Pendekar Pemabuk Chapter 20

NIC

“Kepandaianku biasa saja, mana dapat dibandingkan dengan cici yang benar-benar merupakan Dewi Penyebar Maut? Aku bernama Liok Tin Eng, tidak tahu cici ini bernama siapakah?”

“Namaku Kui Hwa, she Tan. Aku anak murid Hoa-san-pai dan aku paling benci kepada kejahatan. Adik Eng, kau ternyata berhati lemah dan sebenarnya keliru sekali perbuatanmu tadi yang memberi ampun kepada para penjahat. Orang-orang kejam macam mereka itu harus dibasmi, barulah keadaan menjadi benar-benar aman!”

“Akan tetapi, Tan-cici, mereka juga manusia dan kalau kiranya masih dapat diusahakan, lebih baik mengampuni mereka agar mereka berubah menjadi orang baik-baik.”

Kui Hwa tersenyum, lenyaplah sifat galaknya, bahkan dalam pandangan Tin Eng, dara pendekar ini nampak cantik jelita dan manis sekali, pantas disebut Dewi. “Mungkin kau benar, adikku, akan tetapi, lebih besar kemungkinan kau akan kecele, karena biasanya orang yang mempunyai dasar jahat sukar sekali untuk diperbaiki lagi.”

Tin Eng hanya tersenyum saja mendengar pendapat Dewi Tangan Maut itu, tidak mau membantah sungguhpun di dalam hatinya ia tidak setuju dengan pendapat ini.

“Adik Tin Eng, sebetulnya kau hendak ke manakah maka sampai bisa datang ke tempat ini?” tanya Kui Hwa yang ramah tamah.

“Aku hendak menyewa perahu ke Ki-ciu. Telah lama aku mendengar keindahan Ki-ciu dan ingin merantau ke sana meluaskan pengalaman. Kebetulan sekali aku bertemu dengan gerombolan Layar Hitam sehingga kalau seandainya cici tidak datang turun tangan, tentu aku pun akan bertempur dengan mereka.” Tin Eng lalu menceritakan tentang pertempurannya dengan seorang anggauta Layar Hitam yang kasar tadi.

Si Dewi Tangan Maut mengangguk-angguk dan berkata, “Memang tadi telah kulihat betapa lihainya ilmu silatmu. Aku ingin memperkenalkan kau kepada kawan-kawanku dan biarlah lain kali kita bertemu pula.”

Kemudian Tin Eng menyewa perahu Layar Hitam yang paling baik dan dua orang anggauta Layar Hitam yang telah berubah amat baik dan menghormati sikapnya, lalu mendayung perahu itu ke tengah sungai. Setelah tiba di sungai, layar dikembangkan dan perahu kecil itu melaju menuju Ki-ciu.

Benar saja, pemandangan alam di kanan kiri sungai itu amat indahnya sehingga Tin Eng merasa gembira sekali. Terutama apabila ia teringat kepada Dewi Tangan Maut yang kini telah menjadi seorang kenalan baik. Ia merasa kagum kepada nona pendekar itu dan hatinya makin gembira apabila ia ingat bahwa di dalam perantauan ini ia tentu akan bertemu dengan orang-orang gagah seperti nona she Tan itu. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada waktu itu Bun Gwat Kong, pelayannya yang menjadi biang keladi perantauannya ini sedang menuju ke Kang-lam untuk mencari Tan Kui Hwa atau Dewi Tangan Maut yang menjadi puteri dari musuh besarnya.

Juga gadis ini tidak pernah menduga bahwa ia sedang berada di dalam bahaya dan bahwa ucapan Dewi Tangan Maut tadi yang menyatakan bahwa penjahat-penjahat itu patut dibasmi karena dasarnya jahat akan tetap jahat! Karena di luar persangkaannya, kedua orang anggauta Layar Hitam yang kini mengemudi perahu yang ditumpanginya ternyata mengandung maksud jahat terhadap dirinya.

Hari telah mulai senja ketika perahu itu tiba di dalam sebuah hutan yang amat luas dan gelap. Juga sungai menjadi lebar ketika tiba di tempat ini, akan tetapi karena tidak ada angin, maka layar digulung dan perahu itu bergerak maju mengandalkan tenaga pendayung dari kedua orang itu. Perahu maju perlahan-lahan dan ketika tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba perahu itu berhenti.

Tin Eng hendak menegur kedua orang yang berhenti mendayung, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara suitan keras dari pinggir sebelah kiri dan kedua orang itu lalu membalas suara itu dengan bersuit keras pula. Sebelum Tin Eng dapat bertanya, kedua orang itu tiba-tiba lalu menyeburkan diri ke dalam air dan berenang ke pantai, meninggalkan perahu yang berhenti di tengah-tengah sungai.

Karena memang mereka tadi sengaja menghentikan perahu di tempat yang terhalang oleh batu-batu karang yang menonjol di tengah-tengah sungai. Tin Eng merasa terkejut dan heran sekali dan hatinya mulai merasa tidak enak.

“Hai! Kalian hendak pergi kemana?” tegurnya kepada dua orang pendayung tadi, akan tetapi kedua orang itu telah mendarat lalu lari ke dalam hutan dan lenyap.

Tin Eng merasa bingung sekali. Untuk mendayung perahu itu ia tidak sanggup karena ia memang tidak pernah mengemudikan perahu. Untuk melompat ke tepi pun tak mungkin karena letaknya kedua tepi di kanan kiri itu sedikitnya ada lima belas tombak dari perahunya. Berenangpun ia tak pandai.

Tak lama kemudian, dari pantai sebelah kiri muncullah banyak sekali orang yang membawa perahu-perahu kecil yang segera diturunkan ke dalam air. Mereka ini ternyata adalah bajak air yang telah mendapat berita dari dua orang anggauta Layar Hitam yang sengaja hendak membalas dendam.

Sebelumnya para anggauta Layar Hitam itu adalah bekas-bekas bajak air yang mengandalkan kekejaman mereka atas pengaruh bajak air ini dan mereka selalu membagi hasil-hasil pemerasan mereka kepada bajak-bajak ini sehingga tentu saja ketika mendengar betapa tiga orang pemimpin Layar Hitam terbunuh dan perkumpulan itu diobrak-abrik oleh Tin Eng dan Dewi Tangan Maut, mereka menjadi marah dan hendak membalas dendam.

Akan tetapi yang menarik perhatian kepala bajak itu adalah cerita kedua orang anggauta Layar Hitam tadi bahwa gadis yang menumpang di dalam perahu mereka dan yang telah ikut menghancurkan perkumpulannya adalah seorang gadis cantik jelita. Kepala bajak ini adalah seorang bajak muda yang rakus akan paras cantik, maka begitu mendengar berita ini ia lalu mengerahkan anak buahnya untuk pergi mengeroyok dan menangkap gadis itu.

Melihat orang banyak itu, Tin Eng maklum bahwa mereka tentulah penjahat-penjahat yang bermaksud jahat, maka ia segera mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serbuan mereka. Diam-diam ia merasa gemas sekali kepada dua orang tukang perahu tadi dan mengakui kebenaran ucapan Dewi Tangan Maut, maka ia mengambil keputusan untuk membasmi orang jahat ini sampai ke akar-akarnya.

Perahu-perahu kecil itu segera di dayung dan sebentar saja perahu yang ditumpangi oleh Tin Eng dikurung dari segala jurusan. Kepala bajak yang mengenakan pakaian biru dan dengan sepasang kampak di tangan berdiri di kepala perahu terdepan dengan sikap gagah. Di sebelahnya berdiri dua orang tukang perahu anggauta Layar Hitam yang melapor tadi.

Tin Eng memandang ke arah mereka dengan mata merah. “He, kalian hendak berbuat apakah?” tanyanya dengan gemas.

08. Kehilangan Kitab Pusaka

KEDUA orang anggauta Layar Hitam itu tertawa saja dan seorang di antaranya lalu berkata dengan suara mengejek, “Nona, kau hendak kami jodohkan dengan Liang-ho Siauw-liong (Naga Muda dari Liang-ho), tentu kau akan mengalami kesenangan besar! Ha ha ha!”

“Bangsat rendah! Kau telah mendapat ampun, apakah benar-benar kalian hendak mencari mampus?”

Tiba-tiba kepala bajak itu tertawa dengan girang. Ia telah melihat bahwa dara muda itu benar- benar cantik jelita, maka kini mendengar suaranya yang nyaring dan sikapnya yang gagah, ia lalu berkata,

“Nona manis, kau telah terkurung dan berada dalam kekuasaanku, lebih baik kau menyerah saja karena percuma kalau kau mau melawan juga!”

“Bangsat keji! Kau kira nonamu takut menghadapi tikus-tikus air semacam kau dan anak buahmu? Naiklah kalian semua ke sini kalau hendak mencari mampus di ujung senjataku!” tantang Tin Eng dengan tabah dan marah.

Liang-ho Siauw-liong tertawa bergelak-gelak lalu memberi perintah kepada anak buahnya, “Tangkap padanya, akan tetapi jangan melukainya! Gunakan tali untuk menyeretnya ke air dan kemudian mengikatnya kuat-kuat!”

Mendapat perintah ini, para bajak lalu mendayung perahu mereka mendekati perahu di mana Tin Eng berdiri menanti dengan pedang ditangan. Mereka membawa senjata berupa tambang dan kaitan-kaitan kayu, ada pula yang membawa dayung untuk mendorong gadis itu ke dalam air. Dengan mata tajam Tin Eng melihat lagak itu dan hanya menjaga untuk segera bergerak begitu ada bajak naik ke atas perahu.

Benar saja, dari sebelah kiri perahu melompat dua orang bajak yang membawa tambang, disusul oleh tiga orang pula yang melompat ke kanan perahu. Akan tetapi mereka itu segera menjerit kesakitan ketika Tin Eng menyambar dengan pedangnya dan begitu ia menggerakkan tangannya, pedang itu telah melukai mereka yang segera terguling ke dalam air.

Bajak lain menjadi jerih. Tak pernah mereka sangka bahwa gadis itu selihai ini, maka kini tidak ada yang berani mencoba untuk naik ke perahu Tin Eng lagi. Bahkan perahu-perahu kecil itu segera di dayung menjauhi dan para bajak yang terluka tadi lalu ditolong.

Posting Komentar