Halo!

Pendekar Pemabuk Chapter 22

Memuat...

Kui Hwa menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Adikku yang baik, agaknya kau belum banyak merantau dan belum banyak mengalami hal-hal yang mengecewakan, sehingga kau tidak mengetahui keadaan. Permusuhan ini sudah amat mendalam dan sesungguhnya bukan datang dari pihak kami. Sudah banyak kami menerima hinaan dari pihak Go-bi, maaf, adik Tin Eng. Memang sesungguhnya jarang sekali terdapat anak murid Go-bi- pai seperti kau!”

“Apakah kau pernah mengalami hinaan? Dari siapakah?”

Kembali Kui Hwa menarik napas panjang. “Kalau diceritakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Semenjak memiliki sedikit kepandaian silat, sudah menjadi kebiasaan ku untuk membasmi orang-orang jahat yang mengganggu rakyat. Beberapa bulan yang lalu pernah aku mengejar seorang jai-hwa-cat (penjahat pengganggu anak bini orang) dan kebetulan sekali penjahat itu juga memiliki ilmu-ilmu silat dari cabang Go-bi. Ia telah tersusul olehku dan tentu ia akan binasa di ujung pedangku, kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang tosu dan muridnya, yang terang-terangan membela orang-orang Go-bi-pai. Aku dikalahkan oleh murid tosu itu dan mendapat hinaan dari mereka. Tosu itu bernama Bong Bi Sianjin dan muridnya bernama Gan Bu Gi.”

Tin Eng merasa terkejut sekali, akan tetapi ia dapat menahan perasaan ini dan berkata, “Hinaan apakah yang mereka lakukan terhadapmu, cici?”

“Biarlah lain kali saja kuceritakan padamu, adik Tin Eng. Sekarang telah jauh malam, lebih baik kita melanjutkan perjalanan masing-masing.”

Tin Eng maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa dan gadis itu yang baru saja dikenalnya masih belum percaya penuh untuk menceritakan hal itu kepadanya. Mereka lalu berpisah dan Tin Eng melanjutkan perjalanannya menuju ke Ki-ciu dan setelah keluar dari hutan, lalu melalui jalan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kui Hwa. Sementara itu Kui Hwa mengambil jalan lain ke Kang-lam.

****

Dua hari kemudian Tin Eng tiba di Ki-ciu. Ia mendapat kenyataan bahwa kota ini memang benar-benar indah sehingga gadis ini merasa amat gembira. Selain bangunan-bangunan yang besar dan megah memenuhi kota hingga membuat kota itu nampak indah dan toko-toko besar membuktikan kemakmuran kota itu. Juga di sepanjang pantai sungai Liang-ho yang mengalir di dekat kota itu telah dibangun tempat istirahat yang indah, penuh ditanami kembang- kembang dan didirikan menara-menara dan bangunan lain yang amat bagus. Di situ disediakan pula perahu-perahu kecil bagi para pelancong yang hendak menghibur hati dan setiap hari terdengar tetabuhan yang-kim dan suling merayu-rayu.

Tin Eng bermalam dalam sebuah hotel terbesar, memilih kamar di loteng. Hanya pada malam hari saja ia berada di dalam kamarnya, karena pada pagi dan sore hari ia selalu keluar dari hotel untuk berjalan-jalan dan mengagumi keindahan kota dan segala pemandangannya.

Pada hari kedua, ketika ia masuk ke dalam kamarnya setelah sehari penuh berpelesir di atas perahu dan mendengarkan tetabuhan yang merdu, ia menjadi terkejut sekali melihat bahwa buntalan pakaiannya telah lenyap dari kamar itu.

Ia segera berteriak memanggil pelayan dan ketika pelayan datang ia memberitahukan bahwa barang-barangnya telah lenyap. Pelayan itu menjadi pucat sekali dan berkata, “Aneh sekali, siocia! Kami selalu menjaga di bawah dan tak seorangpun kami lihat naik ke loteng ini. Bagaimana barang-barangmu bisa tercuri? Kalau memang ada pencuri yang mengambilnya, dari mana ia bisa naik ke sini?”

