Halo!

Pendekar Pemabuk Chapter 27

Memuat...

Gwat Kong yang melihat ilmu silat pedang orang gila itu, tak terasa pula berseru keras sehingga semua orang menengok ke arahnya dengan heran. Ternyata bahwa orang gila itu telah bersilat pedang Sin-eng Kiam-hoat yang biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi masih lebih tinggi dan hebat dari pada Sin-eng Kiam-hoat yang dimiliki oleh Liok Tin Eng.

Saking tertariknya Gwat Kong tidak memperdulikan pandangan mata terheran-heran dari semua orang dusun Ma-chun itu dan segera melangkah maju menghampiri orang gila yang masih saja bersilat pedang dengan cepatnya. Pemuda ini lalu mencabut keluar sulingnya dan ia segera bersilat pula, mengimbangi permainan orang gila itu. Kakek bongkok yang berotak miring itu ketika melihat gerakan suling Gwat Kong, tiba-tiba menghentikan permainan pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak dan mulut berbusa.

“Kau mencuri ilmu pedangku!” teriaknya keras.

“Tidak, locianpwe, karena ilmu pedangku yang lebih asli. Ilmumu itu hanya tiruan belaka yang tidak sempurna!” jawab Gwat Kong dengan berani.

Orang gila itu memekik keras lalu tertawa bergelak. “Kau kau memiliki Sin-eng Kiam-

hoat! Kau tentu orangnya iblis-iblis Ngo-heng!” “Bukan, aku tidak kenal kepada iblis-iblis Ngo-heng!” Akan tetapi orang gila itu menjadi makin marah lagi. “Kau pencuri!” Setelah memaki marah, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Gwat Kong dengan ilmu gerakan Sin-eng- tian-ci atau Garuda Sakti Pentangkan Sayap. Serangan ini hebat sekali dan Gwat Kong yang sudah hafal benar akan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat, melihat betapa gerakan ini biarpun kurang tepat, akan tetapi dilakukan dengan ginkang yang luar biasa tingginya sehingga tubuh orang gila itu lenyap terbungkus sinar pedang.

Sebagai seorang ahli ilmu pedang ini, bahkan yang memiliki kepandaian dari kitab aslinya, tentu saja Gwat Kong tahu bagaimana harus menghadapi lawannya, maka ia lalu mainkan gerak tipu Sin-eng-hian-jiauw atau Garuda Sakti Pentang Kuku. Sulingnya bergerak cepat dan mengikuti gerakan pedang lawan hingga ke mana saja ujung pedang itu selalu bertemu dengan sulingnya dan dapat disampok kembali ke arah penyerangnya.

“Maling ... pencuri ilmu ...” berkali-kali orang gila itu berteriak-teriak marah dan gerakannya makin nekat dan buas. Dari mulutnya keluar busa putih dan sepasang matanya terputar-putar makin cepat dan kini telah berubah merah.

“Locianpwe, jangan salah duga. Aku bukan pencuri, dan marilah kita bicarakan baik-baik,” kata Gwat Kong sambil membalas dengan serangannya. Akan tetapi kakek gila itu tidak mau memperdulikan ucapannya, bahkan menyerang makin hebat.

Terpaksa Gwat Kong lalu melayaninya dan kini pemuda ini tidak mau memberi kelonggaran pula. Ia keluarkan ilmu pedangnya yang paling kuat dan karena ilmu pedang itu walaupun sama dengan kepandaian si gila, akan tetapi lebih asli dan sempurna. Sebentar saja sulingnya dapat mendesak pedang lawan dan beberapa kali ia berhasil menotok jalan darah lawannya.

Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika mendapat kenyataan betapa lawannya yang gila itu ternyata memiliki kekebalan dan tidak roboh karena totokannya yang tepat mengenai jalan darah. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu lweekang kakek itu yang sambil berkelahi dapat menutup jalan darahnya sehingga menjadi kebal terhadap totokan-totokan.

Sungguhpun demikian, namun tenaga totokan Gwat Kong yang kuat dengan lweekangnya yang sudah tinggi karena dilatih secara rahasia dan luar biasa menurut petunjuk kitab pelajarannya membuat kakek gila itu tergetar tubuhnya dan makin lama permainannya makin menjadi lemah. Yang lebih merepotkannya, ialah karena tangan kirinya telah mati kaku dan tak dapat digerakkan lagi sehingga permainan pedangnya kurang mendapat imbangan tubuh yang baik. Terutama sekali ia telah menderita luka-luka di dalam tubuh yang makin menghebat karena tidak terawat dan karena makan obat secara serampangan saja.

Tiba-tiba kakek gila itu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan roboh pingsan dengan pedang masih terpegang erat-erat di tangannya. Gwat Kong merasa heran sekali dan ketika ia memeriksa, ternyata kakek itu berada dalam keadaan yang amat payah. Pemuda itu yang tadinya merasa heran mengapa lawannya roboh tanpa kena pukulannya, kini mengerti kakek itu memang telah menderita sakit dan luka-luka di dalam tubuh. Maka timbullah rasa kasihan di dalam hatinya.

Ia menurunkan guci araknya dan setelah memberi minum seteguk, kakek itu membuka matanya. Heran sekali, sinar gila yang liar itu kini lenyap dari matanya dan ia memandang kepada Gwat Kong dengan kagum. Napasnya tinggal satu-satu dan keadaannya payah benar, tubuhnya lemas. Akan tetapi pedangnya itu tidak pernah terlepas dari pegangannya. “Kau ... kau bukan anggauta Ngo-heng?” tanyanya kepada Gwat Kong.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. “Locianpwe, aku hanyalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini saja. Orang-orang kampung itu datang hendak minta tolong kepadamu, minta akar obat untuk menyembuhkan kawan-kawan yang menderita sakit kuning.”

Kakek itu mengangguk-angguk dan sambil menggerakkan tangannya ke arah orang-orang kampung yang memandang dengan heran dan kagum, ia berkata, “Ambillah, ambillah ... obat itu di dalam gua ...” lalu ia menjatuhkan tangannya yang memegang pedang itu di atas tanah lagi.

“Terima kasih, lo-enghiong,” kata kakek bertongkat tadi dan ia mengajak kawan-kawannya memasuki gua. Akan tetapi tiba-tiba kakek gila itu berseru keras,

“Mundur semua!”

Orang-orang itu menjadi kaget, demikianpun Gwat Kong yang menyangka bahwa kakek ini kambuh kembali penyakit gilanya. Akan tetapi, pada saat semua orang itu mundur kembali dengan ragu-ragu, terdengar suara mendesis-desis dari dalam gua dan keluarlah belasan ekor ular yang biarpun kecil-kecil akan tetapi bergerak maju dengan gesit, kepala terangkat dan mendesis-desis menyemburkan uap putih. Sekali pandang saja tahulah semua orang bahwa ular-ular itu berbahaya dan berbisa.

Selagi semua orang dusun Ma-chun tercengang dan terkesima, Gwat Kong lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam mulut, lalu ia berdiri dan mendekati mulut gua yang penuh dengan ular-ular itu. Ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah binatang-binatang itu yang segera berkelenjetan di atas tanah dan mati. Bukan main hebatnya tenaga semburan arak dari mulut Gwat Kong ini dan tetesan-tetesan arak yang meluncur keluar itu bagaikan anak panah menancap dan menembus kepala ular-ular itu sehingga menyerang ke dalam benak!

Melihat kelihaian ini, orang-orang dusun Ma-chun segera memuji dengan amat kagum. Bahkan seorang di antara mereka lalu berseru, “Dia tentu Kang-lam Ciu-hiap!”

Gwat Kong memandang heran dan bertanya, “Sahabat, bagaimana kau bisa tahu aku disebut Kang-lam Ciu-hiap? Baru tiga hari aku mendapat sebutan itu di Kang-lam?”

Kakek bertongkat itu lalu menjura dan berkata, “Jangan mengherankan hal ini, orang muda yang gagah. Berita memang berjalan cepat laksana angin lalu. Sebelum kau tiba di tempat ini, namamu telah terbawa angin dan telah terdengar sampai jauh di kampung kami. Kawan- kawan tadi hanya menduga-duga saja bahwa kaulah orangnya yang disebut Kang-lam Ciu- hiap karena kau selain masih muda dan lihai, juga membawa–bawa arak dan bahkan dapat mempergunakan arak sebagai senjata yang demikian ampuhnya!”

Sementara itu, kakek gila tadi tidak tahu akan nasib semua ular peliharaannya karena ia sendiri telah lemas dan hanya rebah di atas tanah sambil meramkan mata. Kini orang-orang kampung itu dapat masuk gua dan tak lama kemudian mereka membawa akar-akar obat berwarna putih. Kakek bertongkat itu menjura lagi kepada Gwat Kong sambil menghaturkan terima kasihnya. Juga tidak lupa ia menjura kepada kakek gila yang rebah di atas tanah itu sambil menghaturkan terima kasihnya. Kemudian ia pimpin kawan-kawannya untuk kembali ke dusun mereka untuk segera memberi pertolongan kepada sanak keluarga yang terserang penyakit kuning yang pada waktu itu berjangkit di dusun mereka.

Gwat Kong yang tinggal seorang diri, lalu menghampiri kakek gila itu dan berlutut. “Bagaimana, locianpwe, apakah kau masih merasa sakit?” tanyanya.

Orang tua itu membuka mata, tersenyum sedih dan berkata, “Anak muda, siapakah namamu?” “Aku bernama Bun Gwat Kong.”

“Tadi aku mendengar mereka menyebut Kang-lam Ciu-hiap, kaukah itu?”

Gwat Kong diam-diam merasa kagum oleh karena biarpun keadaannya demikian lemah tak berdaya, namun kakek ini mempunyai pendengaran yang amat tajam.

“Aku mendapatkan sebutan itu di Kang-lam,” jawabnya sederhana.

“Kang-lam Ciu-hiap, sebutan yang bagus! Dulupun aku mempunyai sebutan yang cukup gagah. Bu-heng-sian. Dewa Tanpa Bayangan! Ah ... semua itu telah berlalu, habis dimakan usia ... tiba-tiba ia bangun dan duduk, lalu memandang tajam kepada Gwat Kong yang membantunya karena agak sukar sekali kakek itu dapat bangun sendiri.

“Kau dari manakah kau dapatkan ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat?”

“Aku mendapatkan kitab-kitabnya secara kebetulan sekali, locianpwe. Ketika aku menggali sebuah tempat belukar di Kiang-sui.”

“Di Kiang-sui katamu? Hm, jadi kaukah yang mendapatkan kitab-kitabku? Bagus, ketahuilah, akulah orangnya yang menyimpannya di sana dan aku pula yang menyalin kitab itu!” Setelah bicara sampai di sini, kakek itu nampak lelah sekali dan kembali ia menjatuhkan dirinya yang segera dipeluk oleh Gwat Kong dan dibantunya rebah di atas tanah kembali.

“Kalau begitu, teecu harus menghaturkan terima kasih kepadamu, locianpwe.”

“Tak usah, tak usah .... akupun hanya mendapatkan kitab itu dan kau agaknya lebih

berjodoh ... kitab aslinya sukar sekali bagiku yang setengah buta huruf kau lihat pedang ini

.... aku mendapatkan kitab kuno itu bersama pedang ini ” Ia memberikan pedangnya yang

bersinar mengkilap itu dan Gwat Kong melihat sebuah gambar kepala garuda terukir pada gagang pedang itu.

“Inilah Sin-eng-kiam ... biar kuberikan padamu kau lebih patut memegangnya, kau lebih

gagah dariku ”

“Tapi, locianpwe, kepandaianmu tinggi sekali ” “Jangan banyak cakap! Kau telah memiliki kepandaian aslinya. Hal itu sudah kuketahui ....

akan tetapi berhati-hatilah kau kelima iblis Ngo-heng mencari-cari kitab itu dan kau takkan

diberinya ampun ” Setelah berkata demikian, kakek yang malang itu kembali roboh pingsan.

Gwat Kong merasa kasihan sekali dan ia lalu mengangkat tubuh kakek itu ke dalam gua.

Sehari semalam kakek itu rebah pingsan dan kadang-kadang Gwat Kong menuangkan arak ke dalam mulutnya. Ketika siuman kembali, kakek itu nampaknya merasa terharu karena pemuda itu masih menjaganya, maka ia lalu berkata,

“Kau ... baik sekali aku tak tahan lagi, tubuhku telah penuh luka di sebelah dalam akibat

pukulan-pukulan Ngo-heng ... kau berhati-hatilah ” Dan tak lama kemudian kakek yang

tadinya menderita penyakit gila itu menghembuskan napas terakhir di pangkuan Gwat Kong.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment