Pendekar Pemabuk Chapter 35

NIC

Lie-wangwe menjadi pucat mendengar ini. Sedangkan Touw tek memandang kepada Gwat Kong dengan mata terbelalak karena heran. Bagaimana pemuda ini berani mengucapkan kata- kata demikian terhadap dia? Keheranan lebih besar dari pada kemarahannya, maka ia lalu bertanya,

“Eh eh, apa maksudmu, bocah lancang?”

Gwat Kong menunda cawannya yang masih dipegangnya, lalu berkata,

“Maksudku bahwa orang yang berlagak seperti kau ini tak mungkin dapat menjaga keamanan, hanya pandai memeras uang orang belaka!” “Tikus kecil!” Touw Tek memaki marah. “Siapa berani mengacau di Hun-lam? Coba hendak kulihat, siapa berani?”

“Tikus besar!” Gwat Kong balas memaki. “Sekarang juga kau telah mengacau, hendak kulihat kau mampu berbuat apa?”

Setelah berkata demikian, dengan tenang, Gwat Kong lalu minum habis arak di cawannya, seakan-akan tak memandang sebelah mata kepada orang tinggi besar itu.

“Bun-hiante .... jangan cari perkara ...” Lie-wangwe berseru kuatir. Akan tetapi Tin Eng yang masih berdiri menyandar di tiang, berkata, “Peh-peh, jangan kuatir, tikus besar ini memang perlu diberi sedikit hajaran!”

Sementara itu Touw Tek menjadi marah sekali. Dengan gerakan yang galak, ia mencabut goloknya. Tubuh Lie-wangwe menjadi menggigil ketika ia melihat golok yang berkilau saking tajamnya itu digerak-gerakkan di tangan Touw Tek.

“Ji-kauwsu ... ji-kauwsu ... mohon kau sudi memaafkan tamuku ini. Aku akan memberi seratus tail perak kepadamu, maafkanlah kami ...”

Akan tetapi Gwat Kong telah bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Lie-lopeh, tenanglah dan biarkan aku menghadapi bajingan ini.”

Lie-wangwe menduga bahwa Gwat Kong telah menjadi mabuk, maka ia hendak mencegah, kuatir kalau-kalau pemuda ini akan disembelih oleh Touw Tek di dalam rumahnya. Akan tetapi kembali Tin Eng berkata,

“Peh-peh, biarkanlah Gwat Kong menghadapi tikus besar itu. Jangan kuatir, peh-peh!” Terpaksa Lie Kun Cwan berdiri memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan besar.

Sementara itu, Gwat Kong lalu melangkah maju dengan tenang menghadapi Ji-kauwsu Touw Tek yang memperlihatkan muka mengancam.

“Golokmu yang tumpul itu hanya cukup baik untuk menakuti anak kecil belaka, apa sih bagusnya? Membeli setail saja aku tak sudi, untuk apa kau perlihatkan kepadaku?”

“Bangsat kecil, lekas kau keluarkan senjatamu, kalau kau berkepandaian!” bentak Touw Tek yang hampir tak dapat menahan marahnya lagi.

“Bangsat besar, menghadapi golok tumpul itu tak perlu aku bersenjata!”

“Kau cari mampus!” Touw Tek berseru lalu menyerang dengan goloknya. Gerakannya dahsyat, ganas dan cepat. Goloknya diputar di atas kepala, kemudian ia membacok dengan tipu Hong-sauw-pai-yap (Angin Menyapu Daun Rontok).

“Ha ha ha, gerakanmu ini hanya cukup baik untuk menyembeli babi!” Gwat Kong mengejek sambil melompat ke pinggir mengelak dengan cepat sekali. Melihat bacokannya tak berhasil, Touw Tek berseru marah dan menyerang lagi lebih hebat. Kini dengan gerak tipu Pek-miauw- po-ci (Kucing Putih Terkam Tikus) yang dilakukan dengan nafsu membunuh bernyala-nyala keluar dari matanya. Kembali Gwat Kong mengelak cepat sambil tersenyum-senyum. Sementara itu Tin Eng menonton pertempuran itu sambil berdiri bersandarkan tiang dan iapun tersenyum melihat betapa Gwat Kong mempermainkan orang kasar dan sombong itu. Sedangkan Lie-wangwe berdiri dengan kaki terpentang dan muka dikerutkan tanda amat gelisah dan khawatir hatinya. Ia tidak mengerti ilmu silat dan melihat serangan golok yang berkelebat cepat menyilaukan mata itu, berkali-kali ia menutup matanya agar jangan melihat betapa tubuh pemuda itu akan terbabat putus menjadi beberapa potong.

