Halo!

Pendekar Pemabuk Chapter 24

Memuat...

“Suhu telah datang!” Dan dengan pedang di tangan ia lalu menyerbu lagi!

Tin Eng memandang dan ternyata lima orang yang usianya rata-rata empat puluh tahun berlari seperti terbang cepatnya menyerbu ke tempat itu.

“Suhu, perempuan ini hendak merampas kitab Sin-eng Kiam-hoat!”

Mendengar ini, seorang di antara mereka yang berbaju hitam panjang berseru, “Robohkan dia, akan tetapi jangan membunuhnya!”

Sehabis berkata demikian, orang ini lalu melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata terbuat dari kulit yang panjang dan kuat, merupakan senjata cambuk! Juga empat orang lain mengeluarkan senjata mereka yang hebat, karena senjata mereka itu semua berlainan. Seorang memegang tongkat besar yang kepalanya melengkung berbentuk kepala naga, seorang lain memegang sebuah pedang pendek, orang ketiga memegang sebatang pedang panjang dan orang keempat memegang sebatang golok kecil. Akan tetapi gerakan mereka ternyata gesit dan bertenaga.

Tin Eng merasa terkejut sekali dan segera memutar pedangnya untuk menghadapi lima orang itu. “Jangan turun tangan!” kata pemegang cambuk kepada kawan-kawannya. “Gunakan bubuk Ang-hoa!” Kelima orang itu lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan ketika mereka mengebut, maka berhamburanlah bubuk bunga merah dan bau yang amat wangi keras menyerang hidung Tin Eng, yang tiba-tiba menjadi pening. Bumi yang dipijaknya terasa berputar-putar dan betapapun dia menguatkan tubuhnya, akhirnya ia menjadi limbung, terhuyung-huyung dan roboh pingsan.

Kelima orang itu tertawa dan si pemegang cambuk berkata, “Nona manis, terpaksa kami tidak ingin kau menderita luka atau binasa!” Ia menghampiri Tin Eng untuk memondongnya. Akan tetapi baru saja ia mengulurkan tangan, tiba-tiba ia menarik tangannya sambil berseru kaget. Ternyata sebutir buah le mentah telah menyambar dan tepat mengenai tangannya dan sungguhpun buah itu kecil dan tidak keras, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali.

Ia bangun berdiri, memandang ke sekelilingnya dan berseru, “Siapakah yang berani main- main dengan Ngo-heng-kun Ngo-hiap?” Seruan ini keras sekali sehingga menggema sampai jauh. Akan tetapi tidak ada jawaban, hanya suara gemercik air sungai yang menjadi jawabannya.

Ketika mereka hendak mengangkat tubuh Tin Eng tanpa memperdulikan penyambit itu, tiba- tiba berhamburanlah batu-batu kecil yang tepat menghantam tubuh mereka sehingga mereka menjadi kaget dan wajah mereka jadi pucat sekali. Si pemegang cambuk tahu bahwa ada orang luar biasa yang datang menolong gadis itu, maka karena kitab telah berada di tangan mereka, ia lalu memberi tanda dan kelima orang itu bersama dua orang muridnya lalu melompat pergi dan lari dari tempat itu.

Setelah mereka pergi jauh, muncullah seorang pemuda yang tadi bersembunyi di balik sebuah pohon yang tumbuh di dekat sungai kecil dekat tempat itu. Pemuda ini dengan tenang lalu menghampiri tubuh Tin Eng sambil membawa seguci arak yang diturunkan dari gendongan. Guci arak ini besar dan pada lehernya diberi gantungan sehingga mudah dibawa ke mana- mana. Ia lalu berlutut membuka mulut Tin Eng dan menuangkan sedikit arak ke dalam mulut gadis itu kemudian ia menggunakan arak pula untuk dipercikan ke arah muka Tin Eng.

Tak lama kemudian gadis itu bergerak dan membuka mata. Bukan main herannya ketika ia melihat pemuda itu berjongkok di dekatnya. Ia melompat bangun dan berseru keras,

“Gwat Kong !!”

Pemuda itu tersenyum lalu berdiri dan menjura memberi hormat kepadanya.

“Liok-siocia, apakah selama ini kau baik-baik saja?” suaranya masih halus dan merendah, seperti sikapnya dulu ketika masih menjadi pelayan di rumah keluarga Liok.

Mendengar pertanyaan dan melihat sikap Gwat Kong ini, tiba-tiba merahlah seluruh muka Tin Eng dan tak dapat ditahannya lagi, ia segera menangis tersedu-sedu. Ia merasa malu, menyesal dan juga gemas, karena teringat akan kitabnya yang hilang.

