“Pangeran Ong, kau benar-benar tidak tahu aturan!” teriaknya sambil memaki kalang kabut, memaki tiap orang yang menyerang dengan sebutan perwira gila, pembesar gendeng dan sebagainya. “Tamu agung datang tidak disambut baik-baik, bahkan diajak main-main senjata! Kalian mengganggu aku makan saja!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mencabut cambuknya yang tadi diselipkan di pinggang dan sekali cambuknya berdetak, cambuk itu telah diputarnya dengan gerakan luar biasa cepatnya. Terdengar teriakan-teriakan dan senjata-senjata terpental dan jatuh di atas lantai dengan suara nyaring! Banyak pengeroyok memegangi muka mereka yang telah diberi hadiah oleh ujung cambuk! Ketika semua orang memandang, kakek itu telah lenyap dari dalam kurungan mereka!
Mereka menjadi heran dan bingung. Kemana perginya kakek gila itu? Apakah ia pandai menghilang? Tak mungkin ia dapat pergi dari situ tanpa mereka lihat.
Selagi mereka mencari-cari dan memandang ke sana ke mari, tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dan tahu-tahu semangkok masakan telah terbang dari atas meja dan melayang ke atas! Semua orang memandang ke atas dan ternyata bahwa kakek yang mereka cari-cari itu telah duduk di atas tiang penglari yang paling tinggi dengan kedua kaki ongkang-ongkang dan kini sedang mencoba isi mangkok yang baru saja ia ambil dari atas meja dengan mempergunakan cambuknya yang lihai!
“Hm, kurang sedap, kurang sedap!” katanya setelah makan sepotong masakan dari mangkok itu.
“Udangnya bukan udang dari sungai Huang-ho seperti yang dimasak di dapur kaisar, akan tetapi ini hanya udang sungai Hai-ho!” Kemudian ia melemparkan mangkok itu ke bawah dan karena kini para pengeroyok itu telah berlaku hati- hati, mereka dapat mengelak dari sambaran mangkok itu yang dengan aneh telah jatuh di atas lantai dengan telungkup dan tidak pecah! Akan tetapi, air kuah dari masakan itu yang memercik ke sana ke mari sukar dikelit sehingga pakaian orang-orang yang berada dekat kena noda-noda kecap dan kuah!
Setelah melempar mangkok tadi, kembali cambuk Thian-te Lo-mo menyambar sebuah mangkok lain dan mulai mencicipi isi mangkok dengan enak, tanpa memperdulikan orang-orang yang berada di bawah.
Pangeran Ong Tai Kun merasa marah bukan main melihat lagak kakek itu. Pangeran ini telah terkenal sebagai seorang pangeran yang selain mempunyai kepandaian tinggi, juga mempunyai banyak perwira yang kosen sehingga jarang ada orang berani mengganggunya.
Bahkan dulu ketika Thian-te Lo-mo mengacau di kota raja, kakek itu tidak mengganggunya dan hal ini sebetulnya hanya hal yang kebetulan saja, akan tetapi telah digunakan oleh pangeran Ong Tai Kun untuk menyombong dan menyatakan bahwa Thian-te Lo-mo tidak berani mengganggu gedungnya!
Tidak tahunya, hari ini kakek gila itu datang-datang menggunakan gedungnya untuk tempat bermain-main dan mengganggu semau-maunya di depan sekian banyak pangeran dan pembesar tinggi! Tentu saja ia merasa terhina sekali dan dengan marah ia lalu mengutus seorang perwira untuk minta bantuan perwira dari istana, dan ia sendiri lalu berseru keras,
“Keluarkan am-gi (senjata rahasia) dan serang dia! Panggil barisan panah ke sini!”
Sebetulnya sekian banyak perwira itu tidak ada yang tidak sanggup melompat menyusul ke atas tiang penglari, akan tetapi mereka ngeri untuk melakukan hal ini. Menghadapi kakek sakti itu di atas tiang penglari bukanlah hal yang tidak berbahaya karena sekali mereka kena cambuk dan jatuh dari atas, nyawa mereka sukar ditolong lagi! Kini mendengar usul majikan mereka untuk mempergunakan am-gi, mereka seperti diingatkan dan mereka yang pandai menggunakan senjata rahasia, lalu mengeluarkan am-gi masing-masing.
Ada yang mengeluarkan piauw (besi runcing), ada yang mengeluarkan Bwe-hwa-ciam (jarum bunga bwe) atau senjata rahasia berbentuk paku, uang logam, dan lain-lain. Sebentar saja berhamburanlah senjata- senjata rahasia itu melayang ke arah tubuh Thian-te Lo-mo!
Akan tetapi, dengan enaknya, kedua kaki kakek yang telanjang itu dan yang sedang ongkang-ongkang ke bawah itu, bergerak-gerak seperti anak kecil main-main dan semua senjata rahasia kena ditendang jatuh dan menyambar kembali ke arah penyerangnya! Kepandaian ini benar-benar mentakjubkan sekali dan jarang ada orang berilmu tinggi yang akan sanggup melakukannya!
Thian-te Lo-mo tertawa geli dan cambuknya kembali menyambar dan menangkap sebuah mangkok berisi masakan kacang tanah. Ia tertawa-tawa dan berkata,
“He he he, kalian mengajak main-main dan sambitan-sambitan? Boleh, boleh!” Ia lalu menggenggam kacang dari mangkok itu dan melemparkannya ke bawah! Hujan kacang terjadi dan terdengar teriakan- teriakan kesakitan ketika kacang itu menghujani di atas kepala mereka!
Yang memakai topi masih mending, akan tetapi mereka yang tidak bertopi dan kepalanya telanjang, harus menderita hebat karena kacang-kacang itu jatuh berbunyi “tak-tik-tok” di atas kepala dan terasa amat sakit. Untung bagi mereka bahwa Thian-te Lo-mo tidak mempergunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, jangankan yang bertelanjang kepala, biarpun yang memakai topi tentu akan tembus topinya itu dan kulit kepalanya akan pecah-pecah pula terkena “pelor istimewa” itu!
Orang-orang pada lari cerai berai menjauhi hujan kacang itu dan pada saat itu, seregu barisan panah telah tiba! Akan tetapi sebelum mereka ini dapat bereaksi, tiba-tiba di dalam ruang itu masuk seorang pemuda berpakaian hijau yang tampan dan gagah sekali! Pemuda ini bukan lain ialah Tiong San yang telah kembali dari mengantar Liong Ki Lok dan puterinya sampai di luar tembok kota raja.
Melihat betapa suhunya dikepung dan dikeroyok, Tiong San lalu melepaskan cambuknya dan sekali ia ayun cambuk, lima orang terlilit cambuk dan ketika cambuk disentakkan ke belakang, lima orang itu roboh terguling-guling. Keadaan makin menjadi kacau dan semua orang kini berbalik menghadapi Tiong San yang tersenyum dan berkata, “Guruku sedang menikmati makanan, mengapa kalian mengganggunya?”
“Shan-tung Koay-hiap!” seru Ban Kong yang mengenal pemuda itu dan semua orang kini maju dengan senjata di tangan mengeroyok pemuda itu yang mereka sangka tidak selihai Thian-te Lo-mo! Akan tetapi mereka kecele, karena secepat kilat cambuk Tiong San menyambar dan karena cambuk itu panjang, maka ia dapat mendahului serangan mereka. Ban Kong berteriak kesakitan dan menutup mukanya karena ternyata hidungnya yang besar telah disambar ujung cambuk dan berdarah!
“Anak gendeng!” Thian-te Lo-mo berkata kepada muridnya ketika melihat kedatangan pemuda itu. “Kau mengobrol yang bukan-bukan! Hidangan di rumah pangeran Ong ini sama sekali tidak ada harganya untuk disebut! Mana bisa menyamai masakan dari dapur istana raja?”
“Memang pangeran ini sekarang menjadi pelit dan tidak menghormati tamu!” jawab Tiong San sambil membabat dengan cambuknya sehingga kembali terdengar pekik kesakitan dan kini yang menjadi korbannya adalah seorang perwira lain yang mencoba untuk menyerangnya dengan senjata rahasia. “Ia sekarang hanya memperhatikan urusan menambah selir dengan memaksa orang baik-baik dan sama sekali tidak memperhatikan masakan enak lagi!”
Sementara itu, Lu Goan Ong dengan mata terbelalak dan mulut menganga memandang kepada Tiong San. Ia masih ingat wajah pemuda ini, maka ia segera melangkah maju dan berseru,
“Hai, bukankah kau kawan dari Khu Sin dan Thio Swie?”
Tiong San merasa terkejut sekali mendengar disebutnya dua nama ini, akan tetapi dengan amat pandai ia dapat menyembunyikan perasaannya dan ketika ia memandang kepada pangeran yang bertubuh tinggi besar dan bermata lebar itu, ia teringat bahwa inilah pangeran yang dulu ia jumpai di telaga Tai-hu. Ia tidak mau menjawab, hanya dengan sepasang matanya ia mencari-cari orang yang bernama Ong Tai Kun.
“Aku hendak bertemu dengan pangeran tikus Ong Tai Kun, yang manakah dia?” sambil berkata demikian, ia melangkah maju dengan amat beraninya, berjalan di antara sekian banyak perwira yang tentu saja dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dari kanan kiri atau belakang.
Akan tetapi aneh, sikapnya yang amat berani ini bahkan mendatangkan gentar dalam hati para perwira sehingga tak seorangpun berani menggerakkan tangan. Komandan regu barisan panah hendak menggunakan saat itu untuk mencari jasa, maka ia diam-diam menarik tali busurnya dan hendak menyerang Tiong San.
Akan tetapi tiba-tiba cambuk Thian-te Lo-mo dari atas melayang turun dan busur itu telah terampas! Tiong San sama sekali tidak mau memperdulikan kejadian ini dan membiarkan saja komandan yang terampas busurnya itu berdiri terbelalak dengan muka pucat memandangi busurnya yang telah berada di tangan Thian-te Lo-mo.
“Mana Ong Tai Kun? Harap suka maju!” kata Tiong San kemudian dan ia menyapu semua orang yang berada di situ dengan sudut matanya yang tajam. Akan tetapi tak seorangpun berani membuka mulut. Keadaan sunyi senyap. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara gelak tertawa dari Thian-te Lo-mo yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di atas tiang penglari.
“Ha ha ha! Tuan rumah yang mengeluarkan hidangan-hidangan buruk merasa malu untuk mengaku dan menyatakan dirinya! Ha ha ha, murid gendeng, mengapa kau begitu bodoh? Pangeran Ong telah kuberi tanda dengan cambukan sehingga bajunya bagian punggung telah bolong-bolong tanpa diketahuinya!”
Sebenarnya, hal ini tidak betul dan Thian-te Lo-mo sendiri tidak tahu yang manakah pangeran Ong Tai Kun. Ia hanya bicara sembarangan saja, akan tetapi dalam ucapan ini terkandung kecerdikan yang luar biasa, karena otomatis ketika mendengar ucapan ini, Ong Tai Kun dengan terkejut lalu meraba-raba punggungnya dan ternyata bahwa bajunya tidak bolong sama sekali. Ia juga cerdik dan segera insyaf bahwa ia kena ditipu, dan segera menarik kembali tangannya.