Melihat betapa pelayan itu memandangnya seakan-akan tidak percaya kepadanya bahwa barang-barangnya benar telah hilang, hampir saja Tin Eng menamparnya. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan melakukan pemeriksaan. Ternyata buntalannya yang berisi pakaian, perhiasan, uang dan juga kitab pelajaran ilmu pedang telah lenyap tak berbekas. Ketika ia menjenguk ke luar jendela kamarnya, ia melihat sehelai sapu tangannya terletak di luar jendela, maka tahulah dia bahwa pencurinya adalah seorang pandai ilmu silat yang memasuki kamarnya dengan jalan melompat dari bawah dan masuk dari jendela.

“Celaka!” serunya marah sekali, sedangkan pelayan yang melihat hal inipun dapat menduga pula, bahwa yang datang mencuri barang-barang tamunya tentu seorang maling yang pandai, maka ia mulai menggigil seluruh tubuhnya.

“Bagaimana baiknya, siocia? Apakah saya harus melaporkan saja kepada penjaga kemanan?”

“Tak usah!” bentak Tin Eng marah sekali. “Aku akan mencarinya sendiri dan kalau maling keparat itu sampai terjatuh ke dalam tanganku, kepalanya akan kuhadiahkan kepadamu!”

Dengan wajah makin pucat karena ngeri, pelayan itu lalu lari dari loteng, menuruni anak tangga secepatnya.

Tin Eng duduk termenung. Apa daya? Kemana ia harus mencari seorang maling yang tidak ada jejaknya? Kota Ki-ciu demikian besarnya sehingga untuk mencari seorang yang pernah dilihatnya saja sudah merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi harus mencari seorang maling yang belum dilihatnya sama sekali. Semua barang-barangnya berada dalam bungkusan itu dan yang tertinggal padanya hanya pakaian yang dipakai, sedikit uang yang dibawahnya untuk bekal siang tadi dan pedangnya. Untuk membayar sewa kamar pun ia tidak punya.

Semua ini tidak begitu menyusahkan hatinya, akan tetapi yang paling ia sedihkan ialah kitab pelajaran ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Ia sayang kepada kitab itu melebihi seluruh barang yang dibawanya dan kalau sampai kitab itu terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat, ia merasa ngeri memikirkan hal ini.

Kemudian Tin Eng mengambil keputusan untuk keluar dan mencari-cari ke mana saja nasib membawa dirinya. Siapa tahu kalau-kalau barang-barang itu dijual oleh pencuri dan terlihat olehnya dipakai orang. Ia akan dapat mengenali barang-barang dan pakaiannya sendiri.

Malam hari itu, Tin Eng kembali berjalan-jalan di sekeliling kota, akan tetapi tentu saja ia tak dapat bertemu dengan yang dicarinya. Akhirnya karena sedih, kecewa dan putus harapan, ia pergi ke tepi sungai yang sunyi dan duduk seorang diri melamun, sambil mendengarkan riak air yang berdendang tiada hentinya itu.

Ia memikirkan nasibnya yang amat buruk. Dipaksa kawin, melarikan diri untuk merantau, dan kini seluruh barangnya habis tercuri orang. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia meninggalkan rumah. Akan tetapi, kalau ia kembali, ia harus tunduk kepada kehendak ayahnya dan ia tidak mau menikah dengan Gan Bu Gi. Apalagi setelah ia mendengar dari Kui Hwa bahwa Gan Bu Gi dan suhunya membantu orang-orang Go-bi-san dan memperbesar permusuhan, bahkan pernah menghina kepada Kui Hwa, kawan baiknya itu. Ia tidak suka menikah dengan panglima muda itu.

Ia lalu teringat Gwat Kong. Kasihan sekali pelayan muda itu. Kalau teringat betapa ia pernah melukai lengan Gwat Kong dengan pedangnya bahkan pernah menodongnya dengan ujung pedang menempel pada tenggorokan pemuda itu! Kalau teringat betapa pemuda itu memandangnya dengan sayu dan sedikitpun tidak merasa takut, biarpun lehernya hendak ditusuk pedang, bahkan minta kepadanya untuk membunuhnya saja. Kalau ia ingat betapa Gwat Kong yang sedikitpun tidak merintih bahkan berkejap matapun tidak ketika menderita luka pada lengannya. Ah, kalau ia teringat akan itu semua, timbul penyesalan besar dalam hatinya.

Pemuda pelayan itu amat baik dan setia kepadanya, bahkan kitab ilmu pedang Sin-eng Kiam- hoat yang kini hilang itupun pemberiannya. Akan tetapi ia membalas pemuda itu dengan tusukan pedang, bahkan dengan ancaman membunuh, hanya karena pemuda itu dengan berani karena mabuknya, mencela di depan Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang, bahkan di dalam mabuknya berani membayangkan perasaan cinta kasihnya kepada puteri majikannya.

Hal ini bagi Tin Eng memang dulu merupakan sebagai penghinaan. Betapa seorang puteri tunggal Kepala daerah yang berdarah bangsawan, takkan merasa terhina kalau dicinta oleh seorang pelayan dan tukang kebunnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia bukanlah Tin Eng yang dulu. Sekarang ia hanya seorang gadis perantau yang telah kehilangan semua barangnya, seorang gadis semiskin-miskinnya karena pakaian pun hanya memiliki satu stel yang melekat pada tubuhnya saja dan uang hanya tinggal sedikit, bahkan hutangnya pada hotel juga belum dapat terbayar.

Kepada siapakah ia harus minta tolong? Kalau saja ia dapat bertemu dengan Gwat Kong, pelayannya yang amat setia itu, tentu Gwat Kong akan suka menolongnya dari kesulitan ini biarpun pemuda itu pernah hendak dibunuhnya, telah dilukainya, akan tetapi pasti pemuda itu akan bersedia menolongnya. Hal ini ia yakin benar karena baru sekarang ia merasa betapa besar cinta kasih pemuda itu kepadanya. Baru sekarang ia teringat betapa pemuda itu selalu berusaha untuk menyenangkan hatinya!

Tak terasa lagi Tin Eng lalu menangis dan terisak-isak di pinggir sungai. Ia merasa berduka sekali tanpa mengetahui dengan pasti apakah yang menimbulkan rasa duka ini. Entah karena menyesal telah meninggalkan gedung orang tuanya. Entah karena menyesal akan perlakuannya terhadap Gwat Kong, atau barangkali juga karena teringat akan barang- barangnya yang hilang.

“Nona, aku hendak bicara padamu,” tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki dan Tin Eng melompat dengan terkejut sambil mencabut pedangnya dan memutar tubuhnya. Di depannya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memakai pakaian hitam dan ikat kepala hitam pula. Laki-laki itu segera menjura ketika Tin Eng mencabut pedang.

“Sabar, nona. Aku bukan datang dengan maksud jahat, bahkan hendak menolongmu mendapatkan kembali kitabmu yang hilang.”

Tin Eng merasa gembira sekali. “Di mana kitabku itu? Siapa yang mencurinya?” pertanyaan ini diajukan dengan suara mengancam dan pedangnya telah menggigil dalam tangannya. “Sabar, sabar, nona dan jangan salah sangka. Bukan aku yang melakukan pencurian itu. Biarpun aku, Lok Ban si Tangan Seribu dianggap sebagai kepala semua pencuri dan pencopet di Ki-ciu, akan tetapi aku belum pernah mengulurkan tangan panjang untuk mengambil milik orang!”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment