“Tak usah, tak usah mengangkat guru, hanya satu permintaanku yakni kalau kau kalah dapat kukalahkan dalam sepuluh jurus kau harus menurut segala perintahku!”
“Sepuluh jurus? Ha ha ha! Baik, baik, kalau aku kalah olehmu dalam sepuluh jurus, kau boleh memerintahku apa saja, aku akan menurut.” “Benar-benarkah?” Gwat Kong menegaskan. “Kau takkan melanggar janji?”
Pemuda itu marah sekali. “Ucapan seorang jantan lebih berharga dari pada sepuluh ribu tail emas!”
Kemudian ia memandang dengan senyum menghina. “Dan bagaimana kalau kau kalah dan tidak dapat menjatuhkan aku dalam sepuluh jurus?”
“Hmm, sesukamulah, apa yang kau minta?”
“Kalau kau kalah olehku, kau kugantungi papan di dadamu yang bertuliskan bahwa kau adalah seorang maling besar di Ki-ciu, kemudian kau harus berjalan keliling kota setengah hari lamanya!”
“Baik, baik!” kata Gwat Kong yang segera melangkah maju mendekati. “Nah, kau jagalah pukulanku jurus pertama!”
Sambil berkata demikian Gwat Kong menyerang dengan pukulan tangan secara sembarangan saja. Dengan tangan kanan ia menonjok dada Nyo Leng dengan perlahan sambil berseru,
“Jurus pertama!”
Melihat datangnya jotosan ke arah dadanya itu, Nyo Leng tersenyum mengejek dan tidak mengelak. Bahkan mengangkat dadanya itu sambil mengerahkan tenaganya. Ia hendak membuat Gwat Kong terpental seperti si botak ketika memukul perutnya tadi.
Akan tetapi ketika pukulan Gwat Kong yang dilakukan tangan kosong tiba di dadanya, Nyo Leng berteriak kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi ia benar-benar kuat. Biarpun Gwat Kong tadi telah memukul uratnya, ia tidak sampai roboh dan dapat menahan rasa sakit pada dadanya lalu melompat sambil berseru marah untuk membalas dengan serangan pukulan tangannya yang keras itu.
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum melihat daya tahan pemuda ini, maka ia lalu mengelakkan diri dari pukulan lawannya, lalu menyerang lagi sambil berseru,
“Jurus kedua!” Kali ini Gwat Kong menyerang dengan mendorongkan kedua tangannya ke arah bahu kanan kiri lawannya dengan maksud untuk mendorong jatuh pemuda itu. Nyo Leng tidak berani berlaku semberono lagi setelah tadi merasa betapa ampuhnya bekas tangan lawan, maka kini melihat dua tangan Gwat Kong mendorongnya, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba iapun mendorongkan kedua lengannya memapaki lengan Gwat Kong.
Ternyata pemuda kasar itu hendak mengadu tenaga. Sepasang lengannya yang besar dan kuat itu yang mengandung tenaga gwakang luar biasa besarnya bagaikan tenaga kerbau jantan, meluncur cepat dan hendak menumbuk dua tangan Gwat Kong yang menyambar ke arah kedua pundaknya.
Akan tetapi, Gwat Kong yang cerdik tidak mau mengadu tenaga dan begitu kedua tangannya hampir bertumbukkan dengan kedua tangan lawan, ia lalu gerakan kedua tangan ke samping dan ketika lengan lawan meluncur lewat, secepat kilat ia memegang pergelangan tangan lawan dan sambil memiringkan tubuh ia menarik lengan Nyo Leng itu ke depan.
Tenaga dorongan Nyo Leng sudah besar bukan main, kini ditambah oleh tarikan Gwat Kong, maka tidak dapat tertahan lagi, tubuh Nyo Leng terdorong ke depan dengan kerasnya sehingga kalau saja ia tidak memiliki kecepatan dan berjungkir balik dengan tangan menepuk lantai sedangkan kaki dilempar ke atas lalu membuat pok-sai (salto), tentu mukanya akan beradu dengan tanah. Gerakan ini membuat kagum semua orang, karena sekali lagi Nyo Leng memperlihatkan kekuatan dan kegesitannya.
Akan tetapi baru menghadapi dua jurus serangan Gwat Kong saja ia sudah hampir mendapat kekalahan, maka kini Nyo Leng berlaku hati-hati sekali. Ia tidak mau mengadu tenaga dan kini mulai bersilat dengan teratur dan tenang. Dengan baiknya ia dapat menjaga diri tanpa mau membalas oleh karena ia maklum bahwa Kang-lam Ciu-hiap ini ternyata benar-benar lihai bukan main, sehingga ia harus mencurahkan seluruh perhatian, tenaga dan kepandaiannya untuk menjaga diri agar jangan sampai dapat dikalahkan dalam sepuluh jurus!
Benar saja, ia telah berhasl menghindarkan serangan-serangan Gwat Kong sampai jurus ke tujuh. Akan tetapi tiba-tiba Gwat Kong mempergunakan ginkangnya yang tinggi sekali sehingga Nyo Leng kehilangan lawannya! Selagi ia merasa bingung terdengar suara Gwat Kong membentak,
“Jurus ke delapan!” Dan sebelum Nyo Leng dapat menjaga diri, jalan darahnya bagian Thian- hi-hiat telah kena ditotok oleh jari tangan Gwat Kong sehingga tiba-tiba ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi lemas. Akan tetapi Nyo Leng adalah seorang yang memiliki kemauan dan semangat baja, sehingga biarpun seluruh tubuhnya lemas sekali, ia masih dapat mempertahankan diri sehingga tidak roboh.
Gwat Kong merasa heran sekali dan menyangka bahwa totokannya tidak mengenai dengan tepat, maka ia berseru,
“Jurus ke sembilan! Akan tetapi ia tidak jadi menyerang karena melihat lawannya sama sekali tidak bergerak dan ketika ia mendorong perlahan kepada pundak Nyo Leng dan memulihkan jalan darahnya. Pemuda itu lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Kang-lam Ciu-hiap benar-benar lihai dan hebat! Teecu (murid) Nyo Leng menerima kalah!”
Dengan girang Gwat Kong mengangkat bangun pemuda itu dan mengajaknya duduk bersama di mejanya. Kemudian ia minta pemuda itu menuturkan riwayatnya.
Ternyata bahwa Nyo Leng adalah seorang yatim piatu yang semenjak kecil suka sekali mempelajari ilmu silat. Akan tetapi ia paling suka mengadu kepandaiannya dengan orang- orang lain yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi sehingga kepandaiannya makin meningkat. Karena tiap kali kalah, ia lalu mengangkat guru kepada orang yang mengalahkannya.
Biarpun ia kasar dan tidak cerdik, akan tetapi berkat sukanya belajar silat, ia memiliki kepandaian yang lumayan juga. Ia merantau ke sana ke mari tanpa tempat tujuan tertentu dan biarpun ia bodoh, akan tetapi ia amat jujur dan membenci kejahatan. Mendengar riwayat pemuda ini, Gwat Kong lalu berkata, “Saudara Nyo, mulai sekarang kau harus tinggal di Ki-ciu dan memimpin saudara-saudara ini!”
No Leng berdiri dan memandang kaget, “Apa? Benar-benar aku harus menjadi raja maling? Ah, bagaimana aku bisa menjadi orang jahat?”
“Kau salah saudara Nyo. Kau bukan menjadi orang jahat, akan tetapi dengan adanya kau yang mengawasi semua saudara ini, kau akan mencegah terjadinya kejahatan. Kau harus melarang semua perbuatan sewenang-wenang dan harus mengadakan peraturan bagi semua anggauta.
Biarpun menjadi maling harus memakai aturan dan melihat siapa orangnya yang diganggu.
Para dermawan yang suka menolong orang, orang-orang kang-ouw yang kebetulan lewat di kota ini, orang-orang miskin, pembesar-pembesar yang bijaksana dan adil, mereka ini tidak seharusnya diganggu. Hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar kejam boleh diambil hartanya.”
Nyo Leng memandang dengan wajah berseri. “Benar juga! Kalau aku dapat mengatur sehingga maling-maling ini tidak berbuat sewenang-wenang, berarti aku telah menghalangi kejahatan. Boleh-boleh! Aku terima jabatan ini sekarang juga!”
Gwat Kong lalu berkata kepada Lok Ban. “Saudara Lok, kau dan kawan-kawanmu tadi minta kepadaku utk menjadi pangcu. Hal ini tak dapat kuterima oleh karena aku tak dapat tinggal di tempat ini dan apakah artinya seorang pemimpin yang tidak berada di sini dan tidak memimpin dengan langsung? Kalian telah melihat kepandaian saudara Nyo Leng ini yang ternyata lebih tinggi dari pada kepandaian kalian. Maka sekarang jabatan yang tadi kalian tawarkan kepadaku kuserahkan kepada saudara Nyo Leng ini. Harap kalian tidak menolak.”
Lok Ban dan kawan-kawannya menyatakan persetujuannya, oleh karena mereka maklum bahwa pemuda muka hitam itu memang lebih lihai dari pada mereka. Dan juga bahwa pemuda itu mempunyai hati yang baik, jujur dan tidak kejam. Maka, dengan gembira mereka lalu merayakan pengangkatan ini dengan hidangan-hidangan baru.
Semenjak terjadinya pertempuran tadi, para tamu restauran ini telah pergi jauh-jauh karena kuatir kalau-kalau terbawa-bawa sehingga keadaan di situ menjadi sunyi. Pesta berjalan sampai jauh malam dan akhirnya Gwat Kong dan Tin Eng mengundurkan diri dan kembali ke hotelnya.
****
Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong mengawani gadis itu menuju ke kota Hun-lam. “Di sana aku mempunyai seorang paman, yakni kakak dari ibuku,” kata gadis itu. “Aku
pernah pergi ke sana bersama ibu ketika masih kecil dan kalau tidak salah, pamanku seorang hartawan besar yang baik hati.”
Perjalanan dilakukan tanpa tergesa-gesa dan di sepanjang jalan, Tin Eng mendapat petunjuk- petunjuk dari Gwat Kong dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berlatih dalam ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Tin Eng pernah mempelajari ilmu pedang ini dengan amat tekun dan rajinnya dan walaupun yang dipelajarinya hanyalah salinan yang kurang sempurna, akan tetapi pengetahuannya cukup untuk dijadikan dasar. Maka kini setelah mendapat petunjuk dan latihan-latihan dari Gwat Kong, ia mulai dapat merobah permainannya dengan ilmu yang asli, sehingga ia memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Juga dalam hal ilmu lweekang, ia mendapat petunjuk-petunjuk menurut pelajaran dalam kitab aslinya.
Hubungan mereka makin erat dan kini mereka bukan bersikap sebagai dua orang sahabat karib. Biarpun dari mulut mereka tak pernah mengeluarkan ucapan yang menyatakan betapa perasaan hati mereka, akan tetapi pandangan mata mereka telah mewakili hati masing-masing.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Hun-lam. Kota ini cukup besar dan ramai, dan karena iklimnya sedang, maka banyak pengunjung dari luar kota datang bertamasya ke situ.
Terutama sekali di sebelah barat kota terdapat sebuah telaga yang indah, yakni telaga Oei-hu di mana banyak pelancong menghibur diri di atas perahu.
Sungguhpun Tin Eng telah lupa lagi di mana letak rumah pamannya. Bahkan telah lupa lagi akan wajah orang tua itu, karena dulu ketika mengunjungi tempat ini ia baru berusia lima tahun. Akan tetapi karena ia mengerti nama pamannya, mudah saja mereka mencari gedung dari Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (hartawan Lie) oleh karena Lie-wangwe adalah hartawan yang paling ternama di kota itu. Bukan hanya kekayaannya, akan tetapi karena ia terkenal sebagai seorang dermawan.
Ketika Tin Eng bersama Gwat Kong diterima oleh Lie-wangwe, Tin Eng sama sekali pangling melihat pamannya itu. Sebaliknya Lie Kun Cwan juga memandang heran karena ia tidak pernah bertemu dengan gadis cantik dan pemuda yang gagah itu. Memang ada persamaan antara mata orang tua itu dengan ibunya, demikian Tin Eng berpikir dengan terharu karena ia melihat betapa wajah pamannya ini nampak seakan-akan ia sedang berada dalam kedukaan besar.
Dengan ramah tamah Lie-wangwe mempersilahkan kedua tamunya yang muda itu mengambil tempat duduk, kemudian dengan tenang ia berkata,
“Ji-wi (kalian berdua) ini siapakah dan keperluan apakah yang ji-wi bawa?”
“Peh-peh, apakah benar-benar aku berhadapan dengan Lie peh-peh (uwa Lie)?” tanya Tin Eng sambil berdiri.
“Aku benar bernama Lie Kun Cwan, akan tetapi, siapakah nona?”