Thian-te Lo-mo dengan tindakan kaki lebar memasuki ruangan dan matanya menyapu semua yang hadir sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Pangeran Ong, mana masakanmu yang paling enak, ayoh keluarkan untukku! Kabarnya hidangan di rumahmu ini lebih lezat dari pada hidangan di dapur kaisar, benarkah ini?” Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri meja pangeran Ong Tai Kun dengan hidung kembang-kempis seakan-akan sedang mencium-cium bau masakan dan menaksir-naksirnya.
Sebetulnya saja Thian-te Lo-mo tidak mempunyai maksud buruk dan kedatangannya memang terdorong oleh keinginan hatinya membuktikan ucapan muridnya bahwa hidangan di rumah pangeran ini lebih enak dari pada hidangan dari dapur kaisar. Akan tetapi tentu saja para pembesar ini, terutama pangeran Ong tidak mempunyai pikiran demikian. Karena kakek ini sudah terkenal sebagai seorang pengganggu kota raja.
Kedatangannya ini mereka anggap sebagai gangguan yang disengaja dan ucapan tentang masakan tadi dianggap sebagai alasan belaka. Oleh karena itu, mereka yang tahu ilmu silat, terutama Ong Tai Kun dan Lu Goan Ong, segera mencabut pedang masing-masing dan mengurung Thian-te Lo-mo.
Pada saat itu, para perwira dengan dikepalai oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang mukanya masing- masing telah digaris merah oleh ujung cambuk Thian-te Lo-mo, memburu ke dalam dan melihat betapa kakek itu kini dikurung oleh para pembesar tinggi, segera memburu dan mengurungnya pula.
“Thian-te Lo-mo orang gila!” teriak Ban Kong. “Kau hendak lari ke mana?” perwira ini terkenal sebagai jagoan kota raja. Tentu saja ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya di depan para pangeran dan pembesar itu. Dan untuk menyembunyikan kekalahannya tadi, ia mengeluarkan bentakan itu dan lalu maju menyerang dengan ruyungnya.
Akan tetapi Thian-te Lo-mo dengan tersenyum mengejek hanya miringkan tubuh mengelak dan tangannya menyambar semangkuk masakan dari meja pangeran Ong. Ia lalu mengempit cambuknya di bawah lengan kanan alias ketiak, memegang mangkuk itu di tangan kiri dan tangan kanannya menggunakan sepasang sumpit gading untuk menjumput sepotong daging dari mangkuk itu terus dimasukkan ke dalam mulutnya dan dikunyah dengan mata meram melek seperti laku seorang ahli masak sedang mencicipi rasanya semacam masakan.
Berkali-kali ruyung Ban Kong menyambar, akan tetapi ruyung itu selalu memukul angin, oleh karena dengan sedikit gerakan saja Thian-te Lo-mo dapat mengelak tanpa melepaskan mangkuknya dan masih mengayem makanan tadi.
Beberapa orang perwira lain maju mengeroyoknya pula sehingga kini Thian-te Lo-mo terpaksa mengangkat tangan kanan yang memegang sumpit untuk menangkis. “Tring! Tring!” Sekali tangkis dengan sumpitnya, tiga golok di tangan perwira-perwira itu terpental ke udara. Akan tetapi perwira lain maju pula mengeroyok.
“Ah, masakan ini tidak sedap! Sama tawar dan hambarnya seperti kalian!” kata Thian-te Lo-mo yang lalu melemparkan mangkuk itu demikian saja ke atas. Akan tetapi tepat sekali mangkuk itu menyambar turun dan jatuh dengan terbalik di atas kepala pembesar itu sehingga merupakan topi aneh di atas kepalanya.
Sedangkan isinya tumpah dan kuah masakan itu mengalir turun di sepanjang mukanya. Karena masakan ini memakai kecap merah, maka kecap yang mengalir di atas hidung dan pipinya merupakan barang cair merah seakan-akan darah memenuhi muka itu.
Pembesar itu yang tidak menyangka sama sekali, menjadi kelabakan karena kedua matanya juga terkena kuah masakan itu sehingga tak dapat dibuka lagi karena pedas dan ia lalu menggunakan kedua tangan meraba-raba sana-sini dan berlari menabrak ke kanan-kiri!
“Ha ha ha!” Thian-te Lo-mo tertawa. “Memang kalian orang-orang gila dan masakan tadi sama sekali tidak enak!” Ia mengulur tangan menyambar lain mangkuk di meja sebelah kanan. Akan tetapi pada saat ia mengulurkan tangan, Ong Tai Kun yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi, segera melompat dan menyabetkan pedangnya ke arah tangan yang terulur itu! Inilah gerakan yang disebut Ceng-liong-kian-wi (Naga hijau kibaskan buntut) yang dilakukan cepat sekali sehingga agaknya tangan kakek yang gemar masakan enak itu akan terpotong oleh pedang pangeran Ong!
