Sungguhpun yang dipakai menyerang hanya sebuah suling bambu, akan tetapi oleh karena gerakannya demikian cepat bagaikan paruh garuda menyambar-nyambar mencari sasaran yang tepat di tubuh lawan, maka amat berbahaya bagi kedua lawannya itu. Sedangkan tiga orang lain yang bersenjata pendek, dapat digagalkan serangan mereka oleh tangkisan pedang Sin-eng-kiam di tangan kanannya.
Menghadapi akal Gwat Kong yang amat lihai ini, Lim Hwat dan kawan-kawannya tidak berdaya, maka ia lalu berseru keras memberi tanda sehingga kawan-kawannya segera merobah gerakan mereka. Kini mereka mainkan ilmu silat Ngo-heng-soan, dan mereka mulai berlari-lari mengitari Gwat Kong! Sambil berlari mengitari pemuda yang terkurung itu, kadang-kadang mereka melancarkan serangan-serangan yang tak terduga datangnya sehingga terpaksa Gwat Kong mengikuti gerakan memutar itu dan mainkan pedang dan suling untuk menjaga diri! Pergantian serangan yang tiba-tiba ini agak membingungkan pemuda itu sehingga untuk beberapa jurus lamanya ia tidak kuasa membalas dan hanya menjaga diri dengan kuatnya.
Sementara itu, Tin Eng memandang ke arah pertempuran itu dengan keheranan dan kekaguman yang makin memuncak. Dadanya berdebar keras karena berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Bangga, girang, heran dan malu bercampur aduk di dalam pikiran dan hatinya. Tak pernah disangkanya bahwa Gwat Kong, pemuda yang nampak bodoh dan jujur itu, yang selalu menurut perintahnya dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi ia mulai merasa khawatir melihat betapa kelima orang pengeroyok Gwat Kong itu benar-benar lihai dan kini dengan agak bingung dan gelisah ia melihat betapa kelima orang itu sambil berlari-lari mengitari Gwat Kong menyerang dan menghujani pemuda itu dengan serangan bertubi-tubi.
Sebetulnya, Gwat Kong sedang mencari jalan untuk memecahkan cara menyerang yang aneh dan membingungkan ini. Akan tetapi selagi ia mencari lowongan, tiba-tiba kelima orang itu mengubah lagi gerakannya. Dan kini mereka mengelilingi tubuh Gwat Kong dengan cara yang berlawanan yakni tiga orang lain berlari mengitari pemuda itu dari kiri memutar ke kanan, sedangkan Lim Hwat dan Lim Can berlari dari kanan memutar ke kiri.
Sementara itu, serangan mereka datangnya lebih gencar lagi dan kembali Gwat Kong dapat dibikin bingung karena ia tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengikuti gerakan memutar yang berlawanan ini. Memang Ngo-heng-tin atau Barisan Lima Daya ini benar- benar hebat dan luar biasa sekali. Sungguhpun hatinya ingin sekali membantu Gwat Kong, akan tetapi Tin Eng tidak berani turun tangan oleh karena ia maklum akan kelihaian lawan dan sekarang setelah pedangnya tidak ada, ia sama sekali tidak berani membantu, takut kalau-kalau bahkan mengacaukan perlawanan Gwat Kong.
Tiba-tiba Gwat Kong mendapat akal dan matanya mulai menjadi biasa dengan gerakan memutar dari kelima orang lawannya itu. Ia berhenti bergerak dan kini ia berdiri diam di tengah-tengah kurungan, membiarkan kelima orang lawannya berlari-lari makin cepat. Kalau ada senjata lawan yang melayang ke arahnya barulah ia menggerakkan suling atau pedangnya untuk menangkis.
Yang paling lihai di antara kelima macam senjata lawan itu adalah cambuk Lim Hwat dan tongkat kepala naga Lim Can, maka perhatiannya ditujukan sepenuhnya ke arah kedua senjata tersebut. Pada suatu saat, cambuk Lim Hwat menyambar ke arah dadanya dalam sebuah sabetan keras.