Akan tetapi, ketika ia membuka matanya kembali, Gwat Kong masih hidup, bahkan kini berlompat-lompatan ke sana ke mari di sekeliling tubuh Touw Tek. Mempermainkan bagaikan seekor tikus yang gesit sekali sedang mempermainkan seekor kucing tua yang lambat dan ompong.

“Kau mau uang? Lima puluh tail perak? Seratus?” Gwat Kong mengejek sambil mengelak cepat dari sebuah sabetan golok. “Nah, ini terimalah lima puluh tail!” Tangan kanannya menyambar dan “Plok” pipi kiri Touw Tek telah kena ditamparnya.

Touw Tek merasa betapa pipinya panas dan pedas sedangkan mulutnya merasa asin tanda bahwa lidahnya merasai darah yang keluar dari bibirnya yang pecah. Bukan main marahnya dan sambil berseru keras ia menyerang dengan goloknya makin cepat. Ingin sekali ia membacok tubuh lawannya ini sampai hancur seperti bakso.

“Masih kurang?” kembali Gwat Kong mengejek. “Mau lagi? Nah, ini lima puluh tail perak lagi!” Kakinya menyambar cepat bagaikan sambaran kilat dan “buk” dada Touw Tek kena tendang sehingga tubuhnya yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Ia merasa dadanya sakit sekali akan tetapi Gwat Kong memang tidak ingin mencelakakannya sehingga tendangannya itu tidak mendatangkan luka berat.

Dasar Touw Tek berwatak sombong dan jumawa sekali, maka tendangan dan tamparan tadi yang sebetulnya harus memperingatkan dia, bahwa lawannya tidak bermaksud kejam. Bahkan diterimanya salah dan dianggapnya bahwa betapapun juga, lawannya itu tidak memiliki tenaga yang cukup besar. Ia pikir bahwa biarpun ia terkena pukul berkali-kali kalau tenaga lawannya hanya sedemikian saja, ia takkan roboh dan sekali saja ia berhasil membalas, akan mampuslah lawan ini. Maka ia tidak mundur, bahkan lalu mendesak maju dengan serangan- serangan maut.

Melihat kebandelan ji-kauwsu Touw Tek ini, Gwat Kong menjadi sebal dan penasaran juga.

“Ah, bosan aku melayani kau bertempur, kau tak pernah dapat melakukan serangan cukup baik!” katanya dan tiba-tiba pemuda itu melompat ke arah meja di mana tadi ia duduk dan menyambar cawan arak yang terus diminumnya. Sama sekali ia tidak memperdulikan Touw Tek lagi, seakan-akan menganggap lawan itu bukan apa-apa.

Hinaan ini membuat darah Touw Tek bergolak.

“Keparat!” teriaknya dengan mata merah. “Kalau hari ini aku tak dapat membunuhmu, jangan sebut aku Hun-lam Ji-kauwsu lagi!” Akan tetapi dari samping berkelebat bayangan yang cepat dan tahu-tahu gadis cantik molek yang hendak diganggunya telah berdiri di depannya sambil tersenyum manis.

“Tikus besar!” kata Tin Eng sambil memainkan senyum dan lirikannya. “Bagaimana kau dapat melawan Kang-lam Ciu-hiap? Kalau kau bisa mengalahkan aku, kau baru patut disebut Tikus Kedua! Mana kau patut disebut Guru Silat?”

Touw Tek tertegun. Apakah gadis inipun pandai ilmu silat? Ia ragu-ragu, karena biarpun mengerti ilmu silat, tak mungkin gadis cantik jelita yang pinggang ramping ini memiliki kepandaian tinggi.

“Nona, kau minggirlah dan biarkan aku membunuh bangsat itu!” “Minggir? Kau cobalah membuat aku minggir!” Tin Eng menantang.

“Lie-wangwe!” Touw Tek berseru marah kepada hartawan itu. “Jangan kau persalahkan aku apabila aku terpaksa memberi hajaran kepada keponakanmu ini!”

“Tin Eng, jangan !” Lie-wangwe mencegah.

Akan tetapi Tin Eng telah maju menyerang dengan tangan kosong. Touw Tek tadinya memandang rendah dan pukulan tangan kanan Tin Eng itu disambutnya dengan cengkeraman tangan kiri. Maksudnya ia hendak tangkap tangan itu dan dengan begitu membuat dara itu tak berdaya.

Posting Komentar