Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 28

NIC

Ia teringat pula betapa Thio Swie dulu tergila-gila kepada seorang gadis cantik bernama Siu Eng yang dulu berada pula di perahu pangeran Lu! Timbul keras keinginan hatinya untuk mencari dan menjumpai kawan- kawannya yang telah lama tidak dilihatnya itu.

“Suhu, kita sekarang akan ke mana?”

“Bodoh, perutku lapar sekali! Aku hendak makan di dapur kaisar!”

Akan tetapi Tiong San tidak mempunyai nafsu untuk makan besar pada saat itu. “Suhu, teecu tidak ingin makan hidangan yang lezat-lezat! Melihat masakan sekian banyaknya di gedung tadi, teecu sudah merasa kenyang!”

Suhunya tertawa geli dan berkata, “Kalau begitu, biar aku sendiri yang makan di sana.”

“Teecu ingin sekali mencari dua orang kawan teecu yang berada di kota raja. Suhu tentu masih ingat kedua kawan teecu yang dulu kipas dan syairnya juga suhu ambil!”

“Huh! Pelajar-pelajar dan pelamun-pelamun itu! Syair-syairnya aku tidak suka! Mereka membuat syair seperti orang mimpi atau seperti seorang wanita yang merengek-rengek mengagumi pakaian indah! Anak- anak muda seperti itu tidak ada gunanya, aku tidak mau bertemu dengan mereka!” suhunya mencela.

“Akan tetapi mereka adalah sahabat-sahabat karib teecu semenjak kecil, teecu merasa rindu kepada mereka.”

“Huh!” Suhunya mencela pula. “kau benar-benar sudah gila lagi seperti mereka. Baik, kau carilah, kemudian setelah gilamu sembuh, kau boleh menyusul aku ke dapur istana kaisar!”

Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa senang Thian-te Lo-mo lalu melompat pergi dengan cepat meninggalkan muridnya.

******************** Khu Sin dan Thio Swie, dua orang pemuda sekampung yang menjadi sahabat karib Tiong San semenjak mereka bertiga masih kecil, dengan rajin dan giat melanjutkan pelajaran mereka di kota raja. Kedua pemuda ini sama-sama mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi pembesar yang menduduki pangkat mulia, sesuai dengan cita-cita dan pengharapan orang tua mereka.

Akan tetapi pada masa itu, kepandaian tidak menjadi ukuran bagi orang yang hendak memperoleh kedudukan tinggi. Betapapun pandai seseorang, tanpa perantara yang cukup berpengaruh, kuat dan berkedudukan tinggi, ia takkan berdaya untuk mmperoleh pangkat yang kecilpun. Dan untuk dapat mendekati seorang perantara yang berpengaruh, amat dibutuhkan harta benda sebagai syarat terutama.

Oleh karena itu pada masa itu, banyak sekali kaum cerdik pandai dan cendekiawan, pada pergi mengasingkan diri oleh karena selain kecil sekali harapan mereka untuk dapat bekerja pada pemerintah sebagai seorang pembesar sipil, juga mereka merasa muak melihat keadaan pemerintah yang amat buruk itu. Dan dengan adanya gejala-gejala penyuapan dan penyogokan yang merajalela di kalangan para pembesar, maka jabatan-jabatan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak cakap sama sekali sehingga akibatnya, kemerosotan akhlak makin menjalar luas di kalangan para pejabat.

Untuk mendapatkan pangkatnya, seorang pejabat telah mengeluarkan banyak uang guna menyuap para atasan, maka setelah akhirnya berhasil mendapatkan pangkat itu, tentu saja ia berusaha sekuatnya untuk dapat menarik kembali “modal” yang telah dikeluarkan tadi dengan jalan korupsi besar-besaran dan pemerasan kepada rakyat sekehendak hatinya!

Khu Sin dan Thio Swie bukanlah anak orang kaya. Orang tua Khu Sin hanyalah seorang kepala kampung yang jujur dan tidak korup, sedangkan Thio Swie bahkan hanya seorang putera seorang guru kampung yang miskin. Mereka berdua dapat melanjutkan pelajarannya di kota raja oleh karena kebetulan sekali mereka mempunyai keluarga di kota raja yang suka membantu.

Khu Sin ditolong oleh pamannya yang memiliki sebuah rumah makan kecil di kota raja, sedangkan Thio Swie ikut pada bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat di kota raja pula. Berkat pembiayaan dan pertolongan keluarga inilah, maka mereka berhasil meneruskan pelajaran di kota raja. Tentu saja kedua orang pemuda ini dengan rajinnya pula membantu pekerjaan paman dan bibi mereka sebagai pembalasan jasa.

Ketika pada hari libur keduanya kembali ke dusun Kui-ma-chung, yakni dusun tempat kelahiran mereka dan berpesiar dengan Tiong San ke telaga Tai-hu sehingga mereka bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong, Khu Sin dan Thio Swie merasa girang sekali. Setelah kembali ke kota raja, mereka tidak membuang waktu lagi dan segera mengadakan kunjungan kehormatan kepada pangeran itu.

Tidak mudah bagi mereka untuk dapat bertemu dengan pangeran itu, karena selain pangeran Lu jarang berada di rumah, juga apabila ia ada, sukar untuk dapat menjumpainya. Para penjaga yang diberitahu bahwa kedatangan mereka itu sekedar memberi penghormatan, bahwa ada tanda-tanda bahwa kedua orang pemuda itu datang untuk minta tolong, mempersulit pertemuan itu dan berbulan-bulan telah lewat tanpa kedua pemuda mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong.

Pada suatu hari, beberapa bulan kemudian, ketika Khu Sin dan Thio Swie pulang dari tempat belajar, mereka melihat seorang gadis cantik jelita menunggang kuda putih dengan gagahnya. Gadis yang menjalankan kudanya perlahan-lahan itu mengerling ke arah mereka dan tiba-tiba Thio Swie dan Khu Sin mengenali gadis ini sebagai gadis yang dulu berada di perahu pangeran Lu.

“Siocia!” Thio Swie berteriak girang dan segera menghampiri gadis di atas kudanya itu dan menjura dengan hormat sekali, ditiru pula oleh Khu Sin.

Gadis cantik yang ternyata adalah Gui Siu Eng, anak keponakan pangeran Lu Goan Ong itu, mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit. Ia nampak tidak senang sekali bahwa di tengah jalan ada dua orang pemuda tak dikenal yang berani menegurnya.

“Siapakah kalian? Aku tidak kenal kepadamu dan jangan kalian berani kurang ajar!” ia menegur dengan suara kurang senang.

Melihat kesombongan gadis ini, Thio Swie tidak menjadi marah, bahkan sambil tersenyum girang ia berkata, “Maafkan kami, siocia. Tentu saja siocia sudah lupa lagi, akan tetapi kami tak dapat melupakan siocia. Kita pernah bertemu di atas perahu Lu-taijin ketika perahu kami bertubrukan dengan perahu Lu- taijin di telaga Tai-hu!”

Nona itu mengingat-ingat dan bibirnya yang indah dan merah itu lalu membayangkan senyum yang membuat hati Thio Swie berdetak-detak tidak keruan!

“Ah, ji-wi Kongcu!” katanya perlahan, “Hampir aku lupa. Akan tetapi, dulu ada seorang lagi, yang berpakaian hijau ...” Sebetulnya yang masih teringat oleh Siu Eng adalah pemuda baju hijau ialah Tiong San.

“Siocia maksudkan sahabat kami Tiong San? Ya, memang pada waktu itu kami bertiga, akan tetapi .....

sahabat kami Tiong San itu tak dapat meneruskan pelajaran di kota raja.”

“Kasihan ” Nona itu berkata dan ia mulai menggerakkan kudanya hendak melanjutkan perjalanan. Akan

tetapi Thio Swie mengikutinya dan berkata cepat-cepat.

“Siocia, sukakah kau menolong kami?” Sebelum nona itu menjawab, ia melanjutkan, “Telah berbulan-bulan kami berdua hendak menghadap Lu-taijin menghaturkan terima kasih dan hormat kami, akan tetapi selalu tak berhasil. Para penjaga melarang kami menghadap!”

Siu Eng tersenyum manis. “Memang pamanku tak mudah dijumpai, akan tetapi kalau kalian mau datang pada besok pagi, tentu kalian akan diterima.” Sambil berkata demikian, gadis itu melarikan kudanya.

“Siocia! Aku adalah Thio Swie dan kawanku ini Khu Sin!” Thio Swie masih berteriak kepada nona itu yang menengok sebentar sambil tersenyum, lalu kudanya berlari cepat. Thio Swie berdiri bengong, seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh senyum di bibir nona manis itu!

Khu Sin sambil tertawa menepuk pundak kawannya sambil berkata, “Thio Swie, dia sudah pergi jauh!”

Thio Swie menarik napas panjang. “Alangkah manisnya ......, alangkah merdu suaranya dan senyum itu

... ah, Khu Sin, bukankah senyum itu ditujukan kepadaku semata?”

“Kau , kau sudah gila!” Khu Sin berkata sambil tertawa geli. Sungguhpun ia merasa tertarik juga pada

nona yang cantik jelita itu, akan tetapi kegirangan Khu Sin lebih banyak disebabkan karena mereka akan mendapat kesempatan karena ia dapat bertemu dengan dengan paman gadis itu.

Dalam perjalanan pulang, tiada hentinya Thio Swie membicarakan kecantikan gadis itu, dan tanpa malu- malu lagi ia mengaku kepada kawannya bahwa ia telah jatuh cinta! Khu Sin hanya tersenyum dan berkata,

“Jangan mengimpi, kawan! Siu Eng adalah keponakan dari pangeran Lu, sedangkan kau ini siapa? Jangan menjadi anjing yang merindukan bulan!”

“Siapa tahu, Khu Sin? Siapa tahu kelak aku akan menduduki pangkat dan dapat mengulurkan tangan kepada bidadari itu ”

Posting Komentar