Thio Swie menjadi pucat dan ia memegang lengan Khu Sin dengan tangan gemetar. “Sahabatku, ceritakanlah! Ceritakanlah demi persahabatan kita dan jangan membuat aku mati karena bimbang ragu!”
Dengan hati terharu karena diliputi rasa kasihan, terpaksa Khu Sin menceritakan semua pengalamannya malam tadi dan tentang sikap tidak sopan dan cabul dari Siu Eng. Thio Swie mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka makin pucat. Ia lalau bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak ia telah menampar muka Khu Sin, hingga Khu Sin menjadi terhuyung-huyung!
“Keluar...! Pergilah kau dari hadapanku! Kau bohong .....! Kau memfitnah ! Kau mengeluarkan kata-kata
beracun karena kau ... hendak memisahkan aku dari kekasihku. Kau .... ha ha, kau iri hati, bangsat! Kau sendiri tergila-gila kepada Siu Eng dan karena kekasihku itu tidak menghiraukan bujukanmu, kau lalu mengeluarkan siasat ini! Ya ...... kau bangsat rendah, kau memfitnah! Ayo lekas keluar, kalau tidak .....
demi Tuhan, akan kubunuh kau !!”
Khu Sin dengan tenang dan sambil mengusap bibirnya yang berdarah, melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu sambil berkata perlahan,
“Betapapun juga, Thio Swie, aku tidak membencimu karena ini. Aku bahkan makin kasihan kepadamu ”
“Tutup mulutmu yang berbisa, lekas keluar!”
Demikianlah, terjadi perpecahan di antara dua orang sahabat karib yang tadinya saling mencinta seperti dua orang saudara kandung itu. Semenjak saat itu, Thio Swie tak pernah mau bicara kepada Khu Sin dan apabila mereka bertemu muka, Thio Swie selalu membuang muka dan tidak mau memandangnya. Khu Sin tak dapat berbuat apa-apa melainkan menarik napas dengan hati amat berduka.
Khu Sin telah jatuh hati dan mencinta seorang gadis pelayan di dalam gedung itu, seorang gadis dari keluarga tani yang cukup manis dan lincah, bernama Man Kwei. Dengan diam-diam keduanya telah saling menyatakan cinta dan saling berjanji akan hidup sebagai suami isteri.
“Tunggulah sampai aku mendapat kedudukan yang pantas, aku akan meminangmu dan minta izin kepada Lu-taijin untuk mengawinimu!” kata Khu Sin dalam sebuah pertemuan yang mereka lakukan di dalam taman bunga istana Pangeran Lu Goan Ong.
“Kalau kau sudah mendapat kedudukan tinggi, tentu kau takkan ingat kepada Man Kwei gadis dusun yang bodoh dan buruk ini,” kata Man Kwei dengan sikap manja.
“Tak mungkin! Aku adalah seorang yang telah banyak mempelajari budi pekerti, tahu akan arti kesetiaan, kepercayaan dan pribudi,” jawab Khu Sin.
Di dalam hubungan yang amat sederhana dengan gadis yang sederhana pula itu, ia menemukan kebahagiaan yang besar.
Akan tetapi, ia tidak mengira bahwa kebahagiaan hanya merupakan cahaya bulan yang mudah tertutup oleh mega-mega mendung yang hitam mengerikan. Dan kini yang merupakan awan penutup dan penghalang kebahagiaannya adalah Gui Siu Eng, gadis cantik jelita dan gagah perkasa itu!
Ternyata bahwa Siu Eng merasa penasaran sekali melihat betapa Khu Sin menolak cintanya, bahkan tidak memperdulikannya. Hal ini baru sekarang ia alami. Seorang pemuda menolak permainan cintanya! Makin ditolak, makin bernafsulah dia dan makin penasaran.
Demikianlah sifat Siu Eng yang amat rendah. Kalau dituruti kehendaknya, maka sebentar saja ia akan merasa bosan kepada pemuda kekasihnya. Akan tetapi kalau ditolak, ia akan berusaha selalu dan sekuatnya untuk dapat memiliki pemuda itu, atau untuk melampiaskan marahnya dan mencelakakan orang yang berani menampiknya!
Siu Eng telah merasa bosan kepada Thio Swie dan kini tak pernah pula ia datang menjumpai Thio Swie, bahkan bertemu, ia selalu menarik muka dan seperti orang marah-marah! Hal ini tentu saja menyusahkan hati Thio Swie yang kembali menyangka bahwa perubahan ini tentu gara-gara Khu Sin!
Sebaliknya, ketika mendengar dari para pelayan bahwa Khu Sin mempunyai seorang kekasih, yakni Man Kwei, kegusaran Siu Eng memuncak! Dengan pengaruhnya yang besar terhadap pamannya, Siu Eng lalu mengusir Man Kwei, bahkan dengan kejamnya ia lalu mencari jalan dan menjual gadis itu kepada rumah pelacur! Memang, nasib para anak gadis di masa itu amat buruk dan sengsara, teristimewa anak-anak orang miskin. Anak-anak ini dapat diperjualbelikan, yakni seorang petani yang miskin dapat menjual anaknya kepada rumah seorang kaya atau berpangkat untuk menjadi pelayan dan selanjutnya kehidupan anak ini seluruhnya berada di dalam kekuasaan majikannya!
Biarpun Pangeran Lu Goan Ong tidak terlalu kejam untuk melakukan penjualan macam itu, akan tetapi karena ia berada di bawah pengaruh Siu Eng yang amat dimanjakannya, akhirnya Man Kwei terjual juga kepada rumah pelacuran! Dalam hal ini masih belum memuaskan hati Siu Eng yang kejam, karena Khu Sin masih juga belum mau memperlihatkan sikap manis kepadanya.
Bahkan ketika Khu Sin melihat betapa Siu Eng mengubah sikapnya kepada Thio Swie sehingga pemuda itu kini selalu mengeram diri di dalam kamar bagaikan seorang menderita penyakit gila, Khu Sin lalu menjumpai Siu Eng dan dengan suara memohon ia berkata,
“Siocia, kasihanilah kawanku Thio Swie itu! Dia telah tergila-gila kepadamu, dia telah mencintaimu sepenuh jiwa dan raganya, mengapa kini siocia berbalik membenci dan tidak mau pemperdulikannya? Siocia, kau berlakulah bijaksana dan jangan membikin ia sengsara serupa itu!”
Akan tetapi Siu Eng bahkan menjadi marah sekali. “Khu Sin, kau anggap aku ini siapa maka kau berani berkata demikian kepadaku? Apakah kau anggap aku ini seperti Man Kwei kekasihmu yang ternyata bukan lain hanya seorang pelacur?”
Tiba-tiba dendam di hati Khu Sin yang ditahan-tahannya itu berkobar ketika mendengar ini. “Siocia! Man Kwei adalah seorang sesuci-sucinya, seorang gadis yang betul-betul berbatin bersih! Ia telah menjadi korban keganasan orang, akan tetapi, betapapun juga, aku tetap mencintainya dan akan menjadikan dia sebagai isteriku yang tercinta!”
“Kau katakan! Keganasan siapakah yang kau maksud itu? Baru dua hari Man Kwei melarikan diri dari gedung ini sambil membawa barang perhiasan dan tahu-tahu ia kini berada di rumah pelacuran!”
Makin marahlah Khu Sin mendengar ini. Ia telah tahu akan segala yang menimpa diri Man Kwei, akan tetapi ia tinggal diam saja. Hanya dengan bantuan kawan-kawannya, ia dapat mengirim uang kepada kepala rumah pelacuran itu untuk menjaga Man Kwei baik-baik dan jangan mengganggunya. Ia telah mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan menggunakan uang simpanannya untuk membawa Man Kwei pulang ke desanya.
Akan tetapi, oleh karena tidak tega meninggalkan sahabatnya yang berada dalam keadaan sengsara itu, ia telah berlaku nekat dan menjumpai Siu Eng untuk mengajukan permohonan bagi sahabatnya yang dulu pernah menamparnya itu. Dapat dibayangkan betapa setia kawan dan mulia hati pemuda ini! Akan tetapi, sesabar-sabarnya seorang laki-laki, apabila orang yang dicintai dihina dan dimaki orang, ia takkan dapat bertahan, maka kini dengan marah ia berkata kepada Siu Eng,
“Gui-siocia! Jangan kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu yang kejam itu. Karena Man Kwei menjadi kekasihku dan calon isteriku, kau sengaja berlaku kejam dan mencoba untuk menjerumuskan dia ke jurang kehinaan. Akan tetapi dengarlah, wahai puteri bangsawan yang kurang pikir! Aku adalah seorang terpelajar yang tak sudi berbuat melanggar kesusilaan dan kesopanan, dan sekarang juga aku hendak menghadap kepada Lu-taijin untuk minta berhenti dari pekerjaan ini. Aku akan membawa calon isteriku pulang ke kampung dan hidup dengan aman dan damai di sana, jauh dari gedung ini, dan jauh dari kau!”
“Bangsat, tutup mulutmu!” tiba-tiba Siu Eng menampar dan Khu Sin roboh terguling. “Kau hendak pulang? Hendak mengawini Man Kwei? Hm, jangan harap, bangsat! Kau akan kubunuh dulu dan Man Kwei akan menjadi pelacur yang sebesar-besarnya, sehina-hinanya!”
Sambil berkata demikian, ia maju untuk mengirim tendangan maut kepada Khu Sin. Pemuda ini maklum akan kelihaian Siu Eng dan tamparan tadipun telah membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang, maka kini ia hanya dapat memeramkan mata menanti datangnya tendangan maut itu!