Gwat Kong membuat dua gerakan yang amat cepat sambil melompat ke atas menghindarkan kedua kakinya dari sapuan tongkat kepala naga. Gerakan ini ialah dengan sulingnya ia menangkis ujung cambuk dan ketika suling itu diputar maka ujung cambuk melibat suling itu. Secepat kilat Sin-eng-kiam di tangan kanannya menyambar ke arah cambuk yang tertarik dan menegang itu dan putuslah cambuk itu di bagian ujungnya terkena babatan Sin-eng-kiam yang tajam.
“Kurang ajar!” Lim Hwat berseru marah dan pada saat itu karena gerakan tadi membuat kawan-kawannya terpaksa menunda lari mereka. Maka dalam keadaan kepungan itu tidak bergerak memutar, Gwat Kong lalu menyerang dengan kuat ke arah dua orang yang dianggapnya paling lemah di antara mereka, yakni Teng Ki dan Teng Li yang bersenjata pedang.
Ketika sulingnya meluncur menotok pundak Teng Ki yang berpedang panjang dan pedang Sin-eng-kiamnya diluncurkan membabat lengan Teng Li. Kedua orang itu segera menangkis dan Oey Sian yang bersenjata golok dan berdiri di sebelah kiri Teng Li lalu menyerang dengan goloknya ke arah leher Gwat Kong. Pemuda ini menggunakan pedangnya yang tertangkis oleh Teng Li secepat kilat tanpa menunda lagi lalu mendahului Oey Sian dengan tikaman pedang itu ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang golok.
Maka terdengar Oey Sian memekik kaget dan segera menggulingkan tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang kepada pergelangan lengannya itu. Kesempatan itu dipergunakan oleh Gwat Kong untuk melompat keluar dari kepungan sambil memutar pedangnya menerjang ke tempat lowong yang tadi di tempati Oey Sian, yakni di antara Teng Li dan Lim Hwat.
Tentu saja Lim Hwat sebagai otak barisan itu yang memimpin pengepungan tidak membiarkan lawannya terlolos dari kepungan, maka ia lalu berteriak sambil menggerakkan cambuknya yang telah terputus ujungnya itu untuk memaksa Gwat Kong kembali ke dalam kurungan. Akan tetapi, Gwat Kong berseru lagi dengan nyaring dan ketika ia berjungkir balik dengan gerakan Garuda Sakti Menembus Mega, tubuhnya mumbul tinggi dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Saat itu ia pergunakan untuk mengirim bacokan ke arah pundak Lim Hwat yang tak berdaya mengelak sehingga pundak kirinya terserempet ujung pedang. Ia berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang dengan pundak mengalirkan darah.
Gwat Kong tidak mau berhenti sampai sekian saja. Sambil mempergunakan kesempatan selagi para pengeroyoknya kacau keadaannya. Ia lalu mengerjakan dua senjata di tangannya dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika pedangnya berhasil memutuskan dua buah jari tangan Oey Sian sehingga goloknya terpental jauh dan sulingnya dapat menotok jalan darah pada pundak Teng Li sehingga orang ini roboh dengan lemas.
Dua orang pengeroyok lain, yakni Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga dan Teng Ki yang bersenjata pedang panjang, memburu untuk menolong saudara-saudaranya. Akan tetapi sekali pedang dan suling di tangan Gwat Kong bergerak, ujung tongkat yang berbentuk kepala naga itu terbabat putus dan pedang di tangan Teng Ki terpental jauh pula karena suling Gwat Kong dengan tepat telah menghantam pergelangan tangannya.
Demikianlah, dengan sekali gus dan dalam waktu yang luar biasa cepatnya sehingga Tin Eng sendiri memandang dengan bingung dan mata kabur, lima orang jago Ngo-heng-tin itu kena dikalahkan oleh Gwat Kong yang masih berlaku murah hati dan tidak membinasakan mereka. Hanya memberi pukulan-pukulan yang membuat mereka terluka, akan tetapi cukup membuat mereka tak dapat maju pula.
Lim Hwat sambil meringis kesakitan dan memegang-megang pundaknya yang berdarah dan wajahnya sebentar pucat sebentar merah, lalu menjura dan membungkukkan tubuh kepada Gwat Kong sambil berkata,
“Anak muda, kau benar-benar lihai sekali dan ternyata kau telah memiliki ilmu pedang Sin- eng Kiam-hoat dan juga pedang Sin-eng-kiam telah berada di tanganmu! Siapakah sebenarnya kau?”
Dengan sikap masih tenang dan suara biasa saja, Gwat Kong menjawab, “Aku bernama Bun Gwat Kong atau boleh juga kau sebut Kang-lam Ciu-hiap sebagai mana orang-orang Kang- lam menyebutku.”
“Bagus, bagus! Nama ini takkan kami lupakan. Saat ini kami mengaku kalah, akan tetapi tunggulah satu dua tahun lagi, Kang-lam Ciu-hiap. Pasti kami akan mencarimu untuk membuat perhitungan.”
“Bun-ko, mintakan kitabku!” Tiba-tiba Tin Eng berseru dan Gwat Kong tiba-tiba merasa betapa mukanya menjadi panas dan warna merah menjalar dari telinga kiri sampai ke telinga kanan ketika mendengar betapa gadis itu kini menyebutnya ‘Bun-ko’!”
Sementara itu, Lim Hwat ketika mendengar ucapan Tin Eng ini, dengan tersenyum pahit lalu mengeluarkan kitab itu dari saku bajunya sebelah dalam dan memberikan itu kepada Tin Eng sambil berkata,
“Terimalah kitab palsu ini. Kau boleh mempelajarinya sampai seratus kali akan tetapi tidak akan ada gunanya!” Setelah berkata demikian, kembali Lim Hwat menjura terhadap Gwat Kong dan kemudian memberi tanda kepada empat orang saudaranya untuk masuk ke dalam rumah yang lalu ditutupkan pintunya keras-keras. Gwat Kong menghampiri Tin Eng yang memandangnya dengan mata kagum sekali. Tanpa berkata sesuatu, keduanya lalu berjalan menuju kota Ki-Ciu kembali. Di tengah jalan, Gwat Kong tidak dapat menahan lagi keadaan yang sunyi di antara mereka itu, maka dengan muka merah ia lalu berkata,
“Liok-siocia, maafkan aku yang telah menyembunyikan keadaanku darimu.”
Tin Eng memandangnya dan tersenyum. “Mengapa minta maaf? Kau hebat dan lihai sekali, seratus kali lebih hebat dari padaku.”
Makin merahlah wajah Gwat Kong mendengar ini, karena ia merasa seakan-akan ia disindir. “Kau juga cukup lihai, nona, hanya sayangnya kau telah mempelajari kitab yang salinan belaka. Masih ingatkah kau akan kitab yang sebuah lagi, yang kau sebut kitab berisi sajak dan syair kuno itu?”
Tin Eng mengingat-ingat lalu mengangguk.
“Nah, kitab yang kau anggap tidak berguna itulah sebetulnya kitab pelajaran Sin-eng Kun- Hoat dan Sin-eng Kiam-hoat yang asli. Aku diam-diam mempelajari kitab itu sehingga dapat juga memiliki sedikit ilmu kepandaian.”
Tin Eng makin merasa kagum dan terheran sehingga ia menunda kedua kakinya. Keduanya berdiri di pinggir jalan, berhadapan dan saling pandang.
“Bun-ko ”
“Nona, mengapa kau menyebutku demikian, aku masih tetap Gwat Kong yang dulu bagimu.”
Tin Eng menggelengkan kepalanya. “Jangan membuat aku merasa malu terhadap diri sendiri, Bun-ko. Aku selalu menganggap kau sebagai orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Tidak tahunya kau bahkan pandai membaca kitab kuno. Satu hal yang sama sekali tak pernah kusangka. Tadinya ku kira kau buta huruf tidak tahunya kau terpelajar pula. Aku tidak berhak menyebutmu dengan nama begitu saja.”
“Mengapa begitu? Sungguh, aku merasa tidak enak sekali mendengar sebutan itu, nona. Aku lebih senang kalau kau sebut namaku saja!”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Boleh, aku akan menyebutmu biasa saja, akan tetapi kaupun harus membuang jauh-jauh sebutan nona itu! Aku boleh kau sebut Tin Eng saja tanpa embel-embel nona. Bagaimana?”
Dengan muka merah Gwat Kong berkata, “Baiklah, nona.”
“Hussh! Bagaimanakah ini? Mengapa menyebut baik, akan tetapi kembali menyebut nona?” “Eh ... aku ... aku lupa, non ..” jawab Gwat Kong gugup sehingga Tin Eng memandang geli.
“Gwat Kong, kau benar-benar hebat. Aku merasa kagum sekali. Kau harus mengajarku dengan ilmu silatmu itu!”. Setelah menyebut nama Gwat Kong seperti biasa, Tin Eng merasa biasa kembali dan lenyaplah keraguan dan rasa malu-malu tadi. Juga Gwat Kong merasa lebih enak dan leluasa.
“Tentu ... Tin Eng, kalau kau kehendaki, aku akan dapat memberi pelajaran kepadamu sedapat mungkin.”
Mereka duduk di pinggir jalan dan berteduh di bawah lindungan pohon. Kemudian Gwat Kong menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendapatkan kitab itu. Betapa ia mempelajari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat dengan diam-diam dan rajin. Ia menceritakan pula tentang semua pengalamannya semenjak ia meninggalkan gedung Liok-taijin dan betapa ia mendapat julukan Kang-lam Ciu-hiap.
“Kau memang patut menjadi pendekar arak, karena kau memang seorang pemabok!” kata Tin Eng yang teringat kembali akan peristiwa di dalam gedungnya ketika ia hampir membunuh Gwat Kong yang sedang mabok. Merahlah muka pemuda itu mendengar hal ini disebut-sebut.
“Gwat Kong, sebetulnya kau berasal dari manakah? Kau telah bertahun-tahun bekerja di rumah orang tuaku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Apakah kau tidak keberatan untuk menceritakan kepadaku?”
Sebetulnya Gwat Kong merasa ragu-ragu untuk menceritakan hal ini kepada siapapun juga akan tetapi kepada Tin Eng, tiba-tiba ia timbul rasa seakan-akan gadis ini bukan orang lain dan bahkan seakan-akan sudah seharusnya ia menceritakan keadaannya kepada Tin Eng.
Maka secara singkat ia menceritakan riwayatnya, betapa ia dahulu adalah seorang putera Bun- tihu di Lam-hwat dan ayahnya difitnah orang sehingga ia dibawa pergi oleh ibunya yang hidup penuh penderitaan. Ketika menceritakan betapa ia tersesat, mabok-mabokan dan bergaul dengan segala orang muda yang tidak baik sehingga ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia di Ki-hong, tak tertahan pula Gwat Kong mengalirkan air mata yang segera disusutnya dengan ujung lengan bajunya.
Tin Eng mendengar penuturan ini dengan hati amat terharu sehingga ia ikut pula melinangkan air mata. Tak disangkanya bahwa Gwat Kong adalah putera seorang tihu yang adil dan jujur. Diam-diam ia merasa girang mendapatkan kenyataan ini sungguhpun ia tidak tahu mengapa ia boleh merasa girang.