Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 35

NIC

Dengan penuh ketenangan, Pangeran Lu Goan Ong lalu menggandeng keponakannya yang berwajah pucat itu masuk ke dalam, sedangkan Pangeran Ong Tai Kun juga digandeng para perwira masuk ke dalam pula. Semua tamu saling pandang dan mengangkat pundak. Mereka merasa amat terkejut dan heran.

Keadaan Pangeran Ong Tai Kun benar-benar aneh. Duduk dalam kereta dalam keadaan tertotok, mengenakan baju pengantin yang paling aneh seluruh jenggotnya habis bersih dibabat orang! Apakah gerangan yang telah terjadi? Demikian semua orang bertanya.

“Apakah sebetulnya yang telah terjadi?” pertanyaan yang terkandung dalam hati semua tamu di gedung Pangeran Lu ini diucapkan pula oleh Pangeran Lu Goan Ong kepada Pangeran Ong Tai Kun.

Ong Tai Kun merintih beberapa kali menarik napas panjang pendek, kemudian menuturkan pengalamannya.

“Celaka, celaka ....” ia mengeluh, “Penjahat itu benar-benar kurang ajar dan telah menghinaku sesuka hatinya! Setelah aku berlaku baik terhadapnya, menjadi walinya, menjamunya secara besar-besaran dan membuat perayaan istimewa untuk pernikahannya, ternyata ia berlaku keji sekali terhadapku! Ketika kereta penganten telah berangkat dan aku duduk bersama dia di dalam kendaraan, tiba-tiba ia menyerangku dengan tiam-hoat (totokan istimewa). Karena tidak menduga sebelumnya, dengan mudah aku menjadi korban. Dengan secara kurang ajar sekali, ia lalu menanggalkan jubah penganten dan penghias kepala, mengenakan pakaian itu kepada tubuhku yang telah menjadi kaku tak berdaya, bahkan ia mencabut pedangku dan mencukur semua kumis dan jenggotku! Kemudian, penjahat biadab itu lalu melompat keluar dari kendaraan dengan cepat sekali tanpa diketahui siapapun! Sebelum ia pergi, ia mengucapkan “selamat menikah” kepadaku. Sungguh kurang ajar! Kalau aku dapat bertemu dengan Shan-tung Koay-hiap, tentu akan kubalas hinaan ini!” setelah menuturkan pengalamannya, Pangeran itu kembali mengeluh panjang.

TENTU saja ia tidak menceritakan betapa diam-diam ia hendak meracuni Tiong San, tidak menceritakan pula betapa setelah berada di dalam kendaraan, tiba-tiba pemuda itu muntah-muntah dan menyemburkan tiga cawan arak yang tadi diminumnya ke arah mukanya, lalu menotoknya dengan cepat.

Mendengar penuturan ini, Siu Eng berlari masuk ke dalam kamarnya sambil menangis terisak-isak! Ia telah mendapat malu yang besar sekali dari Shan-tung Koai-hiap! Sementara itu, pangeran Lu Goan Ong menjadi bingung.

“Bagaimana baiknya sekarang? Tamu-tamu telah berkumpul penuh di ruang depan!”

Akhirnya ia lalu melangkah keluar dengan wajah kusut. Ia menjura kepada semua tamu dan berkata dengan suara gemetar.

“Cuwi sekalian yang mulia! Oleh karena terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan pernikahan dilangsungkan, maka untuk sementara waktu pernikahan ini ditunda! Akan tetapi, kami persilakan kepada cuwi sekalian untuk menikmati hidangan sekedarnya dan harap maafkan!”

Tiba-tiba dari pojok ruangan berdiri seorang tamu yang segera berkata dengan suara nyaring dan keras, “Cuwi sekalian yang terhormat dan tuan rumah yang mulia.”

Semua orang memandang kepada pembicara itu. Ia ternyata adalah seorang yang bertubuh tegap, masih muda, akan tetapi mukanya penuh cambang bauk, sehingga nampaknya lucu sekali. “Perkenankan siauwte berbicara sedikit!” sambung orang itu. “Persoalan ini tak perlu dibicarakan lagi dan kita harus sesalkan bahwa seorang bangsawan yang berbudi demikian mulia seperti pangeran Lu Goan Ong mengalami malapetaka seperti ini. Cuwi sekalian tentu belum mendengar akan kemuliaan budi pangeran Lu, maka sebagai hiburan adanya peristiwa ini baiklah siauwte menceritakan kepada cuwi sekalian. Baru kemaren ini Lu-taijin telah memberi anugerah besar kepada dua orang pemuda bernama Khu Sin dan Thio Swie yang menjadi pembantunya. Lu-taijin telah mengangkat mereka itu sebagai wedana-wedana dari kota-kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung! Selain itu, Lu-taijin juga memberi hadiah uang sebesar sepuluh ribu tail perak kepada orang-orang miskin di kampung Kui-ma-chung, tempat kelahiran kedua orang muda itu sebagai pembalasan jasa! Bukankah ini hebat sekali? Siauwte rasa bahwa kemurahan hati ini patut dijadikan contoh!”

Tepuk tangan para tamu menyambut ucapan ini dan semua orang memuji-muji kemuliaan budi pangeran Lu Goan Ong. Akan tetapi pangeran Lu Goan Ong sendiri memandang kepada pembicara itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ia mengenal suara itu dan mengenal pula mata itu, akan tetapi yang meragukan hatinya ialah cambang bauk yang memenuhi muka pemuda itu. Tak mungkin dalam waktu semalam saja muka Shan-tung Koai-hiap telah ditumbuhi jenggot dan kumis seperti itu. Dan yang membuat ia berdebar adalah ketika melihat betapa kumis dan jenggot itu mirip dengan kumis dan jenggot yang biasa lekat pada muka pangeran Ong Tai Kun!

Pada saat ia berdiri dengan bingung dan ragu-ragu, tiba-tiba nampak Siu Eng berlari dengan pedang di tangan dan langsung menerjang pembicara tadi sambil berseru,

“Bangsat jahanam! Kalau tidak kau, tentu aku yang mati pada saat ini!”

Pemuda yang bercambang bauk itu tertawa sinis dan tubuhnya lalu melompat keluar dari ruang itu dan terus melarikan diri! Siu Eng dengan pedang di tangan dan mulut memaki-maki, terus mengejar dengan cepatnya! Semua tamu gempar. Mereka makin menjadi heran dan bingung.

“Mengapa mempelai perempuan mengamuk?” tanya seorang. “Siapakah pemuda itu?” tanya yang lain.

Pangeran Lu Goan Ong mengangkat kedua tangannya ke atas, memegang kepalanya karena merasa betapa kepalanya seakan-akan hendak meletus.

“Tidak tahu .... tidak tahu .....!” Ia berseru setengah memekik. “Harap cuwi sekalian pulang saja ..., harap tinggalkan aku seorang diri ...!” Kemudian ia berlari masuk ke dalam kamarnya.

Semua tamu bubar dan peristiwa itu masih merupakan teka-teki yang hanya mereka jawab dengan dugaan-dugaaan ngawur.

********************

Pemuda yang bercambang bauk itu memang bukan lain adalah Tiong San sendiri! Pemuda ini setelah melompat keluar dari kereta penganten sambil membawa jenggot dan kumis pangeran Ong Tai Kun, lalu cepat-cepat berlari ke rumah obat kepunyaan bibi Thio Swie yang telah dikenalnya, minta obat perekat dan menempelkan cambang dan kumis itu pada mukanya sendiri. Kemudian ia berlari lagi menuju ke gedung pangeran Lu Goan Ong, menggunakan keadaan yang sedang kacau balau ini untuk masuk ke situ dan duduk di ruang tamu!

Kini Siu Eng mengejarnya dengan pedang di tangan, maka ia lalu melompat ke atas genteng dan sengaja menanti gadis itu yang juga terus mengejarnya ke atas genteng. Setelah berhadapan, Tiong San lalu mencabut dan melemparkan kumis dan jenggot palsunya sehingga nampak wajahnya yang tampan dan matanya yang berseri-seri itu memandang gembira. Terhadap mata Siu Eng yang amat tajam itu ia tidak perlu menyamar lagi.

“Shan-tung Koai-hiap, kau sungguh kejam sekali! Mengapa kau mempermainkan aku sedemikian rupa? Aku suka kepadamu, akan tetapi, kau ... kau laki-laki berhati kejam! Kalau saat ini aku tidak dapat membunuhmu, jangan sebut aku Gui Siu Eng lagi!” Tiong San tersenyum mendengar ucapan ini dan tiba-tiba sikapnya berubah sungguh-sungguh. “Siu Eng! Orang-orang pandai berkata bahwa siapa menanam pohonnya, ia akan memetik buahnya! Kau menganggap aku kejam dan mempermainkan kau? Tidak ingatkah kau kepada Thio Swie yang kau tahu amat mencintaimu, akan tetapi secara kejam telah kau permainkan sehingga hampir gila? Tidak ingatkah kau kepada Khu Sin yang dengan jujur dan hati bersih telah memberi peringatan, akan tetapi hendak kau bunuh? Kau adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, keluarga bangsawan pula, maka robahlah sifat-sifatmu yang buruk dan rendah itu. Kalau tidak, kau tentu akan menemui bencana yang lebih hebat dari sekarang! Aku sengaja membuat kau malu agar kau merasa betapa sakitnya hati orang yang kau permainkan cintanya!”

Dengan air mata bercucuran, Siu Eng membentak, “Bangsat rendah, kalau kau tidak mau kembali dan melangsungkan upacara pernikahan dengan aku sekarang juga, aku takkan berhenti berusaha untuk membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya. Serangannya hebat dan cepat, terdorong oleh rasa sakit hati yang tak dapat diutarakan.

Tiong San mengelak dan berkata pula, “Perempuan tak tahu diri! Apakah sukarnya mengalahkan kau? Akan tetapi aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu lebih lama lagi!”

Setelah berkata demikian, Tiong San lalu melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan gadis itu.

“Bangsat rendah yang berhati kejam! Ke mana kau hendak lari?” teriak Siu Eng dengan hati gemas sekali, sehingga ia mengejar sambil menangis.

Karena ternyata bahwa gadis itu memiliki ilmu lari yang cukup cepat, Tiong San menjadi jengkel juga. Kalau gadis itu selalu mengejarnya, ia merasa gerakan selanjutnya sangat terganggu. Maka tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan mencabut cambuknya yang panjang.

Setelah Siu Eng datang mendekat, ia segera mengayun cambuknya ke arah muka gadis itu. Siu Eng cepat mengelak, akan tetapi tak disangkanya bahwa serangan itu hanya gertak saja karena tiba-tiba ujung cambuk meluncur ke arah pergelangan tangannya dan menotok tangan yang memegang pedang!

Siu Eng yang sedang diamuk oleh nafsu marah dan kecewa, maka ia kurang waspada dan kurang hati-hati sehingga ia terlambat untuk menghindarkan diri dari serangan ini. Dengan teriakan keras, pedangnya terlempar ke bawah genteng! Tiong San tertawa mengejek dan terus melompat jauh.

“Shan-tung Koai-hiap!” ia mendengar gadis itu berseru dan menjerit. “Aku bersumpah untuk membalas sakit hati ini!!”

Akan tetapi Tiong San telah berlari jauh dan tidak memperdulikan gadis itu lagi. Begitu gadis itu telah lenyap dari pandangan matanya, ia sudah tidak ingat lagi kepadanya. Pengalamannya dengan Siu Eng yang hampir menghancurkan kehidupan kedua sahabat karibnya, mendatangkan kesan yang mendalam di hatinya, membuat ia memandang rendah kaum wanita, karena ia merasa kecewa sekali melihat betapa seorang gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi seperti Siu Eng berwatak sedemikian jahat dan kejamnya.

Ia teringat kepada suhunya dan kini ia menuju ke istana kaisar untuk mencari dapur istana dan ia lalu menyusul suhunya yang diduga tentu sedang berpesta pora di tempat itu.

Istana kaisar amat luas dan besar, sehingga bukanlah pekerjaan mudah bagi Tiong San untuk bisa mendapatkan dapur dari istana itu. Terpaksa ia menyergap seorang pelayan dan memaksanya untuk mengantarkan ke tempat yang dicarinya itu. Kemudian ia mengikat kaki tangan pelayan itu dengan ikat pinggang pelayan itu sendiri setelah tiba di dekat dapur yang dicarinya.

Ia menjadi terkejut ketika melihat betapa bangunan dapur yang besar itu telah terkurung oleh perwira yang memegang senjata di tangan. Ia dapat menduga bahwa di dalam dapur itu tentu terdapat suhunya yang telah diketahui oleh perwira yang kini mengurung tempat itu.

Di antara para perwira itu terdapat seorang wanita tua yang masih kelihatan bekas-bekas kecantikannya, tapi sayang sekali bahwa pada muka wanita tua yang cantik itu terdapat bekas luka memanjang dari atas mata kanan sampai ke bawah telinga kiri, membuat mukanya kelihatan amat mengerikan. Dari tempat persembunyiannya, Tiong San melihat betapa wanita itu mendekati pintu dapur yang tertutup dan berseru dengan suaranya yang nyaring,

“Kui Hong Sian! Kau sudah terluka hebat, apakah kau masih tidak mau menyerah?”

Posting Komentar