Halo!

Pendekar Pemabuk Chapter 21

Memuat...

“Ilmu pedangnya lihai sekali, harap tai-ong berhati-hati,“ kata dua orang anggauta Layar Hitam tadi.

Liang-ho Siauw-liong merasa marah sekali melihat betapa lima orang anak buahnya dengan amat mudah dijatuhkan oleh Tin Eng, maka ia lalu memberi aba-aba.

“Terjun ke air dan gulingkan perahunya!”

Tin Eng merasa terkejut sekali mendengar perintah ini. Kalau mereka benar-benar menggulingkan perahunya, maka celakalah dia! Biarpun di darat ia tak perlu takut menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi kalau sampai ia terjatuh ke dalam air, jangankan menghadapi keroyokan, baru menghadapi seorang bajak biasa yang pandai berenang saja ia takkan berdaya sama sekali. Ia melihat betapa bajak-bajak itu meninggalkan perahunya dan mulai terjun ke dalam air untuk berenang menghampiri perahu di mana ia berdiri.

Tin Eng teringat akan kantong piauwnya, maka dengan gemas ia lalu mengeluarkan segenggam piauw dan memindahkan pedang ke dalam tangan kiri. Ia pernah mempelajari ilmu melepas piauw dari ayahnya dan dalam hal kepandaian melempar piauw ia telah memiliki kepandaian yang boleh juga. Ia membidik dengan hati-hati dan begitu tangannya berayun ke arah bajak yang berenang di air, piauw itu tepat sekali menancap di tubuh bajak sehingga bajak itu menjerit kesakitan dan terus tenggelam ke dalam air. Tin Eng membagi- bagi hadiah dengan piauwnya itu ke seluruh penjuru. Di mana terlihat tubuh bajak bergerak di dalam air, ia segera mengayun tangannya hingga tak lama kemudian banyak sekali bajak yang ia tewaskan.

Dalam kegembiraannya ia telah menghabiskan banyak sekali senjata piauwnya dan ketika ia merogoh kembali ke kantong piauw, ia merasa terkejut sekali, karena piauwnya hanya tinggal tiga buah lagi! Ia membawa dua puluh batang piauw dan ternyata ia telah menyambitkan tujuh belas batang yang kesemuanya mengenai sasaran dengan tepat. Kini para bajak itu tidak berani berenang di permukaan air dan segera menyelam untuk menghindarkan diri dari piauw gadis yang tangguh itu, sehingga Tin Eng mulai kuatir sekali.

Melihat betapa kepala bajak itu berdiri di kepala perahu dan memberi perintah, ia menjadi gemas dan segera tangannya terayun dan sekali gus tiga batang piauwnya menyambar ke arah kepala bajak itu dan ke arah dua orang anggauta Layar Hitam yang berdiri di dekat Liang-ho Siauw-liong. Terdengar jerit kesakitan dan tubuh kedua orang anggauta Layar Hitam itu terjungkal dari perahu, masuk ke dalam air sungai. Akan tetapi sambil tertawa bergelak dan sama sekali tidak memperdulikan dua orang yang menjadi korban senjata rahasia itu, ia menggerakkan kampak di tangan kanannya untuk menangkis piauw yang menyambar ke arah tubuhnya sehingga senjata kecil itu terpukul jatuh ke dalam air.

Kini Tin Eng merasa betul-betul gelisah. Piauwnya telah habis dan apa dayanya? Ia melihat ke kanan kiri dan ke dalam air, akan tetapi tidak melihat ada anggauta bajak yang berenang di bawah permukaan air dan kini perahunya tiba-tiba mulai bergoyang-goyang.

Hampir saja Tin Eng terjatuh, ia terhuyung-huyung dan mempertahankan dirinya di atas perahu agar supaya tidak terlempar keluar ke dalam air. Akan tetapi perahu itu makin miring dan sebentar pula tentu terbalik. Tin Eng melihat sebuah perahu bajak kosong, yang jauhnya tiga tombak lebih dari tempatnya, maka sambil berseru keras ia melompat ke arah perahu itu. Akan tetapi, begitu ia turun menginjak perahu itu, ia segera terjatuh karena perahu kecil itu tidak kuat menerima tubuhnya yang melompat dengan keras. Perahu itu terguling, membawanya ikut terguling ke dalam air.

Tin Eng bergulat dengan air yang membuatnya tak berdaya. Beberapa kali ia terpaksa minum air sungai dan ketika ia merasa ada tangan meraba dan hendak menangkapnya, ia memukul dengan tangan kanannya sehingga bajak yang mencoba untuk menangkapnya itu memekik dan melepaskan pegangannya. Biarpun berada dalam keadaan tak berdaya, namun Tin Eng masih berbahaya dan tak mudah ditangkap.

“Biarkan dia lemas dulu!” terdengar suara Liang-ho Siauw-liong berkata keras sambil mendayung perahunya mendekat.

Tin Eng sudah menjadi lemas sekali dan hampir pingsan. Ia masih mendengar betapa tiba-tiba terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan para bajak itu dan ia merasa betapa tubuhnya terikat oleh sehelai tali yang kuat, lalu tubuhnya di tarik ke sebuah perahu. Ia tak dapat melihat lagi siapa yang melakukan ini, akan tetapi ia merasa tubuhnya diangkat ke dalam perahu. Ia membuka mata dan melihat bahwa yang menolongnya adalah Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut.

Nona pendekar itu tersenyum dan berkata, “Untung kau belum terlalu banyak minum air, adikku yang baik. Akan tetapi sedikit air yang memenuhi perutmu itu perlu dikeluarkan. Kau menurutlah saja!”

Setelah berkata demikian, Kui Hwa lalu peluk tubuh Tin Eng dan menjungkirkan tubuh itu dengan kaki ke atas dan kepala di bawah. Maka mengalirlah air dari mulut Tin Eng.

Setelah air yang memenuhi perut itu dikeluarkan, Tin Eng lalu berkata, “Cici, Kui Hwa, mana keparat-keparat itu?”

“Mereka melarikan diri ke darat.”

“Mari kita kejar!” kata Tin Eng dengan marah sekali.

Kedua orang gadis itu lalu mendayung perahu mereka ke darat. Ternyata bahwa Kui Hwa merasa curiga terhadap dua orang anak buah Layar Hitam yang mendayung perahu Tin Eng dan dengan diam-diam ia lalu mengikuti perahu itu dari darat. Ia melihat betapa Tin Eng dikeroyok, maka dapat menolong pada saat yang tepat. Dengan mudah ia melompat ke dalam perahu itu dan merampas tambang yang tadinya hendak digunakan untuk mengikat kaki dan tangan Tin Eng. Dengan kepandaiannya yang mengagumkan, Dewi Tangan Maut itu berhasil melemparkan ujung tali yang mengikat tubuh Tin Eng dan menolong gadis itu sebelum terjatuh ke dalam tangan bajak.

Liang-ho Siauw-liong pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut, maka melihat pendekar wanita itu muncul ia lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk melarikan diri.

Setelah mendarat, Kui Hwa dan Tin Eng lalu mengejar ke dalam hutan. Tak lama kemudian mereka dapat mencari tempat tinggal para bajak itu di tengah hutan dan kedua nona itu segera menyerbu dengan pedang di tangan.

“Serahkanlah kepala bajak itu kepadaku, cici!” kata Tin Eng yang merasa marah sekali.

Kawanan bajak menjadi kacau balau karena tidak pernah menyangka bahwa kedua orang dara itu berani menyerbu ke dalam hutan yang liar dan gelap, maka mereka lari cerai berai.

Sedangkan kepala bajak Liang-ho Siauw-liong beserta beberapa belas orang yang memiliki kepandaian dan menjadi pembantu-pembantunya segera mengeroyok Kui Hwa dan Tin Eng.

Akan tetapi mereka bukanlah lawan dari kedua pendekar wanita ini dan sebentar saja beberapa orang bajak yang mengeroyok telah kena dirobohkan. Liang-ho Siauw-liong sendiri didesak hebat oleh Tin Eng dan biarpun permainan sepasang kampak di tangannya amat lihai dan cepat, akan tetapi menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tin Eng, ia menjadi terdesak hebat dan pada satu saat pedang Tin Eng berhasil membacok putus sebelah lengannya.

Kepala bajak itu roboh pingsan dan Tin Eng merasa lega serta tidak tega untuk mengirim tusukan yang terakhir. Ia meninggalkan tubuh lawan, dan membantu Kui Hwa mengamuk, sehingga para bajak itu menjadi jerih dan sisanya yang masih hidup lalu melarikan diri, tak kuat menghadapi dua ekor harimau betina yang mengamuk itu.

Kemudian Tin Eng mencari buntalan pakaiannya yang terampas dan untung sekali bahwa buntalannya masih terdapat di situ. Hatinya menjadi lega ketika ia memeriksa buntalannya, ternyata barang-barangnya berikut kitab pelajaran pedang Sing-eng Kiam-hoat masih ada di dalam bungkusan.

Ia memeluk Kui Hwa dan berkata, “Cici Kui Hwa, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau tidak ada yang menolong entah bagaimana jadinya dengan aku.”

“Ah, tak perlu kau berterima kasih, kawan! Orang-orang seperti kita harus tolong menolong. Akupun amat membutuhkan pertolonganmu untuk menghadapi musuh-musuhku.”

“Musuh-musuhmu? Siapakah mereka, cici?”

Kui Hwa lalu menceritakan tentang permusuhan dengan orang-orang cabang Go-bi-pai. “Kami pihak Hoa-san-pai selalu mengalah, akan tetapi orang-orang Go-bi-pai itu benar-benar tak tahu diri dan selalu mencari permusuhan dengan kami. Terutama sekali Seng Le Hosiang yang tiada hentinya berusaha menebus kekalahannya dan mulai menghasut orang-orang gagah dari luar untuk memusuhi kami.” Bukan main terkejutnya hati Tin Eng mendengar penuturan ini. Betapapun juga, ia boleh dibilang seorang anak murid Go-bi-pai pula.

“Cici yang baik, terus terang saja kau telah menuturkan keburukan Go-bi-pai kepada seorang anak muridnya!”

Kui Hwa melompat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa?? Kau juga anak murid Go-bi? Ah, jangan kau main-main kawan. Ku lihat ilmu pedangmu sama sekali bukan dari Partai Go-bi-san. Aku kenal baik ilmu silat Go-bi-pai, maka jangan kau mencoba untuk mempermainkan dan membohongi aku!”

Tin Eng tersenyum, lalu berkata, “Kau lihatlah baik-baik, cici!” Setelah berkata demikian, dara muda ini lalu bersilat dengan ilmu silat Go-bi-pai sebagaimana yang dipelajari dari ayahnya. “Kenalkah kau ilmu silat ini?” tanyanya lalu menghentikan gerakannya.

Kui Hwa lalu mencabut pedangnya dan berseru, “Kau benar-benar anak murid Go-bi-pai! bagus mari kita akhiri di ujung pedang!”

Tin Eng mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, “Cici yang baik, kau tadi menyatakan heran bahwa orang-orang Go-bi-pai selalu memusuhi kalian orang-orang Hoa- san-pai. Akan tetapi melihat sikapmu ini, bukankah kau yang menunjukkan sikap bermusuhan? Lihatlah saja, Kau mencabut pedang terhadap aku yang tidak menganggapmu sebagai musuh, bukankah ini tidak sesuai dengan kata-katamu tadi?”

Kui Hwa tersadar dan ia cepat memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang lalu tersenyum dan berkata dengan muka merah, “Maaf, adik Tin Eng. Baru sekarang aku melihat seorang anak murid Go-bi-pai tidak mengambil sikap bermusuhan terhadapku, maafkan sikapku tadi.”

Tin Eng memegang lengan Kui Hwa dan berkata,” Cici Kui Hwa, agaknya kau telah dibikin sakit hati sekali oleh orang-orang Go-bi-pai, maka kau membenci mereka. Akan tetapi kau lihat sekarang bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat dan memusuhimu.

Marilah kita melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bukankah kau hendak ke Ki- ciu?”

“Tidak, adik Tin Eng. Aku hendak kembali ke Kang-lam, dan kau lanjutkanlah perjalananmu ke Ki-ciu. Akan tetapi, lebih baik kau ambil jalan darat saja. Dari sini kau terus ke selatan, setelah tiba di dusun kedua kau membelok ke timur. Ki-ciu terletak kurang lebih lima puluh li dari situ.”

“Cici, melihat mukaku apakah kau mau menghabisi saja permusuhan dengan pihak Go-bi? Aku merasa sedih sekali melihat kau bermusuhan dengan pihak Go-bi, karena secara tak langsung akupun anak murid Go-bi-san, sebab ayahku adalah murid Go-bi-san pula. Seperti kau ketahui, permusuhan itu merupakan permusuhan pribadi dan jangan membawa-bawa cabang persilatan menjadi musuh, buktinya akupun tidak memusuhi kau, cici!”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment