Halo!

Pendekar Tongkat Dari Liong-san Chapter 29

Memuat...

“Ingat, kau belum menpunyai enso (kakak ipar perempuan)!”

Kim Nio dapat menangkap maksud suhengnya dan ia pikir memang lebih baik kalau gadis ini menjadi isteri paksa dari suhengnya!

Akan tetapi, sebelum mereka sempat pergi dari situ membawa gadis yang mereka culik, tiba-tiba dari bawah menyambar bayangan seorang tua yang gerakannya gesit sekali.

“Bangsat, kurang ajar, lepaskan anakku!” teriak bayangan itu dan Thio Sui Kiat menyerang cepat dengan tongkatnya kepada Pauw Kian yang memondong Thio Eng! Pauw Kian mengelak dan melihat serangan begitu hebat, ia lalu melempar tubuh Thio Eng ke arah Kim Nio sambil berseru, “Sumoi, kaubawa dia pergi dulu! Biar aku hadapi kambing tua ini!”

Kim Nio yang juga dapat melihat kehebatan gerakan Thio Sui Kiat, segera menangkap tubuh Thio Eng, dipanggulnya dan dibawanya lari pergi dari situ secepatnya.

Thio Sui Kiat merasa bingung sekali melihat betapa anaknya dilarikan orang, maka dengan nekat ia mengamuk dan menyerang Pauw Kian dengan hebat. Pauw Kian menangkis dan balas menyerang sehingga di atas genteng itu terjadilah sebuah pertempuran yang ramai dan seru. Akan tetapi, biarpun sudah tua Thio Sui Kiat masih belum kehilangan kehebatannya. Tongkatnya menyambar bagaikan seekor naga mengintai korban sehingga Pauw Kian harus mengakui bahwa orang tua ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya! Ia lalu menggunakan seluaruh kepandaian silatnya untuk membela diri dan mengirim serangan-serangan balasan.

Setelah merasa bahwa kalau bertempur terus akan membahayakan dirinya, Pauw Kian tiba-tiba berseru, “Awas, piauw!” tangan kirinya bergerak dan tiga batang senjata rahasia menyambar ke arah Thio Sui Kiat.

Akan tetapi, orang tua ini cukup waspada. Dengan memutar tongkatnya, ia dapat memukul pergi tiga buah senjata piauw itu sehingga jatuh berantakan di atas genteng. Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Pauw Kian yang segera meloncat turun dari atas genteng dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

“Bangsat rendah, jangan lari!”

Thio Sui Kiat dengan marah sekali mengejar, akan tetapi malam demikian gelapnya sehingga ia tidak dapat melihat ke arah mana penjahat itu melarikan diri. Orang tua ini terus mengejar dan mencari-cari sampai pagi, akan tetapi hasilnya nihil dan ia pulang dengan hati berat, bingung dan kuatir akan keselamatan puterinya.

Kemudian ia teringat kepada calon menantunya, maka segera ia pergi ke rumah penginapan Kong Lee untuk menceritakan pengalamannya.

“Gak-hu, bagaimana macamnya penjahat-penjahat itu?”

“Yang perempuan cantik, tubuhnya tinggi ramping dan pakaiannya hijau, sedangkan yang laki-laki ilmu silatnya hebat dan tubuhnya tinggi besar, memelihara cambang bauk dan usianya kurang lebih empat puluh tahun.”

Jantung Kong Lee memukul keras mendengar keterangan ini, akan tetapi ia menghendaki ketentuan, maka tanyanya, “Apakah kedua tangan laki-laki itu berkulit hitam?”

“Ya, ya, benar! Kedua tangannya hitam seperti seorang yang memiliki kepandaian Thiat-ciang-kang.”

“Hm, tak salah lagi!” kata Kong Lee dengan marah sekali. “Mereka adalah Kim-gan- eng Coa Kim Nio dan Hek-ciu-mo Pauw Kian.”

“Kau kenal mereka? Mengapa mereka memusuhi aku dan menculik anakku?” tanya Thio Sui Kiat dengan gemas.

Akan tetapi Kong Lee yang merasa marah dan kuatir sekali telah lari meninggalkan mertuanya. Ia memasuki kamarnya, menyambar buntalan dan pedang Thio Eng, lalu lari keluar lagi dengan terburu-buru.

“Gak-hu, nanti saja bila Eng-moi telah tertolong, kuceritakan tentang permusuhanku dengan mereka!” Setelah menjura sebagai pemberian hormat, pemuda itu lalu lari cepat pergi dari situ.

“Kong Lee, biar aku ikut pergi!” orang tua itu berteriak. Kong Lee menahan larinya.

“Tak usah, Gak-hu. Aku sendiri sanggup merampas kembali Eng-moi. Percayalah!” Terpaksa Thio Sui Kiat membiarkan calon menantunya pergi dan ia segera kembali ke gedungnya untuk menghibur isterinya yang menangis sedih.

“Tenanglah, isteriku. Calon menantu kita telah pergi menyusul penjahat-penjahat itu dan aku percaya ia tentu akan berhasil.” “Apakah dosa kita maka terjadi hal ini? Siapakah orang-orang jahat yang memusuhi kita itu? Mengapa mereka tidak mencari harta, tapi menculik Eng-ji yang tidak berdosa!” Ibu ini dengan sedih meratap dan menangis.

“Aku sendiripun tidak mengenal mereka. Akan tetapi Kong Lee tahu siapa mereka itu. Mereka tentulah musuh-musuh Kong Lee yang tidak berani mengganggunya, maka sengaja mengganggu tunangannya. Sudahlah jangan kau menangis, aku menjadi makin bingung karenanya. Lebih baik kita berdoa kepada Tuhan agar anak kita ini akan tertolong kembali dengan cepat.”

Demikianlah, kedua orang tua itu, dengan hati kuatir bersembahyang untuk keselamatan anak mereka.

Biarpun kepandaian silatnya cukup hebat, namun terjatuh ke dalam tangan Pauw Kian dan Kim Nio, Thio Eng tidak berdaya sama sekali dan ia terpaksa tak dapat memberontak ketika kedua orang itu membawanya lari dengan cepat sekali. Mereka menggunakan dua ekor kuda dan Thio Eng duduk di depan Kim Nio di atas seekor kuda tanpa dapat melawan. Pauw Kian melarikan kudanya di belakang untuk menjaga pengejaran, karena ia maklum bahwa ayah gadis ini sangat hebat.

Karena mereka tak berhenti-henti maka dua hari kemudian mereka telah masuk ke dalam hutan di mana Pauw Kian dan kawan-kawannya bersarang. Thio Eng dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang cukup mewah dan diikat kaki tangannya. Sementara itu, Pauw Kian segera menyuruh kawan-kawannya membuat persiapan pesta perkawinan karena ia telah mengambil keputusan hendak mengawini gadis tawanannya itu!

Sekali bertemu dengan Thio Eng, Pauw Kian telah tergila-gila.

Dengan hati marah, gemas dan duka, Thio Eng menanti kelanjutan nasibnya. Ia tak pernah menangis dan selalu menggertakkan gigi untuk menahan tangisnya. Ia tidak sudi memperlihatkan kelemahannya di depan musuh-musuhnya. Betapapun juga, Thio Eng belum putus asa dan masih percaya bahwa ayahnya tentu akan berhasil menolongnya. Ayahnya tentu memberi tahu Kong Lee dan pemuda itu sendiri akan menolongnya!

Alangkah senangnya kalau ia sampai tertolong oleh tunangannya sendiri! Akan tetapi, diam-diam Thio Eng merasa cemburu sekali, karena ternyata bahwa penjahat wanita yang cantik dan genit itu telah mengenal dengan Kong Lee dan agaknya wanita membencinya karena ia mencinta Kong Lee!

Ketika Thio Eng sedang melamun sambil berusaha melepaskan ikatan tangannya, tiba-tiba Kim Nio memasuki kamar itu. Bibir wanita ini tersenyum menghina, “Kau tahu mengapa kau kutangkap dan kutawan?” tanyanya kepada Thio Eng.

“Siapa dapat mengetahui maksud hati segala macam penjahat perempuan seperti engkau ini?” Thio Eng menjawab dengan berani.

“Ketahuilah, hai puteri orang kaya. Karena kau telah merampas Kong Lee dariku maka aku terpaksa menculikmu. Pemuda itu adalah milikku! Ia kekasihku, punyaku, mengerti?” Wajah Kim Nio merah dan matanya mengeluarkan sinar marah penuh kebencian.

“Cih! Tak tahu malu!” Thio Eng menghinanya dan kedua orang wanita cantik itu saling pandang bagaikan dua ekor harimau betina hendak saling terkam!

“Kau hendak kawin dengan Kong Lee?” Suara Kim Nio terdengar penuh ejekan, “Jangan harap, kawan! Kau tak pantas menjadi isteri pemuda itu. Kau akan kami paksa untuk kawin dengan suhengku dan menjadi isteri Hek-ciu-mo Pauw Kian. Adapun Kong Lee hanya boleh kawin dengan aku seorang!”

“Penjahat rendah! Aku lebih baik mati dari pada harus kawin dengan orang macam itu!” Thio Eng berkata penuh kebencian. “Percayalah, akupun lebih senang melihat kau mampus, sobat! Tapi suhengku yang bertangan hitam itu jatuh cinta padamu, apa boleh buat!” sambil mengangkat pundak dengan gaya mencemoohkan dan menghina sekali, Kim Nio meninggalkan kamar itu. Setelah Kim Nio pergi, Thio Eng tak dapat menahan kegemasan dan kemarahannya maka air matanya mengucur deras dari kedua matanya dan menuruni sepanjang pipinya. Ia telah mengambil keputusan tetap, yakni apabila ayahnya atau Kong Lee datang terlambat sehingga ia dipaksa kawin dengan kepala rampok itu, ia akan membunuh diri!

Setelah hari menjadi malam, pintu kamar Thio Eng terbuka dari luar dan ketika gadis itu memandang dengan tajam, bukan main girangnya karena melihat bahwa yang memasuki kamarnya itu adalah ... Nyonya Lim Ek atau Ibu Kong Lee!

“Thio Eng ... !” Nyonya Lim Ek berseru dengan kaget. “Jadi kaukah yang mereka tawan?”

“Ibu ... ” hanya demikian Thio Eng dapat mengeluarkan kata-kata karena terharu dan girangnya. Gadis ini terisak-isak menangis sedangkan Nyonya Lim dengan cepat menggunakan pedang memutuskan semua tali pengikat kaki tangan Thio Eng. Mereka lalu berpelukan.

Pada saat itu Kim Nio masuk ke dalam kamar dan ia tercengang melihat betapa Nyonya Lim Ek telah berada di situ pula! Ketika Lim-hujin (Nyonya Lim) melihat Kim Nio, ia memandang dengan heran.

“Nona, mengapa kau dan suhengmu menawan dia? Dia adalah calon menantuku!” Kim Nio memandang penuh kebencian kepada Thio Eng.

“Justeru karena ia calon menantumu, maka terpaksa kutawan! Ia tidak boleh kawin dengan Kong Lee, tidak boleh!”

“Eh, eh, apa maksudmu?” Nyonya tua ini heran sekali mendengar ucapan itu, karena sesungguhnya ia belum tahu akan perhubungan Kim Nio dengan puteranya.

“Ia tidak boleh menjadi isteri Kong Lee! Tak seorang gadispun boleh merampas Kong Lee dariku, Kong Lee adalah pujaanku, dan hanya aku yang pantas menjadi isterinya!”

Lim-hujin memandang dengan mata terbelalak. Ia menyangka bahwa nona itu tentu sudah menjadi gila.

“Kim Nio! Apa artinya semua ini? Nona Thio ini telah resmi bertunangan dengan anakku. Apakah ... apakah kau telah mengenal Kong Lee?”

“Kenal ... ?” suara Kim Nio mengandung isak. “Tidak hanya kenal ... aku ... aku cinta kepada Kong Lee ... !”

“Apa ... ?” Lim-hujin melangkah maju dan memegang kedua pundak Kim Nio lalu mengguncang-guncangnya. “Kau tahu di mana Kong Lee? Katakanlah! Di mana dia

... ? Di mana anakku?”

Kim Nio tidak menjawab, tapi Thio Eng lalu berkata dengan suara pasti, “Dia telah kembali ke Bi-ciu dan pada waktu aku diculik oleh penjahat ini, dia berada di Lam- sai! Dia dan ayah pasti akan datang ke sini menolong kita.”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment