Pendekar Pemabuk Chapter 26

NIC

Kedua orang penjahat itu sama sekali tak pernah menduga dan tentu saja mereka tidak takut terhadap semprotan arak ini. Akan tetapi ketika serangan arak yang disemburkan dengan tenaga lweekang itu mengenai muka mereka, kedua orang penjahat itu memekik ngeri dan tubuh mereka terhuyung-huyung di atas genteng dan pedang mereka terlepas karena kedua tangan digunakan untuk menutupi muka mereka yang terasa sakit sekali.

Sambil tertawa tergelak-gelak, Gwat Kong lalu menggerakkan tangan kanannya untuk mengirim totokan sehingga kedua orang penjahat itu roboh tak berkutik lagi dalam keadaan lemas. Sambil tertawa-tawa karena telah agak terlampau banyak minum arak sehingga menjadi riang gembira wataknya, Gwat Kong mengempit tubuh kedua penjahat itu di tangan kanan kiri, meninggalkan guci araknya yang telah kosong. Lalu melompat turun dan terus membawa mereka ke gedung tihu.

Tihu dari Kang-lam yang diberitahukan tentang kedatangan pemuda itu segera menyambutnya. Gwat Kong melemparkan dua tubuh penjahat itu ke depan kaki tihu, lalu menjura dalam-dalam dan berkata,

“Inilah kedua orang penjahat yang mengacau Kang-lam, taijin.” Bukan main heran dan girangnya pembesar itu dan ketika melihat bahwa Gwat Kong hendak pergi lagi, lalu menahannya dan berkata, “Nanti dulu, taihiap! Kau belum menerima hadiahmu.”

Gwat Kong tertawa bergelak, “Sudah, sudah kuterima, taijin. Hadiahnya ialah keramah- tamahanmu dan arak wangi yang amat enak itu.”

Tihu itu juga tertawa dan makin kagumlah ia terhadap pendekar muda yang aneh ini. “Kalau begitu, biarlah kutambahkan lagi arak yang terbaik untuk kau bawa pergi. Dan kami pun harus ketahui dulu siapa namamu, taihiap. Semenjak siang tadi, kau selalu menolak untuk memberitahukan namamu kepada kami.”

Kembali Gwat Kong tertawa. “Apakah artinya nama? Disebut apapun saya tidak keberatan, tajin dan tentang arak terbaik itu hmmm, kalau memang taijin hendak memberi kepadaku

tentu saja kuterima dengan ucapan terima kasih.”

Tihu itu lalu memerintahkan seorang di antara pelayan yang juga memenuhi ruangan itu untuk mengambil sebuah guci araknya yang terbuat dari pada perak dan memakai tali gantungan, lalu memberikan benda itu kepada Gwat Kong.

“Taihiap, jangan pandang rendah guci arak ini, karena arak yang disimpan di dalam guci ini akan dapat tahan sampai bertahun-tahun tanpa menjadi kurang kenikmatan rasanya dan segala macam minuman apabila dimasukkan ke dalam guci ini, maka akan menjadi bersih dari segala racun. Air beracun yang amat jahat akan menjadi air minum yang tidak berbahaya apabali dimasukkan ke dalam guci ini karena racunnya telah dihisap oleh dasar guci. Dan tentang namamu taihiap, kalau kau memang tidak mau memperkenalkannya, biarlah kami memberi nama kehormatan Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak dari Kang-lam) kepadamu,”

Gwat Kong menerima guci yang berisi penuh arak terpilih itu, menggantungkan talinya pada ikat pinggang dan tertawa girang.

“Nama yang bagus sekali! Dengan tihunya seperti taijin ini yang ramah tamah dan bijaksana, Kang-lam merupakan kota istimewa bagiku, maka aku suka sekali disebut Kang-lam Ciu- hiap. Nah, selamat malam, taijin!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Gwat Kong telah lenyap dari depan tihu dan para pelayannya itu sehingga mereka merasa kagum sekali. Makin besar kegembiraan mereka ketika ternyata bahwa kedua orang yang tak berdaya itu benar-benar adalah dua orang penjahat yang selama ini mengacau kota mereka. Segera kedua orang itu dibelenggu dan dimasukkan ke dalam penjara.

Gwat Kong lalu pergi keluar dari kota itu dan malam itu ia tidur dengan amat nyenyaknya di sebuah kelenteng yang berada di luar kota. Hatinya merasa amat girang oleh karena selain mendapat kenyataan bahwa latihan-latihannya selama ini makin memajukan kepandaiannya, juga kebaikan hati tihu itu menyenangkan hatinya.

Hanya ia merasa agak penasaran dan kecewa karena belum dapat bertemu dengan Dewi Tangan Maut, puteri musuh besarnya yang amat disohorkan orang itu. Ia tidak berniat untuk membalas dendam orang tuanya kepada gadis itu. Hanya ia ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis yang amat terkenal ini dan hendak melihat pula apakah benar-benar gadis itu amat jahat dan kejam sebagaimana yang dikabarkan oleh Gui A Sam kepadanya.

Kalau toh ia harus menyerang gadis itu, ia akan menyerang karena kejahatannya, bukan karena dendamnya kepada Tan-wangwe. Ucapan orang yang memberi keterangan kepadanya tentang adanya dua orang penjahat di Kang-lam, yang berkata bahwa kalau Dewi Tangan Maut berada di Kang-lam maka penjahat-penjahat itu tentu tak berani berlagak, menimbulkan kesan baik terhadap gadis itu padanya.

Pada kesokan harinya, ia melanjutkan perjalanannya. Dua hari kemudian, ketika tiba di luar sebuah hutan ia melihat serombongan orang yang terdiri dari dua belas orang-orang gagah dikepalai oleh seorang tua yang membawa tongkat bambu, berlari-lari memasuki hutan itu. Mereka ini semua membawa senjata pedang atau golok seakan-akan mereka hendak menyerbu musuh. Gwat Kong merasa tertarik dan diam-diam ia mengikuti mereka dari belakang dengan sembunyi.

Rombongan itu berhenti di depan gua besar yang berada di tengah hutan dan orang tua bertongkat itu segera berteriak ke arah gua,

“Sahabat, keluarlah! Kami hendak bicara denganmu!”

Teriakan itu bergema di seluruh hutan, akan tetapi setelah itu sunyi karena tidak terdengar jawaban. Tak lama kemudian, keluarlah seorang laki-laki tua dari dalam gua itu dan Gwat Kong yang mengintai sambil bersembunyi, merasa kaget melihat keadaan orang yang aneh itu. Orang ini telah tua sekali, tubuhnya bongkok dan tangan kanannya memegang sebuah pedang yang mengeluarkan sinar gemilang.

Kakek bongkok ini mempunyai sepasang mata yang menakutkan dan melihat betapa sepasang mata itu berputaran secara liar. Tahulah Gwat Kong bahwa orang ini tentu miring otaknya.

Kakek yang aneh ini lalu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara menyeramkan sekali. Kemudian sambil menuding dengan pedangnya ia berkata tidak keruan,

“Ha ha ha, Ngo-heng-kun Ngo-koai, lima siluman jahat, kalian datang mengantarkan nyawa? Ha ha ha!” Kakek ini lalu berjingkrak-jingkrak di atas kedua kakinya dan menari-narikan pedangnya seperti orang atau anak kecil yang amat bergirang hati.

Orang tua bertongkat bambu yang memimpin rombongannya itu berkata dengan suara sabar, “Lo-enghiong, jangan salah sangka. Kami adalah penduduk dusun Ma-chun yang datang hendak minta pertolongan lo-enghiong. Dusun kami terserang penyakit kuning dan telah banyak yang mati dan lebih banyak pula yang kini terancam bahaya maut. Karena lo- enghiong telah mengambil semua akar putih yang berada di hutan ini, maka tolonglah memberi kami obat itu untuk menyembuhkan kawan-kawan dan saudara-saudara kami.”

KEMBALI terdengar suara ketawa yang menyeramkan. “Kalian memang harus mampus! Ha ha ha, Ngo-heng-kun kelima-limanya harus mampus, mengapa minta tolong padaku? Aku boleh menolongmu, menolong mengantarkan kalian iblis-iblis Ngo-heng ini ke neraka, ha ha!” Setelah berkata demikian, secepat kilat ia menubruk maju dan menyerang rombongan orang- orang itu. Ia mengamuk bagaikan seekor harimau gila dan pedangnya digerakkan dengan hebat sekali.

Orang tua pemimpin rombongan itu berseru keras memberi aba-aba kepada para kawannya untuk mengepung, sedangkan ia sendiri lalu menggerakkan tongkat bambunya yang lihai. Ketika orang gila itu menusuk dengan pedangnya, tongkat bambu kakek itu menangkis dan beradunya kedua senjata itu membuat kakek itu berseru keras karena terkejut. Ia merasa tangannya perih sekali dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangan.

“Ha ha ha!” Iblis-iblis Ngo-heng, sekarang kalian mampus!” orang gila itu tertawa-tawa dan hendak menyerang lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebelas orang pengikut kakek bertongkat tadi menyerbu dari belakang dan belasan golok dan pedang berkelebat menimpanya bagaikan air hujan.

Orang gila itu ternyata lihai sekali. Ia agaknya telah mendengar angin senjata menyambar ke arahnya, maka sambil tertawa mengerikan, ia membalikkan tubuhnya dan pedang pusaka di tangannya itu berkelebat cepat mendatangkan sinar putih yang gemilang. Teriakan-teriakan terdengar dan beberapa batang pedang terlepas ke atas, bahkan banyak pula golok dan pedang yang putus karena terbabat oleh pedang orang gila itu.

“Ha ha ha! Iblis-iblis Ngo-heng, rasakan pembalasanku! Lihatlah kelihaianku!” Sambil berkata demikian, ia lalu memutar-mutar pedangnya dan bersilat dengan gerakan-gerakan yang aneh dan hebat sekali sehingga semua pengeroyoknya mundur takut dan jerih. Akan tetapi orang gila itu masih terus bersilat pedang seorang diri sambil tertawa-tawa. Juga kakek bertongkat yang memiliki ilmu silat cukup tinggi itu tidak berani maju karena maklum ia bukan tandingan orang gila yang amat berbahaya dan lihai itu.

Posting Komentar