Han Han memotong cepat-cepat dengan suara nyaring.
"Wah, bocah sombong."
Sin Lian mendamprat.
"Kau tidak mau menjadi murid Ayah, sedangkan seluruh bocah di dunia ini mengilar untuk menjadi muridnya. Kau tidak tahu siapa Ayah? Ayah adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang tersohor di seluruh wilayah Sungai Huang-ho. Apakah engkau lebih suka menjadi gembel busuk yang tiada artinya, mengandalkan hidup dari sisa makanan?"
Merah wajah Han Han. Matanya melotot memandang anak perempuan itu. Ia merasa terhina sekali.
"Aku bukan pengemis, Dan aku tidak suka menjadi murid pengemis. Aku tidak mau menjadi anggauta kai-pang."
"Lagaknya, kau ini pengemis."
"Bukan."
"Pengemis."
"Bukan."
"Pengemis. Pakaianmu tambal-tambalan, kalau bukan pengemis, apakah kau ini Pangeran?"
"Bukan. Aku bukan pengemis, biar pakaianku tambal-tambalan aku tidak pernah mengemis. Tidak seperti engkau, biar pakaianmu baik tapi...."
"Kurang ajar, Kau beranikah kepadaku?"
"Mengapa tidak berani? Kalau aku benar, biar terhadap kaisar sekalipun aku berani."
"Phuhhh! Kalau berani hayo kita berkelahi."
"Aku bukan tukang berkelahi, bukan tukang pukul, tapi aku tidak takut kepadamu."
"Hayo pukul aku kalau berani."
"Aku bukan tukang pukul."
"Kalau aku pukul, kau berani membalas?"
"Tentu saja."
"Plakkk....."
Pipi Han Han sudah kena ditampar Sin Lian sampai Han Han terpelanting dari bangkunya. Ia bangkit dan timbul kemarahannya, akan tetapi Han Han sudah membaca kitab tentang sifat seorang gagah, tentu saja ia malu kalau harus bergelut dengan seorang anak perempuan.
"Tidak sakit."
Katanya sambil meraba pipinya yang menjadi merah.
"Balaslah."
"Membalas anak perempuan? Untuk apa, memalukan saja. Pukulanmu seperti tahu, tidak terasa sama sekali."
"Sombong."
Sin Lian marah sekali, menerjang maju dan gerakannya cepat bukan main.
"Dukkk.... plenggggg....."
Han Han terjengkang roboh. Perutnya menjadi mulas kena ditendang tadi dan kepalanya pening oleh tempilingan yang cukup keras. Gerakan kaki tangan bocah itu luar biasa cepatnya sehingga Han Han tidak tahu bagaimana caranya bocah itu menendang dan memukul. Rasa nyeri membuat lantai seperti berputar. Ia marah dan kini ia melompat bangun.
"Kau.... perempuan keji."
Katanya lalu ia menerjang maju, hendak menampar. Namun tamparannya mengenai angin belaka dan sebelum ia sempat melihat, kembali tangan kiri gadis cilik itu mampir di pipinya, menimbulkan suara nyaring dan terasa amat panas dan pedas. Tonjokan kepalan kanan yang kecil namun terlatih menyusul, mengenai lehernya, membuat Han Han terhuyung-huyung ke belakang. Tiba-tiba sebuah kaki yang kecil menyapu kedua kakinya. Tanpa ampun lagi tubuh Han Han kembali terpelanting, terbanting pada lantai di mana ia hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang puyeng seketika.
"Cukup, Lian-ji."
Terdengar kakek itu berkata, suaranya tenang dan halus. Kakek ini tadi diam saja melihat puterinya menghajar Han Han, karena memang hal ini ia sengaja, untuk "membakar"
Hati Han Han dan menimbulkan semangat jantannya. Dia menduga bahwa setelah mengalami hajaran tentu bocah itu akan merasa terhina dan sadar betapa perlunya mempelajari ilmu untuk memperkuat diri sehingga kelak tidak akan terhina orang lagi. Ia maju dan mengangkat bangun Han Han, disuruhnya duduk lagi di bangku. Han Han masih pening, ketika ia memandang bocah perempuan itu, wajah yang manis namun menggemaskan hatinya saat itu kelihatan menjadi dua. Memandang benda lain juga kelihatan dua. Maka ia meramkan mata sejenak sampai peningnya hilang, baru ia membuka matanya memandang kakek itu dengan mata penasaran.
"Nah, bagaimana pendapatmu sekarang? Kalau kau menjadi muridku, tidak mungkin kau akan mudah dihajar orang lain begitu saja."
Akan tetapi jawaban Han Han sungguh di luar dugaan Lauw-pangcu. Anak ini mengangkat muka dan dadanya, lalu berkata,
"Aku tetap tidak mau belajar berkelahi. Apa sih bangganya mengalahkan lain orang? Mengalahkan diri sendiri baru patut disebut gagah perkasa."
Dalam kemarahannya, tanpa disadarinya lagi Han Han mengucapkan ujar-ujar dari kitab. Kembali kakek itu tercengang.
"Aihhh! Dari mana kamu mengetahui filsafat itu?"
"Filsafat apa? Itu pendapatku sendiri. Mengalahkan dan memukul orang paling-paling bisa disebut sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian dan menjadi tukang pukul."
"Dan mengalahkan diri sendiri? Apa yang kau maksudkan?"
Kakek itu memancing. Han Han cerdik, ia pandai menutupi rahasianya, maka setelah otaknya bekerja, ia berkata,
"Tidak tunduk kepada kemarahan sehingga tidak memukul orang, tidak merugikan orang lain karena kepingin, tidak melakukan pekerjaan hina biarpun perut lapar, mengalahkan diri sendiri."
Dengan ucapan ini ia telah menyindir orang yang telah memukulnya, dan menyindir pekerjaan mengemis yang dianggapnya hina.
"Bocah bermulut lancang. Ayah, biar kuhajar lagi dia sampai setengah mampus."
Lauw-pangcu menggeleng kepala.
"Biarkan dia pergi."
Han Han memang telah berdiri dan melangkah pergi dari tempat itu. Ia keluar dari pintu gerbang tanpa ada yang mengganggunya, kemudian dia berlari cepat untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia teringat bahwa tadi ia dibawa ke timur, akan tetapi ia tidak ingin kembali ke barat. Tidak ingin kembali ke kota Tiong-kwan karena takut kalau-kalau bertemu dengan kakek itu lagi kelak dan menimbulkan hal-hal yang amat tidak enak. Sekarang saja ia sudah babak-belur, perutnya masih mulas, kepalanya masih berdenyut-denyut. Sambil berlari ia teringat akan Sin Lian dan diam-diam ia mengomel.
"Bocah perempuan yang keji dan galak."
Han Han berjalan terus ke timur menyusuri Sungai Huang-ho. Setelah malam tiba, ia mengaso di pinggir sebuah hutan dan mengisi perutnya yang lapar dengan telur-telur burung yang ia temukan di jalan.
Juga ada beberapa macam buah-buah yang dapat dimakan sehingga malam itu ia dapat tertidur nyenyak di pinggir hutan. Pada keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh tampak sebuah dusun. Uang bekal dan makanan sudah habis, ia harus mencari pekerjaan di dusun itu sekedar dapat makan. Di mana pun juga pasti ada pekerjaan. Biarpun di dusun, para petani membutuhkan tenaga bantuan dan tentu ada orang-orang kaya yang membutuhkan tenaga pula. Asal rajin, tak mungkin orang sampai kelaparan, asal mau bekerja. Tidak seperti pengemis-pengemis itu, hanya bermalas-malasan, ingin makan enak tanpa bekerja, biarpun hanya makanan sisa. Menjijikkan "Alangkah hinanya"
Tentu saja ia tidak sudi menjadi pengemis, biarpun diberi pelajaran ilmu memukul orang.
Apalagi selalu berdekatan dengan bocah perempuan yang ganas itu. Ia bergidik kalau teringat akan Sin Lian, sungguhpun harus ia akui bahwa wajah bocah itu manis sekali. Ketika Han Han berjalan sambil termenung sampai di pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan. Han Han mengangkat muka dan memandang. Seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berpakaian indah dan berwajah tampan, menunggang seekor kuda yang besar dan membalapkan kuda itu keluar dari dusun. Han Han cepat minggir, akan tetapi sambil tertawa-tawa anak laki-laki itu sengaja menyerempetkan kudanya sehingga Han Han yang sudah berusaha melompat masih terlanggar dan jatuh terguling. Beberapa orang dusun melihat hal ini berseru tertahan, agaknya mereka takut untuk mengeluarkan seruan keras.
"Bocah sombong, apakah kau sudah gila?"
Han Han berteriak marah sambil merangkak bangun. Kuda itu dihentikan dan diputar. Anak laki-laki yang duduk di atasnya kini tidak tertawa lagi, melainkan memandang Han Han dengan wajah bengis. Setelah kudanya tiba di depan Han Han, ia lalu melompat turun, gerakannya tangkas sekali, lalu menghadapi Han Han sambil menudingkan telunjuknya.
"Gembel busuk, Berani engkau memaki aku?"
"Setan kepala angin, Mengapa tidak berani? Yang kumaki bukan orangnya, melainkan perbuatannya. Biar kau kaisar sekalipun, kalau perbuatannya tidak benar, tentu akan dimaki orang."
Han Han membantah berani. Anak itu usianya antara sebelas tahun, kini mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak gembel, menjadi terheran-heran sehingga lupa kemarahannya.
"Siapakah kau ini berani berkata seperti itu?"
"Aku Han Han dan siapa takut mengeluarkan kata-kata benar?"
"Wah-wah, agaknya sudah miring otakmu. Tidak tahukah engkau bahwa aku adalah Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang)? Orang sekitar daerah ini tidak ada yang berani kepadaku. Apalagi jembel macam kamu. Hayo bertutut dan mohon ampun."
Bentakan ini mengandung suara marah. Seorang di antara para penduduk dusun yang mulai datang berkerumun, segera mendekati Han Han dan berkata,
"Kau agaknya bukan anak sini. Lebih baik lekas bertutut mohon ampun kepada Kongcu."
Mendengar ini, Han Han makin marah. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata,
"Apa perlunya minta ampun? Orang bersalah sekalipun tidak perlu minta ampun dan harus berani menerima hukumannya. Apalagi orang tidak bersalah."
Ucapan ini rupa-rupanya merupakan pendapat yang baru sama sekali dan mengherankan semua orang. Bahkan pemuda tampan itu sendiri terheran dan berkurang kemarahannya, lalu mengomel.
"Tidak salah katamu? Kau berdiri di jalan, menghalang kudaku."
"Bukan aku yang menghalang, tapi kau yang menabrak. Berani berbuat tidak berani mengaku, laki-laki macam apa kau?"
"Berani kau? Apa sudah bosan hidup?"
Bentak anak yang disebut tuan muda Ouwyang itu. Setelah berkata demikian, ia menerjang maju. Han Han berusaha melawan, namun ternyata Ouwyang-kongcu ini tangkas dan kuat sekali. Begitu menerjang, Han Han telah kena digampar kepalanya dan ditonjok dadanya. Han Han terjengkang, napasnya sesak. Sebuah tendangan mengenai lehernya dan dunia menjadi hitam bagi Han Han.