Ketika tadi ia duduk di tepi sungai Liang-ho, termenung memikirkan keadaan dan nasibnya, ia merasa berduka dan mengharapkan kedatangan seorang seperti Gwat Kong yang tentu dapat dimintai tolong. Akan tetapi setelah sekarang benar-benar Gwat Kong yang muncul dengan tak tersangka-sangka, ia menjadi makin sedih. Bagaimana pemuda lemah ini dapat menolongnya?

Selain membutuhkan uang untuk membayar sewa kamar dan biaya melanjutkan perantauannya, juga ia membutuhkan bantuan orang pandai seperti Dewi Tangan Maut untuk merampas dan mencari kembali kitabnya yang hilang. Gwat Kong mempunyai apa yang dapat digunakan untuk membantunya dalam hal-hal itu? Namun, hatinya terharu juga melihat pelayan ini.

“Nona, janganlah kau bersedih, nona. Bagaimanakah kau bisa sampai tiba di tempat ini?” Tin Eng menyusut air matanya dan memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.

Pemuda ini nampak lebih tegap dan air mukanya yang lebar dan jujur itu, kini nampak berseri dan kulitnya kemerah-merahan, menandakan bahwa selain hatinya riang gembira, juga keadaannya sehat sekali. Pakaiannya masih sederhana, walaupun bukan seperti pakaian pelayan lagi dan rambutnya diikat pula oleh sehelai sapu tangan lebar.

“Gwat Kong, apakah kau tidak marah kepadaku?” tanya Tin Eng, sambil mengerling ke arah lengan tangan Gwat Kong, seakan-akan hendak menembus lengan baju untuk melihat bekas luka karena tusukan pedangnya dulu itu.

“Liok-siocia, mengapa kau ajukan pertanyaan ini? Mengapa aku mesti marah kepadamu?” Gwat Kong memandang dengan mata terbuka lebar karena ia memang benar-benar merasa heran.

“Aku ... aku telah melukaimu bahkan ... hampir membunuhmu.”

Gwat Kong mengerti dan ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Liok-siocia, harap kau jangan mengingatkan aku akan hal itu lagi. Aku masih merasa menyesal sekali kepada diri sendiri karena perbuatanku yang kurang ajar itu dan kau memang berhak untuk melukaiku, bahkan kalau kau membunuhku, akupun tidak merasa penasaran.”

“Gwat Kong, kau benar-benar seorang yang baik hati dan aku ... ah, aku seorang tak tahu budi yang bernasib malang.”

Kembali Tin Eng mengalirkan air mata dari kedua matanya karena terharu.

“Nona, sebenarnya mengapa kau bisa berada di tempat ini? Aku mendapatkan kau dalam keadaan pingsan dan melihat bangsat-bangsat itu berlari pergi. Kau datang dari manakah dan hendak kemana?”

“Bangsat-bangsat itu telah mencuri kitab pelajaran ilmu pedang yang dulu kauberikan kepadaku!” kata Tin Eng dengan gemas. “Ketahuilah, Gwat Kong, setelah kau pergi, ayah memaksaku untuk menerima pinangan Gan Bu Gi.”

Gwat Kong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Aku telah tahu dan dapat menduga akan hal itu, siocia, dan sekali lagi aku menghaturkan selamat kepadamu.” “Tariklah kembali ucapanmu itu!” kata Tin Eng sambil merengut. “Siapa yang butuh ucapan selamat dalam keadaan seperti ini?”

“Eh eh, bukankah kau memang suka kepada panglima muda itu, siocia?” Gwat Kong

memandang tajam.

“Kalau aku suka, mengapa aku bisa sampai di tempat ini. Dengarlah baik-baik, Gwat Kong dan jangan memotong penuturanku. Terus terang saja, aku memang tertarik kepada Gan- ciangkun yang pandai sekali ilmu silatnya. Akan tetapi itu bukan berarti aku suka kepadanya. Karena belum mempunyai keinginan untuk mengikat diri dengan perjodohan, maka aku menolak kehendak ayah itu, sehingga ia menjadi marah sekali dan ayah telah menamparku,

satu hal yang belum pernah ia lakukan selama hidupku! Dan aku karena dipaksa-paksa,

aku lalu melarikan diri pada malam hari. Aku merantau sehingga sampai di Ki-ciu ini. Malang sekali bagiku. Buntalan pakaian berikut semua uang bekal, perhiasan dan juga kitab pelajaran ilmu pedang itu telah dicuri orang. Dalam usahaku mencarinya aku bertemu dengan kepala maling di kota ini dan dibawa kesini untuk menerima kembali kitab yang harus ditebus.

Biarpun aku tidak mempunyai uang, aku ikut padanya dengan maksud untuk merampasnya kembali. Tidak tahunya, kitab itu telah dijual kepada dua orang yang tidak mau mengembalikannya kepadaku, sehingga kami bertempur dan selagi aku berhasil mendesak dua orang itu, datanglah lima orang guru mereka yang lihai. Dan menghadapi kelima orang itu aku tidak berdaya karena mereka mempergunakan bubuk yang disebar kepadaku dan yang membuatku pening dan roboh pingsan. Aku tidak ingat apa-apa lagi sehingga tahu-tahu kau berada di sini menolongku.”

“Barang-barang sudah tercuri orang, mengapa harus bersedih, siocia? Memang daerah Ki-ciu ini banyak terdapat maling-maling yang lihai sehingga seringkali pengunjung-pengunjung dari luar kota menjadi korban mereka.”

“Kehilangan pakaian dan barang-barang sih tidak sangat menyusahkan hatiku, sungguhpun sekarang aku telah kehabisan uang sama sekali, hingga untuk membayar sewa kamar pun aku tidak mempunyai uang. Akan tetapi yang paling menyusahkan hatiku ialah kitab itu.”

“Mengapa pula, siocia? Bukankah kitab itu telah berada lama di tanganmu? Apakah kau belum hafal dan belum mempelajari semua isi kitab itu?”

Tin Eng menarik napas panjang. Sukar baginya untuk membicarakan tentang kitab itu kepada seorang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. “Gwat Kong, biarpun aku telah hafal, akan tetapi belum matang benar dan perlu sekali aku mempelajari lebih mendalam. Terutama sekali, kitab itu adalah kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi dan apabila pelajaran itu terjatuh dan dipelajari oleh seorang jahat, maka ia akan menjadi seorang penjahat yang amat berbahaya. Aku harus mendapatkan kembali kitab itu. Lebih baik melihat kitab itu terbakar musnah dari pada melihat ia terjatuh ke dalam tangan orang jahat.”

“Kalau begitu, mengapa tidak kau kejar saja mereka?” tanya Gwat Kong. Dan mendengar pertanyaan yang dianggapnya bodoh ini Tin Eng berkata bersungguh-sungguh,

“Enak saja kau bicara! Mereka telah lari selagi aku pingsan dan ke mana aku harus mengejar mereka? Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka tinggal.”

“Akan tetapi aku kenal mereka dan tahu tempat tinggal mereka, siocia.” Tin Eng memandang heran. Gadis ini telah merasa biasa lagi dan sebagian besar rasa sedihnya telah lenyap setelah bertemu dengan Gwat Kong. Karena bercakap-cakap dengan pemuda itu membuat ia merasa seakan-akan ia kembali berada di tempat tinggal orang tuanya, seakan- akan ia tak pernah pergi dari rumah dan Gwat Kong masih menjadi pelayan ayahnya. Pemuda itu sikapnya masih demikian polos dan menghormat. Entah bagaimana, biarpun tak ia perlihatkan akan tetapi di dalam hatinya timbul kegirangan besar sekali setelah bertemu dengan Gwat Kong, bekas pelayannya itu. Dan kini pemuda ini menyatakan bahwa ia kenal dan tahu tempat tinggal kelima orang yang membawa pergi kitab ilmu pedangnya.

“Kau, Gwat Kong? Benar-benarkah kau tahu tempat tinggal mereka? Siapakah sebenarnya mereka itu?” sambil ajukan pertanyaan ini Tin Eng memandang kepada pemuda itu dengan kagum oleh karena semenjak ia masih kecil dan bergaul dengan pelayan ini, sudah seringkali Gwat Kong merupakan sumber pertolongan baginya. Apalagi dalam hal mengatur taman bunga, hanya Gwat Kong saja yang dapat memuaskan hatinya.

Pemuda itu mengangguk. “Tadi ketika aku melihat mereka pergi, aku tahu bahwa mereka itu adalah Ngo-hiap. Lima jago tua yang amat terkenal di Ki-ciu. Mereka itu bertempat tinggal di sebelah timur kota.”

“Bagus sekali, Gwat Kong. Kalau begitu hayo kau antar aku ke tempat mereka!”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment