Pendekar Tongkat Dari Liong-san Chapter 28

NIC

Tiba-tiba ia mendapat akal. Dengan segera memainkan ilmu silat yang dipelajarinya dari kitab pelajaran silat Raja Gila itu. Kini tidak saja Thio Eng, bahkan Thio Sui Kiat sendiri mengeluarkan seruan tertahan karena terkejut. Belum pernah selama hidupnya ia melihat ilmu seperti itu! Gerakan-gerakannya aneh sekali dan kelihatan seperti gerakan seekor cacing terkena abu panas atau seekor kera yang tiba-tiba merasa gatal- gatal di sekujur tubuhnya sehingga kera itu kebingungan menggaruk ke sana-sini!

Gerakan-gerakannya lucu dan aneh, dan setiap gerakan merupakan kebalikan dari gerakan silat biasa! Dengan penuh perhatian Thio Sui Kiat berdiri dan melihat gerakan-gerakan aneh dari Kong Lee itu.

Sementara itu, Thio Eng merasa pening menghadapi ilmu silat pemuda ini dan pandangan matanya mulai menjadi kabur! Tiba-tiba entah bagaimana, ia merasa pedangnya telah pindah tangan dan sebagai gantinya, ia memegang sebuah tongkat bambu! Dengan cara yang ajaib sekali Kong Lee telah berhasil menukarkan senjatanya dengan senjata gadis itu tanpa disadari oleh si gadis.

Kini tidak saja para pelayan, bahkan Thio Sui Kiat sendiri bertepuk tangan memuji. Ia melihat dengan jelas betapa pemuda itu dengan gerakan yang luar biasa sekali menggunakan tangan kiri merampas pedang lawan dan tangan kanannya dengan cepat sekali menyodorkan tongkat sehingga terpegang oleh gadis itu! Mengetahui betapa pedangnya telah berganti menjadi tongkat, tanpa ia sadari ia mengeluarkan seruan perlahan dan wajahnya berubah merah!

Kong Lee menjura dan hendak menyatakan maaf, tapi gadis itu telah membalikkan tubuh dan lari masuk sambil membawa tongkat bambunya! Kong Lee berdiri dengan pedang di tangan. Ia merasa bingung sekali dan tak tahu harus berkata apa.

Tiba-tiba Thio Sui Kiat tertawa terbahak-bahak dan menghampiri Kong Lee sambil memegang pundaknya.

“Hiante, kau sungguh-sungguh hebat! Hai, kalian semua dengarlah. Kalian harus menyiarkan di kota ini aku telah dikalahkan seorang anak muda yang gagah perkasa bernama Lim Kong Lee!”

Akan tetapi Kong Lee segera berkata sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya ke atas sedangkan tangan kiri masih saja memegang pedang Thio Eng. “Jangan, jangan! Thio-susiok, janganlah membuat aku menjadi malu saja!”

Thio Sui Kiat makin senang dan ia lalu memerintahkan kepada para pelayannya agar jangan menceritakan hal pibu itu kepada orang lain dan sementara itu minta supaya mereka menyediakan hidangan. Melihat kebaikan hati dan keramahan Thio Sui Kiat yang sama sekali tidak merasa sakit hati karena dikalahkannya itu, Kong Lee menjadi malu hati dan ia tak dapat menolak.

Hidangan dikeluarkan dan mereka berdua menghadapi meja penuh hidangan lezat. Kong Lee mengembalikan pedang Thio Eng kepada orang tua itu, akan tetapi Thio Sui Kiat dengan tertawa senang lalu berkata, “Hian-te, simpan saja pedang itu, memang seharusnya ada sesuatu untuk dijadikan barang tanda ikatan!”

Terbelalak kedua mata Kong Lee mendengar ini. Ia bingung dan tidak mengerti. “Duduklah, Hian-te,” kata Thio Sui Kiat dengan suara sungguh-sungguh dan halus. “Karena kau belum bertemu dengan ibumu, tentu saja kau belum tahu akan hal ini. Dengarlah!”

Orang tua itu lalu menceritakan kepada Kong Lee pada waktu anak muda itu dulu meninggalkan gedung itu, betapa Nyonya Lim Ek datang mencari anaknya dan betapa orang-orang tua itu telah setuju untuk menjodohkan Kong Lee dengan Thio Eng.

Bukan main terkejut dan malu sekali mengapa orang tua she Thio yang selain kaya- raya juga memiliki kepandaian tinggi itu sudi mengambil menantu kepadanya yang waktu itu masih bodoh lagi miskin. Ia merasa malu akan kebaikan hati Thio Sui Kiat, padahal ia sendiri merantau mencari kepandaian untuk dapat digunakan membalas dendam kepada orang tua itu!

Karena tidak tahu harus menjawab bagaimana, anak muda itu hanya menundukkan wajahnya yang merah dan tidak berani menentang muka Thio Sui Kiat.

“Hian-te, walaupun ibumu dulu telah menyatakan persetujuan secara bulat namun ia mengatakan hendak menanyakan lebih dulu kepadamu. Sementara itu, biarpun anakku sekarang berusia sembilan belas tahun, namun karena kami telah memberi janji kepada ibumu, maka akupun tidak mempunyai keinginan untuk mengambil menantu orang lain. Sekarang karena kita telah bertemu muka, jawablah, Hian-te.

Bagaimana pendapatmu tentang ikatan jodoh itu?”

Untuk sejenak Kong Lee mengangkat mukanya dan memandang orang tua yang bijaksana ini dengan mata kagum sekali kemudian ia lalu bangkit dari tempat duduknya, maju beberapa langkah dan berlutut di depan Thio Sui Kiat lalu berkata perlahan, “Anak ... hanya menurut kehendak ibu saja dan ... dan ... harap ... Gak-hu (Ayah Mertua) sudi memaafkan kekasaran dan kelancangan tadi ... ”

Bukan main girang rasa hati Thio Sui Kiat mendengar ini. Ia lalu mengangkat bangun calon menantunya dan memeluknya dan di kedua mata orang tua itu tampak dua butir air mata berlinang! “Kong Lee ... aku puas ... puas sekali!” Lalu orang tua itu tertawa bergelak-gelak. Ia lalu memanggil seorang pelayan dan berkata dengan suara nyaring dan wajah berseri, “Ayo panggil Nyonya dan Nona datang ke sini! Pertemuan ini harus kita rayakan!” Pelayan itu dengan heran berlari-lari masuk dan tak lama kemudian Nyonya Thio beserta anak gadisnya berjalan perlahan masuk ke ruang tamu itu. Thio Eng telah berganti pakaian dan kini memakai pakaian yang indah sehingga nampaknya makin cantik dan lemah lembut. Ia berjalan sambil membimbing tangan ibunya dengan kepala tunduk. Sifatnya yang angkuh tadi telah lenyap sama sekali.

Nyonya Thio sangat girang menerima penghormatan bakal menantunya yang berlutut di depannya memberi hormat. Empat orang itu lalu duduk mengelilingi meja dan makan bersama. Memang, dalam pergaulan, Thio Sui Kiat mempunyai pandangan bebas, maka ia sengaja mengajak Thio Eng untuk duduk di situ sehingga tentu saja gadis itu selalu menundukkan muka, sama sekali tidak berani memandang ke arah Kong Lee. Demikianpun pemuda itu, sehingga keduanya hanya saling mengirim lirikan kilat saja.

Dengan gembira sekali, Thio Sui Kiat lalu membicarakan tentang penetapan hari kawin.

Mendengar ini, tiba-tiba Kong Lee teringat akan ibunya dan ia menghela napas. “Gak-hu, harap hal ini dibicarakan kelak saja apabila ibu telah kembali.” Kemudian ia mengutarakan keinginannya menyusul dan mencari ibunya dan berangkat besok pagi. Thio Sui Kiat menyatakan persetujuan dan ia memang menganggap hal ini sudah selayaknya.

Demikianlah, sampai jauh malam Thio Sui Kiat mengajak calon mantunya bercakap- cakap dengan gembira dan dengan sejujurnya Kong Lee menceritakan pengalaman- pengalamannya sehingga calon mertuanya menjadi kagum sekali. Terutama orang tua ini mengagumi keadaan keluarga gila itu. Maka mengertilah kini Thio Sui Kiat bahwa pemuda calon menantunya ini telah memiliki kepandaian yang tinggi karena Kong Lee menceritakan semua hal, kecuali persoalannya dengan Kim Nio. Ia hanya menceritakan bahwa ketika tertawan oleh keluarga gila, ia tertolong oleh seorang pendekar wanita.

Sedikitpun Kong Lee tidak menduga bahwa pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan dengan calon mertuanya itu telah didengar oleh dua pasang telinga yang secara diam-diam bersembunyi di atas genteng! Ia tidak menduga sedikitpun bahwa di atas genteng telah mengintai seorang wanita dan seorang laki-laki yang tentu akan membuatnya kaget sekali karena kedua orang itu tidak lain ialah Pauw Kian dan Kim Nio!

Setelah puas bercakap-cakap, Kong Lee meninggalkan rumah calon mertuanya dan bermalam di sebuah rumah penginapan yang telah dipesan oleh pelayan mertuanya. Ia merasa tidak enak untuk bermalam di gedung itu dan Thio Sui Kiat juga menganggap bahwa tidak pantas bagi seorang calon menantu bermalam di rumah calon mertuanya. Akan tetapi, hal ini menjadikan sebab datangnya malapetaka pada keluarga Thio itu. Seandainya Kong Lee bermalam di gedung itu, tak mungkin malapetaka itu dapat terjadi!

Pada keesokan harinya, ketika Kong Lee baru saja bangun dari tidurnya, tiba-tiba datang Thio Sui Kiat dengan wajah pahit sekali.

“Kong Lee, celaka! Thio Eng diculik orang!” hanya demikian orang itu dapat berkata dengan muka kuatir sekali dan napas terengah-engah.

Kong Lee terkejut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya dan minta penjelasan dengan suara tenang. Thio Sui Kiat lalu menuturkan pengalamannya semalam. Setelah Kong Lee pergi meninggalkan gedung keluarga Thio, orang tua itu dengan hati puas dan girang lalu menuju ke kamarnya untuk membicarakan hal anak muda itu dengan isterinya.

Thio Eng sendiri tak dapat tidur. Semenjak pertemuannya dengan pemuda tunangannya tadi, gadis ini selalu merasa berdebar-debar dan diam-diam ia merasa bahagia sekali karena ternyata pemuda itu telah menjadi seorang perwira yang melampaui dugaan dan harapannya semula. Alangkah bahagia dan bangganya dapat menjadi isteri seorang muda yang tidak hanya berkepandaian tinggi, tapi juga tampan dan berbudi halus!

Menjelang tengah malam, tiba-tiba Thio Eng mendengar suara kaki di atas genteng kamarnya. Ia memang berhati tabah dan kecurigaannya timbul karena suara ini. Cepat ditiupnya api lilin di kamarnya sehingga padam dan gelap, lalu disambarnya pedang yang tergantung di dinding. Tak lama kemudian ia telah bertukar pakaian ringkas dan dengan gesit bagaikan seekor burung, ia meloncat keluar dari jendelanya terus mengayun tubuhnya ke atas genteng. Tak disangkanya sama sekali bahwa Kim Nio dan Pauw Kian sengaja membuat suara untuk memancing ia keluar!

Melihat bayangan dua orang di atas genteng, Thio Eng membentak, “Bangsat malam berani mati!”

Tiba-tiba seorang dari dua tamu malam itu yang ternyata seorang wanita cantik, tertawa, “Inikah macamnya gadis tunangan Kong Lee? Menyesal sekali terpaksa kau harus mati, kawan!”

Setelah berkata demikian, wanita itu yang tidak lain adalah Kim Nio Si Garuda Bermata Emas, menyerang dengan pedangnya.

Thio Eng merasa heran sekali mendengar ini, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk banyak bicara karena pedang Kim Nio telah menyerang hebat! Terpaksa ia menangkis dan balas menyerang dan kedua orang wanita cantik ini saling serang dalam sebuah pertempuran hebat. Akan tetapi, kepandaian Thio Eng masih berada di bawah tingkat kepandaian Kim Hio yang mempunyai banyak pengalaman bertempur, maka setelah bertanding belasan jurus, segera ia terdesak!

Thio Eng menjadi bingung dan ia segera berseru keras dan nyaring, “Ayah! Ada penjahat!”

Pada saat itu pedang Kim Nio telah mengurungnya dengan hebat dan keadaannya berbahaya sekali. Tiba-tiba dengan sebuah tendangan kilat, pergelangan tangan Thio Eng kena tendang dan pedangnya terlempar, jatuh di atas genteng mengeluarkan suara berisik. Ketika Kim Nio mengangkat pedangnya hendak mengirim tusukan maut.

Tiba-tiba Pauw Kian mencegahnya dan berkata, “Sumoi, jangan bunuh dia!”

Si Iblis Tangan Hitam ini dengan cepat mengirim totokan ke pundak Thio Eng dan dalam keadaan tidak berdaya Thio Eng lalu dipondong oleh Pauw Kian.

“Apa maksudmu, Suheng?” Kim Nio bertanya heran.

Posting Komentar