Halo!

Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 31

Memuat...

Akan tetapi sebelum tendangan itu mengenai tubuh Khu Sin, tiba-tiba Siu Eng berseru heran karena mendadak saja tubuh Khu Sin itu lenyap dari depannya! Dan ketika ia memutar tubuh, ternyata di belakangnya telah berdiri seorang pemuda cakap sekali dengan pakaian warna hijau, sedangkan Khu Sin telah pula berdiri di sampingnya sambil memandang kepada pemuda baju hijau itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!

“Tiong San .....!” Khu Sin berseru, hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Akan tetapi Tiong San hanya tersenyum kepadanya, lalu melangkah maju dan berkata kepada Siu Eng,

“Mau bunuh kawanku? Tidak boleh, tidak boleh! Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabat karibku!”

Siu Eng dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah pemuda yang dulu dilihatnya di dalam perahu, karena sesungguhnya telah lama ia mengagumi ketampanan pemuda ini. Akan tetapi melihat dia sekarang tiba- tiba datang di tempat itu dan dapat menolong Khu Sin, ia tahu bahwa pemuda ini tentu memiliki ilmu kepandaian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan membentak,

“Kau kira aku takut kepadamu?”

Tiong San tertawa sinis dan berkata, “Wanita kejam memegang pedang, sungguh berbahaya!” dan ia meloloskan cambuknya.

Dengan marah sekali Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya dan gerakannya benar-benar cepat bagaikan menyambarnya burung walet. Akan tetapi Tiong San segera mengayun cambuknya dan ujung cambuknya menyambar ke arah pergelangan tangan Siu Eng!

Gadis itu terkejut sekali melihat lawan menyambut serangannya dengan serangan yang mendahului, maka terpaksa ia mengelak, kemudian meloncat dengan gesitnya mendekati Tiong San untuk menyerang dari dekat. Pemuda itu kagum melihat kegesitan tubuh Siu Eng, maka lalu melayaninya dengan sungguh- sungguh. Ia sengaja memperpendek cambuknya sehingga mereka dapat bertarung dengan seru dan ramainya.

Biarpun Siu Eng diam-diam merasa terkejut dan kagum sekali melihat pemuda ini, yang paling terkejut dan terheran-heran adalah Khu Sin. Benarkah pemuda ini Tiong San? Tak salah lagi, ia dapat mengenal wajah kawannya ini di antara ribuan orang.

Akan tetapi kalau ia benar-benar Tiong San, mengapa ia dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya? Kini ia tidak dapat melihat bayangan kedua orang itu lagi, karena mereka telah bertempur dengan amat cepatnya sehingga bayangan mereka seakan-akan bergulung-gulung menjadi satu!

“Tiong San .... Tiong San ..... bukan main hebatnya ...” demikian Khu Sin berkali-kali berbisik seorang diri.

Sementara itu, di dalam dada Siu Eng timbul perasaan yang amat aneh baginya dan yang selama hidupnya belum pernah ia rasakan. Telah lama ia sering teringat kepada pemuda ini yang dulu pernah bertemu dengan pamannya di dalam perahu. Ia dulu mengagumi ketampanan wajah pemuda itu dan sikapnya yang tenang dan sopan santun. Akan tetapi setelah kini ia bertempur dengan pemuda ini dan mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini sangat tinggi, diam-diam ia menjadi sangat tertarik.

“Ah, inilah pemuda yang tepat dan sesuai menjadi suamiku .....” demikian pikirnya dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan dan mengukur tingkat ilmu silat Tiong San. Akan tetapi, betapapun juga ia menyerang, ia tak dapat berhasil melukai pemuda itu karena kemana saja pedangnya berkelebat, cambuk lawannya tentu menghadang dan menangkis! Ilmu pedang yang dimainkan oleh Siu Eng adalah ilmu pedang Kiu-hwa Kiam-hoat yang amat hebat dan belum pernah ia menemui tandingan seperti itu.

Juga Tiong San merasa kagum dan diam-diam memuji ilmu pedang gadis yang hampir saja membunuh sahabatnya itu, karena iapun tak dapat mendesak Siu Eng. Tiba-tiba Tiong San berseru keras dan tubuhnya melompat ke belakang, dua tombak jauhnya. Ketika tangannya bergerak, cambuknya menyambar dan menjadi panjang, terus menyerang dengan gerakan hebat bagaikan naga melayang- layang ke arah tubuh Siu Eng.

Gadis ini cepat menangkis, akan tetapi kini ia tidak berdaya membalas, karena cambuk yang melayang dari tempat jauh itu terus mengurung dan mendesaknya dengan hebat. Ia makin kagum saja, akan tetapi sebagai murid terkasih dari Kiu-hwa-san Toanio, ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia berseru keras dan tangan kirinya cepat bergerak melempar senjata rahasianya yang amat diandalkan, yakni kiu-hwa- ciam, semacam jarum-jarum halus yang terbuat dari perak. Dengan mengeluarkan cahaya terang, jarum-jarum itu menyambar ke arah Tiong San yang segera mengelakkan dengan cepat! Berkali-kali Siu Eng menghujani Tiong San dengan jarum-jarumnya, akan tetapi selalu senjata-senjata rahasia itu dapat dielakkan oleh Tiong San. Bahkan Tiong San lalu menggunakan tangan kirinya menyaut jarum-jarum itu dari samping, lalu melontarkan kembali ke arah Siu Eng sambil tertawa mengejek.

“Jarum-jarum memang permainan wanita, tapi untuk menjahit, bukan untuk membunuh orang! Terimalah kembali jarum-jarummu untuk menjahit pakaian suamimu!”

Digoda seperti itu, Siu Eng merasa gemas sekali, akan tetapi rasa kagumnya terhadap Tiong San meningkat. Kini ia betul-betul terdesak dan serangan cambuk Tiong San dari jarak jauh itu mengurung dirinya membuat ia sibuk dan bingung sekali.

Akan tetapi diam-diam Siu Eng merasa girang sekali karena biarpun dirinya dikurung, ujung cambuk itu agaknya tidak mau melukainya, buktinya beberapa kali ujung cambuk itu telah meluncur dan akan dapat merobohkannya, tiba-tiba ditarik kembali! Ia mengira bahwa Tiong San merasa sayang dan tidak mau melukainya dan menganggap bahwa pemuda itu suka kepadanya! Padahal sebenarnya Tiong San memang tidak mau melukainya karena tidak ingin bermusuhan kepada siapapun juga.

Tiba-tiba cambuk itu berkelebat dan tahu-tahu telah membelit pedang di tangan Siu Eng. Kalau ia mau, gadis ini dapat mempertahankan pedangnya dan mengerahkan lweekang untuk bertahan agar pedangnya jangan sampai terampas. Akan tetapi dengan sengaja ia melepaskan pedangnya itu sambil melompat ke belakang dan berseru dengan suara nyaring dan merdu,

“Aku menyerah! Harap taihiap suka memberitahukan nama yang mulia!” Setelah berkata demikian, gadis itu menjura dan kemudian berdiri dengan sikap kemalu-maluan dan matanya mengerling serta bibirnya tersenyum manis!

Khu Sin memandang heran dan kagum, karena belum pernah ia melihat gadis itu semanis ini dan matanya mengeluarkan cahaya sehalus itu. Akan tetapi Tiong San hanya tertawa saja dan ketika ia menggerakkan tangan, cambuknya menyambar dan pedang itu telah dilepas dari libatan dan kini diayunkan kembali ke arah Siu Eng yang menyambarnya dengan senyum di bibir!

Pada saat itu, terdengar suara ketawa girang dan muncullah Pangeran Lu Goan Ong sendiri! Pangeran ini menjura kepada Tiong San dan berkata kepada Siu Eng, “jangan sebut taihiap, dia adalah Shan-tung Koay-hiap, pendekar aneh yang gagah perkasa! Shan-tung Koay-hiap, tepat sekali dugaanku bahwa kau adalah pemuda yang dulu berjumpa dengan aku di perahuku dan menjadi kawan dari Khu Sin dan Thio Swie! Tak terduga sama sekali bahwa kau ternyata adalah seorang pendekar muda yang gagah perkasa!”

Tiong San membalas penghormatan itu dan berkata, “Maaf, taijin, aku datang hanya hendak bertemu dengan dua orang sahabat karibku!”

“Boleh saja!” kata Lu Goan Ong sambil tersenyum. Khu Sin dan Thio Swie seringkali menyebut-nyebut namamu dan karena mereka berdua adalah pembantu-pembantuku yang baik dan rajin, kau juga menjadi tamuku pula! Shan-tung Koay-hiap, harap kau maklum bahwa aku orang she Lu tidak ikut campur dalam urusan dengan Ong-taijin tadi!”

Tiong San tersenyum. “Perkara itu sudah lewat, taijin.”

“Marilah masuk ke dalam dan aku harus menjamu tamuku yang gagah,” katanya dengan ramah tamah. Akan tetapi Tiong San menggoyang tangannya dan berkata,

“Terima kasih, taijin. Tak perlu repot-repot. Aku hanya ingin bicara dengan kedua sahabatku!”

Pangeran itu menarik napas panjang. “Tentu kau takkan dapat menikmati hidanganku yang jauh lebih buruk dari pada hidangan di rumah Pangeran Ong Tai Kun. Baiklah, kalau kau hanya hendak bercakap- cakap dengan kedua orang sahabatmu yang menjadi pembantu-pembantuku, aku akan menyuruh orang menyediakan kamar untukmu. Akan tetapi, aku mengharap agar supaya besok pagi kau suka bercakap- cakap dengan aku sebagai kawan-kawan baik!” Pangeran itu lalu mengajak pergi keponakannya yang melepas kerling tajam ke arah Tiong San sambil berkata, “Shan-tung Koay-hiap benar-benar lihai, siauwmoi (menyebut diri sendiri yang berarti adik perempuan muda) benar-benar merasa takluk!”

Setelah kedua orang itu pergi, Khu Sin menubruk kawannya itu dan mengucurkan air mata. “Tiong San ... Tiong San, apakah yang telah terjadi dengan kau? Mengapa kau bisa menjadi seorang pendekar yang begini hebat? Ah .... Tiong San ....” kemudian pemuda ini teringat akan nasibnya sendiri dan nasib Thio Swie, maka ia lalu menangis seperti anak kecil.

“Eh, anak gila!” Tiong San menghibur kawannya dan sebutan “gila” ini baginya merupakan sebutan mesra sebagaimana suhunya selalu menyebutnya. “Jangan menangis seperti perempuan saja!”

Khu Sin sadar dan segera menyusut air matanya, lalu ia menarik tangan Tiong San menuju ke bangunan di sebelah kiri dan berkata,

“Bagus kau datang, Tiong San. Agaknya hanya kau yang dapat mengobati penyakit Thio Swie!” “Thio Swie sakit!”

“Semacam penyakit yang sukar diobati,” kata Khu Sin dan ia tidak memberi kesempatan kepada Tiong San untuk bertanya lagi, akan tetapi langsung membawa Tiong San ke kamar Thio Swie.

Begitu Khu Sin membuka daun pintu dan melangkah masuk, ia disambut oleh maki-makian nyaring oleh Thio Swie,

“Bangsat, pengkhianat berhati rendah! Kau berani masuk ke sini! Setelah kau mencuri Siu Eng, kau kau

....” tiba-tiba ia terbelalak memandang kepada wajah Tiong San yang berdiri tersenyum memandangnya.

“Thio Swie, kau lebih gila dari pada yang kuduga semula!” kata Tiong San sambil memandang dengan penuh kasih sayang kepada sahabat karibnya yang dulu selalu bergembira dan berseri, akan tetapi yang sekarang nampak kusut dan pucat itu.

“Kau .... kau ... Tiong San ... !” seperti Khu Sin, pemuda ini menubruk Tiong San, memeluk dan menciuminya sambil mengucurkan air mata.

“Eh, eh, kalian berdua memang benar-benar gila! Gila dan cengeng! Kenapa bertangis-tangisan tidak keruan?”

“Tiong San .....” kata Thio Swie sambil menangis, “Betapa aku takkan menangis? Semenjak kau pergi, sahabat karibku hanyalah Khu Sin seorang, dialah orang satu-satunya yang menjadi curahan hatiku, yang menjadi penasehat dan teman berunding! Akan tetapi bagaimana kenyataannya ....? Ia, kawanku ini ia

telah merampas kekasih hatiku, telah membujuk dan mencuri hati Siu Eng dengan cara yang amat rendah

.... ia ... ia ”

“Ssst, diam, Thio Swie!” tiba-tiba suara Tiong San terdengar berpengaruh sekali. “Kau tersesat dan buta! Tahukah kau, baru saja Siu Engmu itu hampir membunuh Khu Sin kalau tidak aku kebetulan datang!”

“Apa ?!! Thio Swie memandang dengan mata terbelalak.

“Ya, kau boleh merasa heran. Aku mendengar dengan telingaku sendiri betapa Khu Sin telah minta dengan beraninya kepada Siu Eng agar tidak mengganggumu, agar suka kembali kepadamu dan jangan bermain curang dan melanggar kesetiaan terhadapmu! Dan untuk pembelaannya itu, Khu Sin telah kau benci, bahkan hampir terbunuh oleh Siu Eng gadis kejam itu!” kata pula Tiong San.

Khu Sin lalu melangkah maju dan memeluk pundak Thio Swie. “Thio Swie, memang kau sedang dimabok cinta. Kau tidak tahu betapa besar kasih ku kepadamu. Kita sahabat-sahabat karib semenjak kecil, bukan? Kita kawan-kawan sekampung, bukan? Tak pernah aku berlaku khianat dan curang kepadamu, kawan! Kau tidak tahu, kawan kita Tiong San telah menjadi seorang pendekar luar biasa! Ah, kalau saja kau tadi tahu betapa ia bertempur melawan Siu Eng yang lihai! Ia adalah Shan-tung Koay-hiap, dan kepandaiannya

.... ah, kau takkan percaya kepada matamu sendiri ” Kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,” Kawan-kawanku, dengarlah baik-baik penuturanku dan aku bersumpah takkan mau menjadi manusia lagi kalau dalam penuturanku ini ada sepatah katapun yang tidak benar!”

Ia lalu menceritakan keadaan sebenarnya, betapa Siu Eng memasuki kamarnya, betapa ia telah mencintai seorang gadis pelayan yang kemudian difitnah oleh Siu Eng, dan betapa ia tadi hampir saja dibunuh oleh gadis kejam itu.

MAKIN lama makin pucatlah wajah Thio Swie mendengar ini dan akhirnya ia mengeluh dengan sedih lalu roboh pingsan. Khu Sin menjadi sibuk, akan tetapi Tiong San berkata,

“Tenanglah, ia tidak apa-apa. Lebih baik dia pingsan sehingga tidak mengalami pukulan batin yang lebih hebat.” Mereka duduk diam menjaga sampai Thio Swie siuman kembali. Pemuda ini bangun duduk dan menangis sedih.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment