tertutup kain terdengar suara wanita menangis ketakutan.

Nyonya Lim Ek segera melompat menghampiri kereta itu dan menyingkap kain penutupnya. Ternyata di dalam terdapat seorang laki-laki berpakaian pembesar yang telah lanjut usianya sedang duduk dengan tubuh menggigil, sedangkan seorang wanita yang agaknya isteri pembesar itu, menangis ketakutan. Jelas bahwa ini tentu sebuah perampokan akan tetapi Nyonya Lim tidak tahu siapakah yang merampok. Apakah wanita muda yang cantik dan hebat itu? Ia heran dan bertanya kepada mereka yang berada di dalam kereta.

“Kami ... dirampok ... ” pembesar ini menjawab setelah hilang kagetnya karena tadinya ia mengira bahwa wanita tua yang menjenguk inipun seorang anggota perampok.

“Mana perampoknya?” Nyonya Lim bertanya. “Wanita berbaju hijau itu ... ”

Nyonya Lim Ek merasa heran sekali. Ia memandang lagi dan maklum bahwa wanita itu tentu seorang perampok tunggal dan ternyata kepandaiannya tinggi sekali. Ia maklum bahwa ia sendiri pun bukan tandingan wanita muda itu, akan tetapi ia tidak bisa melihat terjadinya perampokan begitu saja tanpa membantu para korban yang dirampok. Dengan tabah nyonya ini lalu mencabut pedangnya dan melompat ke medan pertempuran.

“Nona, tahan pedangmu!” serunya kepada wanita baju hijau yang sedang mendesak hebat ketiga lawannya itu.

Melihat datangnya seorang wanita tua berpedang, perampok wanita tunggal yang tidak lain adalah Coa Kim Nio, terkejut sekali. Ia tidak tahu dari mananya nyonya ini dan segera ia memandang. Entah mengapa, tiba-tiba ia mendapat perasaan seakan- akan ia telah mengenal wanita ini dan muka nyonya ini menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Ia hanya menahan pedangnya dan melompat menghampiri Nyonya Lim, sedangkan ketiga pengawal yang tadinya sangat sibuk menghadapi nona ini, segera mundur dan berdiri dengan golok di tangan menjaga kereta.

“Peh-bo (bibi), siapakah kau dan apa maksudmu mencampuri urusanku?” tanya Kim Nio dengan pedang dilintangkan di dada. “Nona, aku hanya kebetulan saja lewat ke tempat ini dan melihat pertempuran tadi. Aku tak hendak mencampuri urusan orang lain, akan tetapi setelah mendengar bahwa pertempuran ini adalah karena perampokan, maka aku merasa berkewajiban untuk maju dan menolong.”

“Ha, bagus! Apakah kau hendak melawanku?” tanya Kim Nio sambil memandang muka orang itu dengan tajam.

“Nona, terus terang saja kuakui bahwa kepandaianku tidak berapa tinggi dan aku bukanlah lawanmu. Namun betapapun juga, dengan melupakan kebodohan sendiri terpaksa aku membela orang-orang yang hendak kau rampok ini, biarpun aku harus mengorbankan nyawaku yang tak berharga ini!”

Kim Nio heran sekali mendengar kata-kata ini. “Kalau begitu, mengapa tidak tadi-tadi saja kau mengeroyokku? Untuk apa segala pembicaraan yang tiada guna ini?”

“Nona, kau masih muda sekali dan cantik, juga gerak-gerikmu halus tak pantas menjadi seorang perampok. Dari kata-katamu aku dapat menduga bahwa kaupun pernah menerima pelajaran orang pandai. Mengapa kau menjadi perampok? Untuk apakah harta besar yang kau dapatkan dengan jalan kotor? Nona, orang semuda kau ini sepantasnya duduk di dalam rumah bersama suamimu dan mendidik anakmu!

Lihatlah aku ini! Aku sudah tua seorang janda miskin yang kehilangan anak tunggalnya. Ingatlah bahwa kelak kaupun akan menjadi seorang wanita tua seperti aku. Kalau kau hidup menyendiri dan menjadi perampok, nanti setelah kau menjadi tua, untuk apa semua harta benda kotor itu? Kau takkan hidup bahagia, bahkan kau akan selalu menyesal dosa-dosamu. Mengapa kau tidak mengambil jalan benar?” Kata-kata yang keluar dari mulut Nyonya Lim ini lebih tajam dan runcing daripada sebatang pedang pusaka dan tepat sekali menikam ulu hati Kim Nio. Wanita muda itu menjadi pucat dan memandang dengan mata sayu, kemudian tiba-tiba ia tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi lalu menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya!

Nyonya Lim Ek lalu memberi tanda kepada pembesar dan para pengawalnya untuk melanjutkan perjalanan karena ia dapat menduga bahwa nona baju hijau ini telah terpengaruh oleh ucapannya dan ia maklum bahwa ia dapat menghadapi nona ini. Dengan anggukan kepala menyatakan terima kasih, rombongan itu melanjutkan perjalanannya, sedangkan Kim Nio yang sedang menangis tidak mempedulikan mereka itu lagi.

Kemudian Nyonya Lim Ek melangkah maju dan memegang pundak Kim Nio dengan sentuhan halus.

“Nona, janganlah kau bersedih dan maafkan kata-kataku kalau menyinggung perasaanmu. Kiranya kau berperasaan halus, tapi mengapa kau sampai tersesat seperti ini?”

Mendengar suara halus penuh perhatian ini dan merasa betapa nyonya itu memegang pundaknya dengan halus, Kim Nio merasa makin sedih dan ia lalu menangis keras sambil menyandarkan kepalanya dan mukanya di pundak Nyonya Lim!

“Peh-bo ... kau tidak tahu ... aku yatim piatu ... tak berayah tak beribu tiada kawan tiada handai taulan ... tidak ada seorangpun manusia di dunia ini yang menyayangi dan mencintaiku ... aku tidak mempunyai pengharapan lagi, hidup di atas jalan benar maupun sesat bagiku sama saja hanya kesepian, duka dan derita saja bagianku ... ” Kim Nio teringat kepada Kong Lee dan tangisnya makin sedih.

“Nona, selama hayat di kandung badan, pengharapan selalu ada dan orang yang berputus harapan tidak saja bodoh tapi juga kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Coba kau renungkan, bukankah pengharapan nikmat hidup pula? Kita mengharap- harapkan sesuatu, mengharapkan suatu yang indah, yang kita tunggu-tunggu. Alangkah senangnya kalau sesuatu yang kita harap-harapkan itu kelak akan tiba dan mimpi kita itu akan terbukti. Bahagialah orang yang masih mempunyai sesuatu yang diharapkan! Kau bilang kau tiada handai taulan? Lihatlah, aku, anak! Aku sudah tua, semenjak muda ditinggal mati suami dan semenjak tujuh delapan tahun yang lalu anakku yang tunggal meninggalkan aku pula, tidak tahu sekarang ia berada di mana, entah mati entah hidup. Aku miskin pula, akan tetapi aku masih mempunyai pengharapan. Yakni pengharapan bertemu kembali dengan anakku itu! Dan sebelum aku mati, pengharapan itu akan selalu menyala di dalam dadaku, bagaikan sepucuk api lilin yang biarpun kecil, tertutup angin dan berkedap-kedip, namun takkan lenyap sebelum lilinnya habis! Demikianlah, pengharapanku takkan lenyap sebelum hayat meninggalkan tubuhku!”

Kim Nio merasa terharu sekali dan terisak-isak ia peluk Nyonya Lim.

“Aduh, Peh-bo, kau wanita bijaksana sekali! Alangkah beruntungnya aku yang malang ini bertemu dengan orang seperti kau! Peh-bo ... jangan kau tinggalkan aku. Kau sebatang kara, aku seorang diri di dunia ini, biar kita hadapi hidup yang penuh penderitaan dan kepalsuan ini bersama-sama. Dengan kau yang bijaksana sebagai pembimbing, aku akan hadapi segala rintangan dengan tabah, dan aku takkan mungkin tersesat lagi, Peh-bo ... ”

Nyonya Lim Ek juga merasa terharu dan bercampur girang. Ia suka kepada gadis yang hebat ini dan yang bernasib buruk.

“Anak, usulmu ini baik sekali. Akupun pada waktu ini tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Langit menjadi atapku dan bumi menjadi lantaiku. Kau sebenarnya bernama siapa, nona?”

“Aku she Coa bernama Kim Nio, Peh-bo.”

“Aku adalah Kwee Cin Hwa atau Nyonya janda Lim Kong Lee,” kata Nyonya Lim dengan halus dari Kim Nio yang masih memeluknya.

Kalau saja nona itu tidak menyembunyikan mukanya di dada Nyonya Lim, wanita tua itu tentu akan melihat betapa muka yang cantik itu tiba-tiba menjadi pucat. Akan tetapi ia masih dapat merasakan betapa tubuh Kim Nio menggigil ketika mendengar bahwa Kong Leelah putera janda ini!

“Nona, kenapa kau?” tanya Kwee Cin Hwa sambil memegangi pundak Kim Nio dan memandangi muka itu. Ia melihat bahwa muka itu pucat sekali dan Kim Nio segera menutup kedua matanya.

“Ti ... dak apa-apa ... aku hanya pening Peh-bo ... ” jawab Kim Nio yang belum sadar kembali dari rasa kagetnya.

“Marilah kita duduk dulu, mungkin kau lelah setelah bertempur tadi.”

Nyonya janda yang baik hati itu membimbing Kim Nio dan mereka lalu duduk di atas rumput di bawah sebatang pohon.

Bergantian mereka saling menuturkan riwayat masing-masing sehingga Kim Nio kini tahu akan riwayat Kong Lee, sedangkan ia sendiri lalu menuturkan riwayatnya tanpa menyebut tentang suaminya dan tentang pelanggaran yang ia lakukan sebagai seorang isteri yang melarikan diri dengan laki-laki lain!

“Berapakah usia anakmu itu Peh-bo? Dan apakah dia telah ... kawin?” Kwee Cin Hwa tersenyum.

“Anak bodoh! Kalau ia sudah kawin tentu aku takkan telantar seperti keadaanku sekarang ini. Ia telah berusia dua puluh satu, belum kawin tapi sudah kutunangkan dengan seorang gadis cantik!”

Kim Nio menggunakan sapu tangannya, untuk mengusap peluh dari mukanya sehingga muka yang cantik itu tertutup sapu tangan, kemudian nona baju hijau itu menggunakan kekerasan hatinya untuk menekan perasaan perih dan hatinya yang berdebar-debar mendengar bahwa Kong Lee telah ditunangkan dengan gadis lain. Pantas saja pemuda itu menolak cintanya.

Posting Komentar