Halo!

Pendekar Pemabuk Chapter 31

Memuat...

“Sudahkah kau membalas dendam orang tuamu itu, Gwat Kong?” tanyanya.

“Musuh besar itu telah meninggal dunia hanya tinggal seorang puterinya. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Haruskah aku membalas kepada anaknya itu?”

Tin Eng merasa ragu-ragu untuk menjawab, karena iapun merasa betapa sulitnya untuk mengambil keputusan dalam hal ini. “Dan bagaimana pendapatmu sendiri?” ia balas bertanya.

“Menurut pendapatku, puteri musuh besar orang tuaku itu tidak ikut apa-apa dan ia tidak berdosa. Maka tidak seharusnya kalau aku membalas dendam kepadanya. Apakah hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa keluarga ayahku? Yang bersalah adalah ayahnya dan ia tidak tahu menahu tentang hal itu. Oleh karena inilah maka aku tidak berniat membalas dendam kepada orang yang sama sekali tidak berdosa.” Tin Eng mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kau adil dan mulia Gwat Kong. Kalau aku sendiri menjadi puteri musuh besar itu, aku akan merasa ngeri mendapatkan musuh yang membalas dendam seperti kau!”

Setelah agak lama mereka berdiam saja, Gwat Kong lalu bertanya, “Dan sekarang kau hendak pergi ke manakah, Tin Eng?”

Ditanya demikian, Tin Eng kembali teringat akan semua barangnya yang telah hilang, maka jawabnya sambil menarik napas panjang, “Entahlah, aku tidak mempunyai tujuan tetap, apalagi sekarang setelah semua uangku tercuri orang. Untuk membayar sewa kamar saja aku tidak mampu.”

“Akupun tidak mempunyai uang, akan tetapi apa susahnya hal ini? Kau bisa ‘pinjam’ dari para hartawan di kota Ki-ciu.”

“Pinjam? Tanya Tin Eng heran.

Gwat Kong tersenyum. “Biarpun aku sendiri baru saja merantau dan menerjunkan diri dalam dunia kang-ouw, akan tetapi agaknya dalam hal ini aku lebih matang dari padamu, Tin Eng. Istilah ini digunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk mengambil sedikit uang para hartawan untuk digunakan sebagai biaya perjalanan.”

“kau maksudkan mencuri? Gwat Kong! Bagaimana kau bisa memberi nasehat kepadaku

supaya menjadi pencuri?”

“Dalam hal ini, mencuri yang dilakukan oleh orang-orang kang-ouw berbeda sifatnya, Tin Eng,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang-orang perantau di dunia kang-ouw pekerjaannya menolong orang-orang yang perlu ditolong tanpa mengharap akan upah atau pembalasan jasa dan dari manakah mereka bisa mendapatkan uang untuk biaya perjalanan dan membeli makanan? Mengambil sedikit uang dari para hartawan bukan berarti apa-apa lagi bagi hartawan itu dan kalau digunakan bukan untuk mencari kesenangan diri, maka dosanya tidak begitu besar!”

Tin Eng menjadi geli mendengar alasan ini. “Benar-benar lucu, apakah dosa itu ada yang besar dan kecil?”

Gwat Kong juga tersenyum mendengar ini dan pada saat itu, tiba-tiba dari jauh datang berlari seorang laki-laki yang setelah dekat ternyata bukan lain ialah Lok Ban si Tangan Seribu, kepala maling di kota Ki-ciu.

Melihat orang ini, Tin Eng yang sudah mengambil kembali pedangnya tadi, melompat dan mengejar dengan pedang di tangan. Akan tetapi, kepala maling itu memang sengaja menghampiri mereka dan datang-datang ia lalu menjura dengan hormat sekali.

“Ji-wi, harap jangan salah sangka. Kedatangan siauwte ini bukan membawa maksud buruk akan tetapi semata-mata hendak mengembalikan barang-barang lihiap yang tadi telah diambil oleh seorang kawan kami yang salah tangan!” Sambil berkata demikian, ia memberikan bungkusan pakaian Tin Eng yang ternyata masih lengkap. Tin Eng menerima buntalan pakaian dan perhiasan serta uangnya itu dengan girang dan juga terheran-heran, lalu bertanya,

“Sahabat, bagaimanakah maksudnya semua ini? Tadinya kau dan kawan-kawanmu mencuri barang-barangku dan sekarang tanpa diminta kau mengembalikannya!”

Si raja maling itu tersenyum dan menjura lagi. “Kami tidak tahu bahwa yang kami ambil barangnya adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan kawan baik seorang pendekar besar seperti Kang-lam Ciu-hiap, harap saja ji-wi sudi memberi maaf kepada kami.”

Gwat Kong yang telah berdiri bertanya dengan heran, “Eh, kau juga sudah mendengar namaku?”

Lok Ban tersenyum. “Biarpun belum lama kau membuat nama besar, taihiap, akan tetapi kami telah mendengarnya. Bahkan kami telah menyaksikan pula betapa kau telah mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang tangguh itu. Benar-benar membuat kami merasa tunduk!”

“Kau terlalu memuji, kawan,” kata Gwat Kong merendah.

“Untuk menebus kesalahan kawan kami, kami mengundang kepada ji-wi untuk datang menghadiri sedikit perjamuan makan yang kami adakan untuk menghormati ji-wi dan menyatakan maaf kami. Harap ji-wi tidak menolak.”

Kedua orang muda itu saling pandang dan sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti Lok Ban yang ternyata membawa mereka ke kota Ki-ciu dan dalam sebuah rumah makan terbesar telah berkumpul belasan maling-maling yang terbesar, di antaranya si botak yang dulu mengambil barang-barang Tin Eng. Mereka menyambut Gwat Kong dan Tin Eng dengan penuh penghormatan dan mempersilahkan mereka duduk di kursi kehormatan.

Gwat Kong dan Tin Eng dijamu dengan penuh penghormatan oleh Lok Ban si Tangan Seribu dan kawan-kawannya, yakni seluruh anggauta perkumpulan maling. Kedua orang muda itu setelah mulai makan, saling pandang dengan penuh keheranan, oleh karena masakan-masakan yang dihidangkan luar biasa enaknya dan tidak kalah oleh hidangan-hidangan orang-orang besar atau orang-orang hartawan.

“Masakan ini sedap sekali!” seru Tin Eng yang doyan makan hidangan lezat. “Saudara Lok, bumbu apakah yang dipakai untuk masakan-masakan ini?”

Lok Ban si Tangan Seribu tersenyum-senyum senang mendengar pujian ini, dan kemudian berkata dengan bangga,

“Lihiap, tidak sembarangan orang dapat menikmati masakan yang memakai bumbu dari istana kaisar ini! Kami sengaja menggunakan sisa bumbu yang dulu kami ambil dari dapur istana kaisar untuk membuat masakan ini dan menjamu ji-wi (kalian berdua)!”

Gwat Kong tertawa. “Jadi tanganmu sudah kau ulur demikian panjang sehingga sampai di dapur istana kaisar?”

Lok Ban tersenyum lagi. “Hanya untuk mengambil bumbu ini Ciu-hiap! Kami tidak berani mengambil barang-barang berharga. Oleh karena itu, kami tidak dikejar-kejar dan dimusuhi oleh perwira-perwira kerajaan. Siapa yang mau meributkan soal kehilangan bumbu masakan? Paling-paling hanya tukang masak istana saja ribut-ribut seperti terbakar jenggotnya!” Lok Ban tertawa, membuat Gwat Kong dan Tin Eng juga tertawa geli.

Tiba-tiba Lok Ban yang tadinya tertawa-tawa itu berubah menjadi bersungguh-sungguh dan ia berdiri dari kursinya. Melihat kepala maling ini berdiri, semua anggauta yang hadir di situ lalu menghentikan percakapan mereka dan keadaan menjadi hening.

“Saudara-saudara sekalian,” katanya dengan suara nyaring. “Kalian tentu telah mendengar nama Kang-lam Ciu-hiap yang biarpun baru saja membuat nama besar, akan tetapi telah amat terkenal. Dengan kedua mataku sendiri, aku menyaksikan bagaimana Ciu-hiap mempermainkan dan mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang lihai. Setelah kini Ciu-hiap berada di tengah-tengah kita, mengapa kita tidak minta agar supaya Ciu-hiap memimpin kita? Aku Lok Ban si Tangan Seribu, kalau dibandingkan dengan Kang-lam Ciu-hiap, menjadi Lok Ban si Tangan Buntung.”

“Setuju ....! Setuju ...!” Kawan-kawannya berseru gembira oleh karena mereka ini telah percaya sepenuhnya kepada Lok Ban sehingga apa saja yang diusulkan oleh si Tangan Seribu ini mereka anggap baik dan tepat.

Lok Ban lalu menjura kepada Gwat Kong dan berkata,

“Ciu-hiap, sebagaimana telah kau dengar sendiri, maka kami mohon sudilah kiranya mulai sekarang Ciu-hiap menerima pengangkatan sebagai Pangcu (ketua) kami dan memimpin kami yang bodoh!”

Gwat Kong menjadi bingung dan terkejut mendengar ini. Dia hendak diangkat menjadi kepala maling? Pemuda itu hanya duduk dengan mata terbelalak dan mulutnya ternganga, bengong tak dapat menjawab, hanya memandang kepada Tin Eng dengan muka bodoh.

Gadis itu tertawa geli melihat keadaan ini dan teringat akan ucapan Gwat Kong bahwa pemuda itu juga pernah melakukan pencurian uang untuk biaya perjalanan. Maka ia segera menggoda,

“Mengapa kau merasa sangsi? Bukankah kau juga mempunyai kesukaan untuk mencuri seperti yang kaukatakan tadi sebelum datang ke sini? Ha ha ha, kau memang pantas menjadi raja maling!”

Gwat Kong hendak menegur, akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa keras dan tiba- tiba sesosok bayangan orang melompat ke atas loteng di mana perjamuan para maling itu diadakan. Bayangan ini adalah seorang pemuda tinggi besar yang bermuka hitam. Matanya lebar dan hidungnya besar, sedangkanan dua telinganyapun lebar sehingga mukanya nampak lucu akan tetapi membayangkan kebodohan, kekasaran dan kejujuran.

“Maling-maling berpesta pora di rumah makan dengan terang-terangan, Ha ha ha! Pemandangan yang aneh! Sungguh lucu sekali kota Ki-ciu ini.”

Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang besar itu bergerak-gerak, mukanya berdongak dan kedua tangannya bertolak pinggang. Marahlah maling botak itu yang dulu mencuri barang-barang Tin Eng melihat kedatangan orang muda yang mengejek mereka ini. Dengan gerakan yang amat gesit, menunjukkan bahwa ginkangnya sudah tinggi, si botak ini lalu melompat ke depan pemuda tinggi besar itu dan membentak,

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment