Halo!

Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 29

Memuat...

Melihat kesungguhan hati kawannya, diam-diam Khu Sin merasa kasihan dan ikut memuji semoga kerinduan hati kawannya itu takkan menemui kegagalan dan kekecewaan.

Benar saja, ketika pada keesokan harinya mereka kembali datang ke gedung pangeran Lu Goan Ong dan disambut oleh para penjaga, sikap para penjaga itu berbeda dengan yang sudah-sudah.

“Ji-wi kongcu mengapa tadinya tidak menyatakan bahwa ji-wi adalah sahabat-sahabat baik dari Lu-taijin? Baiknya kemaren Gui-siocia memberi tahu kepada kami. Kalau tidak sukarlah bagi ji-wi untuk dapat bertemu dengan Lu-taijin. Harap maafkan kami!”

“Ah, tidak apa, tidak apa!” kata Khu Sin dengan girang. Apakah sekarang Lu-taijin ada di dalam rumah dan dapatkah kami menghadap?” “Tentu saja dapat, harap ji-wi kongcu menanti sebentar.” Mereka dipersilahkan duduk menanti di kamar tamu dan tak lama kemudian seorang pelayan mengundang mereka untuk masuk ke dalam karena pangeran Lu Goan Ong telah siap menerima mereka menghadap.

Pangeran Lu Goan Ong menerima mereka dengan acuh tak acuh, akan tetapi oleh karena pangeran ini telah mendapat pemberitahuan dari keponakannya, maka secara singkat ia lalu menanyakan maksud kedatangan mereka.

Dengan amat hormat Khu Sin lalu mengajukan permohonan agar supaya mereka memperoleh kedudukan oleh karena mereka telah lulus dalam ujian.

“Tidak mudah, tidak mudah!” kata pangeran Lu Goan Ong sambil menggoyang-goyang kedua kedua tangannya. “Untuk menjadi seorang pembesar, tidak saja kalian harus pandai, akan tetapi juga harus mempunyai banyak pengalaman.”

“Hambah bedua mohon diberi pekerjaan, apa saja pekerjaan itu asalkan dapat menambah pengalaman hamba,” kata Thio Swie.

Setelah berpikir sejenak, pangeran itu lalu berkata, “Biarlah kalian membantu pekerjaanku di sini. Khu Sin, kau kuberi tugas mengurus pembukuan untuk mencatat pembagian gaji para perwira, tentara dan pelayan! Dan kau, Thio Swie, kau harus mencatat semua keperluan rumah tanggaku agar dapat diketahui dengan baik segala pengeluaran uang!”

Biarpun pekerjaan itu bukan merupakan sesuatu pangkat, akan tetapi mereka menerima dengan amat gembira, karena setidaknya mereka akan memperoleh pengalaman dan karena mereka membantu seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, maka jalan untuk mencari kenaikan pangkat dan kemajuan akan lebih mudah bagi mereka. Apalagi Thio Swie, ingin rasanya ia bersorak-sorak dan berjingkrak-jingkrak kegirangan karena dengan mendapat pekerjaan di dalam gedung pangeran itu, berarti bahwa setiap hari ia akan dapat bertemu dengan Siu Eng gadis yang telah merebut hatinya!

Dan kebahagiaan Thio Swie mencapai puncaknya ketika mendapat kenyataan bahwa setelah bekerja beberapa bulan lamanya di dalam gedung pangeran Lu Goan Ong, gadis yang cantik jelita itu bersikap manis sekali kepadanya. Bahkan begitu mesra dan manisnya sehingga setelah ia bekerja hampir dua tahun, gadis ini telah berani masuk ke dalam kamarnya di waktu malam dan bersenda gurau dengannya. Tentu saja Thio Swie merasa bahagia sekali dan menyangka bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya! Ia menganggap gadis itu sebagai seorang bidadari pembawa bahagia dan cintanya makin mendalam.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa gadis yang disangkanya bidadari pembawa bahagia itu tidak lain adalah seorang iblis wanita pembawa sengsara! Ia tidak pernah mengira bahwa Gui Siu Eng adalah seorang anak yatim piatu keponakan pangeran Lu Goan Ong yang amat dimanja dan kurang pendidikan budi pekerti sehingga memiliki watak yang amat buruk! Gadis itu keras kepala, tinggi hati dan mempunyai sifat cabul! Wajah cantik jelita itu hanya merupakan kedok indah yang menutup dan menyelimuti seluruh watak- wataknya yang kurang baik.

Semenjak kecil Gui Siu Eng mendapat pendidikan ilmu silat dari seorang guru silat yang tadinya menjadi perampok sehingga gadis itu memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga watak yang kurang bersih. Kemudian gadis itu bahkan menjadi murid dari Kiu-hwa-san Toanio, seorang wanita cabul yang gagah perkasa dan yang bertapa di bukit Kiu-hwa-san setelah tua. Dari gurunya ini ia mendapat warisan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga wataknya yang cabul itu adalah warisan dari Kiu-hwa-san Toanio.

Setelah kembali dari Kiu-hwa-san, kepandaiannya amat tinggi dan ia makin disayang oleh pamannya oleh karena dengan kepandaiannya itu, ia seolah-olah menjadi pengawal pribadi pamannya sendiri. Pangeran Lu Goan Ong benar-benar mencintai keponakannya ini karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka ia amat memanjakan Siu Eng.

Beberapa kali ia hendak menjodohkan Siu Eng dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi gadis itu selalu menolak dan menyatakan bahwa ia hanya mau dijodohkan dengan seorang pemuda tampan, pandai ilmu kesusasteraan dan pandai silat melebihi kepandaiannya sendiri!

Di manakah dapat mencari seorang pemuda seperti itu? Pemuda yang tampan dan tinggi pelajaran ilmu silatnya memang banyak terdapat di kota raja, akan tetapi yang berkepandaian silatnya melebihi kepandaian Siu Eng, sukar sekali terdapat! Ilmu silat gadis ini belum tentu lebih rendah dari ilmu kepandaian Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri!

SEMUA keburukan ini tidak terlihat oleh Thio Swie yang telah tergila-gila itu. Siu Eng hanya mempermainkannya saja, karena gadis ini memang suka sekali bergaul dan bercinta-cintaan dengan pemuda-pemuda cakap seperti Thio Swie, Selama perhubungan mereka itu, apabila Thio Swie mengemukakan tentang perjodohan, gadis itu hanya tersenyum dan menjawab dengan senyum manis dan kerling memikat,

“Kawin? Ah, koko yang baik, hal itu tak perlu dibicarakan sekarang!”

“Mengapa Eng-moi? Bukankah kita saling mencinta? Bukankah ....., bukankah kau juga cinta padaku seperti aku mencinta padamu?”

Dengan gaya manja dan menarik hati, Siu Eng lalu menyandarkan kepalanya dengan rambutnya yang harum itu pada dada pemuda itu dan berkata, “Tentu saja aku mencinta padamu!”

Ia meraba pipi Thio Swie yang halus. “Akan tetapi, kau harus ingat akan kedudukanmu. Gajimu belum cukup besar untuk dapat memelihara rumah tangga, mengapa bicara tentang kawin? Kelak kalau kau sudah memperoleh kedudukan tinggi, barulah kita bicara lagi tentang hal itu!”

Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berlari-lari keluar dari kamar Thio Swie dan tertawa berkikikan yang membuat Thio Swie makin tergila-gila!

“Memang dia benar!” pikirnya. “Siu Eng kekasihku itu selamanya berpikir tepat dan benar! Aku harus mencari kemajuan dan kedudukan tinggi lebih dulu, barulah aku dapat meminangnya dan kita hidup berbahagia!”

Lamunan-lamunan seperti ini membuat Thio Swie sering tak dapat tidur, dan hatinya penuh kebahagiaan dan cita-cita muluk. Memang patut dikasihani pemuda yang dimabuk cinta ini! Karena Siu Eng seorang bangsawan, keponakan seorang Pangeran dan hidup dalam keadaan mewah dan kaya raya, maka tidak ada sedikitpun kecurigaan dalam hatinya!

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Khu Sin. Pemuda ini merasa terkejut dan kuatir sekali ketika pada suatu malam Siu Eng memasuki kamarnya dan bersikap tak kenal malu sekali! Ia memang selalu menaruh curiga dan tidak senang terhadap sikap Siu Eng yang agaknya terlalu manis kepadanya, karena dia tahu betul bahwa gadis ini saling mencinta dengan kawannya.

Thio Swie seringkali menceritakan kepadanya betapa sikap gadis itu amat manis terhadap Thio Swie, bahkan mereka telah bermain cinta! Tadinya dia merasa girang untuk nasib baik sahabatnya ini. Akan tetapi, tidak disangka-sangkanya bahwa gadis itu berani pula masuk ke dalam kamarnya! Memang kedua pemuda itu mendapat kamar di bangunan sebelah kiri gedung besar Pangeran Lu Goan Ong.

Sikap Siu Eng yang memikat-mikat hatinya dan dengan cara tak sopan memperlihatkan sikap cabul terhadapnya, membuat Khu Sin menjadi marah dan sedih sekali.

“Gui-siocia,” katanya dengan halus karena betapapun marahnya, dia tidak berani berlaku kasar terhadap keponakan Pangeran Lu yang dia tahu pandai ilmu Silat pula. “Harap kau jangan masuk ke dalam kamarku dan kalau kiranya ada keperluan, baiklah besok pagi aku menghadap padamu.”

Siu Eng memandang sambil tersenyum karena mengira bahwa pemuda ini tentu malu-malu.

“Khu Sin,” katanya sambil mencibirkan bibirnya yang merah dan menggairahkan itu. “Kau ternyata seorang pemuda yang kurang terima! Kalau tidak ada aku Siu Eng yang menjadi perantara, apakah kau ada harapan untuk bekerja di sini?” Khu Sin menjadi terkejut dan buru-buru ia menjura di hadapan gadis itu. “Maaf, Gui-siocia, memang aku merasa amat berterima kasih kepadamu. Kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk membantumu, katakanlah. Aku Khu Sin bukanlah seorang yang tidak tahu terima kasih akan budi orang!”

Siu Eng tersenyum lagi dan tiba-tiba ia melangkah maju lalu duduk di dekat pemuda itu. “Kalau begitu, mengapa kau tidak berlaku manis kepadaku? Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?” tangannya memegang lengan Khu Sin dengan mesra sekali.

Makin terkejutlah pemuda itu melihat hal ini. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Siu Eng adalah kekasih kawannya, dan kalau saja ia sendiri belum menjatuhkan hatinya kepada seorang gadis pelayan di gedung itu, tentu ia akan jatuh dan tidak kuat menghadapi godaan gadis cantik jelita ini. Ia bangkit berdiri dan berkata,

“Maaf, siocia, harap kau suka ingat bahwa kalau ada orang lain melihat siocia berada di kamarku, akan mendatangkan omongan yang kurang enak. Pula, bagaimana kalau Thio Swie mendengarnya? Dia adalah kawan baikku dan ... dan ... bukankah dia dan siocia sudah saling mencinta?”

“Siapa mencinta dia?” tiba-tiba Siu Eng menjadi marah. “Aku suka kepada siapapun juga, tak boleh kau turut campur! Apakah kau tidak suka kepadaku, Khu Sin?”

“Aku berhutang budi kepada siocia dan aku menghormat siocia setulus hatiku!” jawab Khu Sin. “Dan kau tidak suka kepadaku?” tanya gadis itu sambil memandang tajam.

“Hal ini .....” Khu Sin menundukkan muka dengan hati berdebar, “Aku aku tidak berani menyatakan tidak

suka ”

“Hm, kau mengecewakan hatiku, Khu Sin. Kaukira untuk apakah aku menolongmu sehingga bisa diterima bekerja di sini? Ah, aku mulai menyesal dan kecewa telah menolongmu?” Sambil berkata demikian, Siu Eng lalu keluar dari kamar itu dan menutup pintu kamar Khu Sin keras-keras. Untuk beberapa lama pemuda itu berdiri kebingungan dengan hati berdebar-debar.

Apakah artinya ini? Sungguhpun ia tidak tahu akan riwayat dan keadaan gadis itu, akan tetapi ia mulai merasa khawatir dan tidak suka kepada gadis itu. Ia menganggap bahwa gadis itu telah berlaku tidak setia terhadap Thio Swie dan dari kata-kata gadis itu, ia dapat menduga bahwa gadis itu bukanlah seorang berhati mulia dan ia merasa amat kasihan dan menyesal kepada Thio Swie, sahabat karibnya.

Ia segera langsung menjumpai sahabatnya untuk memberi peringatan bahwa Siu Eng bukanlah gadis yang patut untuk dijadikan calon isteri. Bukan main marahnya Thio Swie mendengar ini dan dengan mengepal tinju dan mata memancarkan cahaya berapi-api, ia membentak sahabatnya itu.

“Khu Sin! Kalau kau bukan sahabatku sejak kecil, tentu akan kupukul mukamu! Mengapa kau tidak menahan lidahmu dan apakah yang meracuni bibirmu sehingga kau mengeluarkan ucapan-ucapan yang amat keji itu?” katanya marah. “Kalau kau tidak bisa menceritakan dasar-dasar dan alasan-alasanmu mengapa kau berkata sekeji itu, mulai sekarang lebih baik hubungan kita sebagai sahabat diputuskan saja!”

“Thio Swie,” kata Khu Sin dengan muka sedih, “Kita telah menjadi sahabat karib bertahun-tahun semenjak kita kecil. Ingatkah kau betapa kau, aku dan Tiong San pernah menyatakan bahwa kita bertiga akan tinggal setia selama hidup? Nah, karena itu, apakah kau masih meragukan kesetiaanku sebagai kawan baikmu? Aku memang mempunyai dasar alasan kuat mengapa aku berani menyatakan bahwa Siu Eng bukanlah seorang gadis yang patut kau idam-idamkan! Akan tetapi, perlukah aku harus menceritakan alasan yang hanya akan menyakitkan hatimu saja?”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment