“Kau suka padaku? Suka kepada Pangeran? Ha, ha, ha!”
“Aku juga suka padamu,” kata Kim Nio sambil tersenyum manis dan mengerlingkan mata tajam.
“Tentu saja kau suka padaku! Aduh, senang sekali hatiku, kau ... kau cantik!”
Setelah berkata demikian, Ki Pok lalu melompat maju, memeluk tubuh Kim Nio mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan menari-nari berloncat-loncatan sambil mengayun-ayun tubuh Kim Nio yang tak berdaya sama sekali dalam pegangan kedua tangan yang kuat itu.
“Pangeran, lepaskan aku!” bentaknya.
“Ha, ha! Kau suka padaku, bukan? Ha, ha, aku pun suka kepadamu, suka sekali!” jawab Si Gila tanpa mempedulikan bentakan Kim Nio.
Gadis ini menjadi bingung. Celaka, pikirnya.
“Pangeran, kalau kau tidak lepaskan aku, maka aku tidak akan suka lagi padamu, aku akan benci kepadamu!”
Ancaman ini berhasil baik. Ki Pok lalu menurunkan tubuh Kim Nio dengan perlahan dan hati-hati sekali ke atas tanah dan berkata sambil menyeringai, “Jangan membenci aku ... kau cantik, aku suka padamu.”
“Aku juga suka padamu, tapi kau harus selalu menurut kata-kataku. Kalau kau tidak mau menurut, aku akan membencimu, mengerti?”
“Mengerti, mengerti! Aku menurut, aku suka padamu. Kau cantik sekali!”
“Ingat, nanti kalau Raja dan Ratu marah kepadaku, kau harus membelaku, mengerti?” “Tentu, tentu! Tidak ada yang boleh marah padamu. Kau punyaku!”
Ngeri juga hati Kim Nio mendengar pengakuan Si Gila. “Di mana adanya Raja dan Ratu?” tanya Kim Nio.
“Ayah dan ibuku berada di dalam pondok. Ayo kita pergi ke sana.”
“Tak usah, biar kita menanti saja di sini!” kata Kim Nio dengan tegas tapi dengan hati takut-takut.
Ia girang sekali melihat betapa Pangeran Gila ini benar-benar telah menurut kata- katanya dan kini berdiri memegang tangannya sambil memandangi muka dan seluruh tubuhnya dengan pandangan kagum. Kim Nio tidak berani menarik tangannya yang terpegang karena ia maklum bahwa ia sama sekali tidak boleh berlaku keras agar jangan sampai menyinggung perasaan orang gila ini. Ia harus berlaku sabar untuk menundukkan orang ini sehingga dapat ia peralat sekehendak hatinya.
Pengharapannya hanya terletak pada orang ini dan berhasil atau tidaknya rencana untuk membalas dendam tergantung sepenuhnya kepada Pangeran Gila.
Maka ia pun menurut saja dan tidak berani melarang ketika Pangeran Gila itu menciumi rambutnya sambil tertawa-tawa haha-hihi dan berkata, “Kau cantik ... ha, ha! Lebih cantik daripada ibu, aku suka padamu, aku cinta padamu!”
Mendengar ini bulu tengkuknya berdiri lebih-lebih ketika merasa betapa jari-jari tangan Pangeran Gila itu meraba-raba lehernya. Terpaksa ia menggunakan tangannya untuk mencegah tangan itu karena ia tidak kuat menahan kegelian hati dan kejijikannya.
“Kau ... kau duduklah di situ dan jangan pegang-pegang aku. Aku juga cinta padamu, tapi kau jangan pegang-pegang leherku!”
Suara ini diucapkan dengan halus karena sesungguhnya Kim Nio merasa kuatir sekali. Akan tetapi, ia girang sekali ketika melihat betapa Pangeran Gila menarik kembali tangannya dan sekarang hanya duduk di dekatnya sambil memandang dengan senang. Pada saat itu Kim Nio mendengar suara orang tertawa yang datang dari pondok dan yang membuatnya tiba-tiba menjadi pucat dan tubuhnya menggigil ketakutan. Raja dan Ratu Gila agaknya telah bangun. Benar saja, mereka berdua tampak muncul dari balik pintu dengan pakaian mereka yang mengerikan. Ketika kakek dan nenek gila itu melihat Kim Nio, mereka membelalakkan mata dan sekali lompat saja kedua orang tua itu telah berada di depan Kim Nio.
“Ha, ha, ha! Ki Pok telah mendapat daging muda. Ah, kita akan berpesta!” kata Raja Gila dan ia menggerak-gerakkan mulut seakan-akan mengilar sekali, seperti seorang kelaparan melihat daging panggang yang sedap. “Bagus Ki Pok, kau berikan hatinya untukku!” kata Ratu Gila sambil tertawa haha- hihi.
Tapi Pangeran Gila segera berdiri menghadang di depan Kim Nio.
“Tidak, tidak! Perempuan ini cantik, aku suka padanya dan ia adalah tunanganku!” Kedua orang gila itu tertegun.
“Apa katamu?” Ratu Gila bertanya.
“Ibu, ini adalah tunanganku. Aku akan kawin dengannya. Ia cantik dan ia suka kepadaku!”
Tiba-tiba pada wajah nenek gila itu terbayang keharuan dan ia bersikap bagaikan seorang permaisuri raja bertanya kepada hambanya ketika ia bertanya kepada Kim Nio, “Hai, nona muda, benarkah kau suka kepada Ki Pok?”
Kim Nio memiliki otak yang cerdik sekali. Ia telah mendengar cerita orang bahwa mereka ini dulunya adalah seorang bangsawan, maka bagi seorang wanita bangsawan tentu saja nenek gila ini merasa heran mendengar bahwa ada seorang wanita suka pada laki-laki.
Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan mereka dan menjawab dengan suara perlahan, “Saya ... hanya menurut saja perintah dan kehendak Raja dan Ratu Yang Mulia.”
Mendengar jawaban ini, kedua orang gila ini nampak senang sekali.
“Ki Pok benar, nona ini baik sekali. Ia cantik dan akan menjadi isteri yang baik!” Tiba-tiba dengan terkejut dan heran sekali Kim Nio melihat Ratu Gila menangis tersedu-sedu bagaikan seorang yang terharu sekali.
Nenek gila ini lalu maju dan memeluk Pangeran Gila sambil berkata, “Ki Pok ... akhirnya kau telah dewasa ... ! Kau telah memilih seorang isteri ... aku girang sekali Anakku!”
Dan ibu ini berpeluk-pelukan dengan Ki Pok anaknya yang masih dianggap kecil! Kemudian dengan heran sekali Kim Nio melihat mereka berdua menari-nari dan berjingkrak-jingkrak, diikuti pula oleh Raja Gila yang tiada hentinya tertawa geli.
“Ki Pok telah mendapat jodoh! Ia akan kawin!” Raja Gila berkali-kali berteriak keras. “Ki Pok, anakku! Telah lama kunanti-nanti saat girang ini. Kau telah mendapat jodoh dan akan mendapat putera yang kelak menggantikan kedudukan Raja! Ha, ha, hi, hi!” Ratu Gila tertawa dan menangis karena girangnya, lalu ia angkat Kim Nio berdiri dan memeluk serta menciumnya. Kemudian Raja Gila itu pun memeluknya dan berkata, “Kau harum dan cantik, pantas menjadi menantuku!”
Pangeran Gila tidak mau ketinggalan dan memeluknya juga serta menciumi rambutnya. Kim Nio hampir pingsan karena tidak dapat menahan kejijikan dan kegelian hatinya. Ia hanya memeramkan matanya dan menggigit bibirnya. Ingin sekali ia memberontak dan lari pergi dari tempat gila ini, akan tetapi bayangan Kong Lee bergandeng tangan dengan Thio Eng membuat hatinya dingin kembali dan ia tidak pedulikan lagi segala kengerian itu karena melihat betapa rencananya hampir berhasil! Ia telah berhasil menawan hati mereka dan mulai saat ini ia boleh tinggal di situ bersama mereka tanpa merasa kuatir akan mereka bunuh. Ia telah diakui sebagai keluarga mereka, keluarga gila!
Raja Gila tiba-tiba bertanya, “Siapa namamu, mantuku?”
Kim Nio menjawab sambil tunduk karena tak tahan menentang pandangan mata yang liar, tapi sangat tajam berpengaruh itu, “Namaku Coa Kim Nio.”
“Nama bagus, nama bagus! Perkawinan harus segera dilangsungkan.” Raja Gila itu menghitung-hitung jari tangannya seperti sikap orang menghitung hari dan mencari hari baik. “Besok adalah hari baik dan besok boleh dilangsungkan perkawinan ini.” “Tidak, tidak besok!” Tiba-tiba Ratu Gila mencela. “Harus dilangsungkan sekarang juga. Hari ini lebih baik daripada besok! Sekarang kita langsungkan perkawinan anak kita!”
Kim Nio terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya bahwa mereka ini masih ingat akan segala upacara perkawinan segala. Ia menjadi bingung. Haruskah ia kawin dengan laki-laki gila yang selain mengerikan, juga sudah berusia empat puluh tahun lebih dan keadaannya menjijikkan ini? Ia buru-buru berlutut lagi di hadapan kedua orang tua itu.
“Mohon dimaafkan, bukan aku hendak membantah, akan tetapi aku telah bersumpah takkan kawin sebelum musuh-musuhku kubinasakan. Dan musuh-musuhku berarti musuh-musuh kita bersama pula,” katanya.
“Musuh kita? Musuh kita si bangsat Beng Hwat Ong sudah mampus! Dia sudah habis dimakin cacing!” kata Leng Tin Ong atau Raja Gila itu.
“Belum, belum mampus semua!” Tiba-tiba Ratu Gila membantah, “Masih ada tosu jahanam Bong Ki Tosu yang belum mampus!”
Ternyata mereka ini masih ingat akan musuh-musuh mereka yang dulu mencelakakan mereka.
“Ya, Bong Ki Tosu belum kita bikin mampus. Tapi selain dia, kita tidak mempunyai musuh lain lagi,” kata Raja Gila.
“Tapi aku mempunyai dua orang musuh yang telah menghinaku.”