Akan tetapi, gerakan tangan kakek itu benar-benar mengagumkan. Ketika pedang telah menyambar dekat sekali, tiba-tiba tangannya dibalikkan dan kini bahkan melakukan serangan menotok ke arah pergelangan tangan pangeran Ong yang memegang pedang. Totokan yang dilakukan secara sembarangan ini adalah ilmu tiam-hoat (menotok jalan darah) Coat-meh-hoat, yakni cara menotok tanpa mencari urat tertentu yang diajarkan oleh cabang Bu-tong-pai.
Totokan macam ini, biarpun tidak mengenai urat-urat tertentu seperti Tiam-hwe-louw, ilmu totok dari Siauw- lim-pai, akan tetapi cukup dapat membuat bagian yang tertotok menjadi lumpuh untuk beberapa lama, tergantung dari kekuatan yang tertotok. Memang kelihaiannya tidak seperti ilmu totok Siauw-lim-pai yang mencari jalan-jalan darah tertentu akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai serangan tiba-tiba dalam membela diri.
Melihat gerakan ini, Ong Tai Kun terkejut sekali. Ia telah memiliki kepandaian cukup tinggi, maka tentu saja ia tidak sudi dikalahkan dengan cara yang begitu saja, maka cepat ia menarik kembali pedangnya dan ketika Thian-te Lo-mo melanjutkan maksudnya semula, yakni mengambil mangkuk itu, ia lalu membarengi dengan serangan Yan-cu-liak-sui (Burung walet sambar air), pedangnya berkelebat menyambar ke arah leher kakek yang sedang mengambil mangkuk itu,
Dan pada saat itu juga, Ban Kong dari lain jurusan juga telah memukulkan ruyungnya ke arah kepala Thian-te Lo-mo dengan kekuatan luar biasa besarnya. Serangan dua orang kosen yang dilakukan sekali gus ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan dan bagi ahli silat yang belum sempurna sekali kepandaiannya, akan sukarlah menghindarkan diri dari bencana ini. Apalagi kalau ia sedang memegang mangkuk dengan tangan kiri dan tangan kanannya sedang mengerjakan sepasang sumpit untuk menjumput masakan itu.
Akan tetapi, ketika Thian-te Lo-mo sedang mengerjakan sumpitnya di dalam mangkuk, tiba-tiba dua potong bakso yang banyak terdapat di dalam mangkuk itu, mencelat ke kanan kiri dan menyambar mata pangeran Ong dan Ban Kong! Kejadian ini terjadi cepat sekali dan tidak terduga-duga lebih dulu. Kecepatan sambaran bakso yang bundar itu ternyata lebih cepat dari pada sambaran senjata pedang dan ruyung sehingga sebelum kedua senjata itu mengenai sasaran, bakso tadi telah mendahului menyambar mata mereka.
Ong Tai Kun dan Ban Kong yang tidak melihat gerakan sumpit Thian-te Lo-mo, menjadi terkejut sekali karena mengira bahwa benda yang menyambar mata mereka itu adalah senjata rahasia yang berbahaya maka sambil berseru keras, mereka menjatuhkan diri ke samping untuk mengelak sehingga otomatis senjata mereka ikut ditarik kembali dan penyerangan mereka gagal!
Bakso yang menyambar mata pangeran Ong dapat dikelit dan menyambar tembok hingga hancur berantakan. Akan tetapi bakso yang menyambar Ban Kong, ketika dikelit oleh perwira itu, menyambar ke arah seorang perwira yang tinggi besar dan yang berdiri di belakang Ban Kong. Perwira itu sedang berteriak-teriak mengajak kawan-kawannya.
“Ayoh, keroyok beramai-ramai! Ayoh hepp!!”
UCAPANNYA terhenti tiba-tiba dan matanya melotot bagaikan hendak melompat keluar dari rongga matanya karena pada saat itu sebutir bakso yang tadinya dikelit oleh Ban Kong, dengan tepat sekali memasuki mulutnya yang sedang terbuka ketika ia hendak berkata ”maju” dan bakso itu dengan kecepatan luar biasa telah datang memasuki mulut dan terus menyerbu ke dalam sehingga mengganjal kerongkongannya!
Kedua mata orang tinggi besar ini menjadi berputar-putar, mendelik dan mulutnya terbuka, lehernya dipanjang pendekkan dalam usahanya untuk menelan masuk atau mengeluarkan kembali bakso yang mengganjal tenggorokannya itu seperti laku seekor ayam terkena penyakit sawan! Ia berlari ke sana ke mari, menyambar secawan arak dari meja dan menuangkan arak itu ke dalam mulut dengan maksud mendorong bakso yang nakal itu ke dalam perut. Akan tetapi, karena masuknya bakso itu bukan masuk sewajarnya, akan tetapi tak terduga-duga dan paksaan, maka tidak mudah dikeluarkan sehingga arak itu tak dapat mengalir masuk ke dalam perut dan tertumpah kembali keluar dari mulutnya!
Karena terlalu lama napasnya tertahan oleh bakso itu, si perwira mulai gelisah dan mukanya menjadi biru serta kedua matanya makin besar saja. Kawan-kawannya sudah berusaha menolongnya dengan memukul-mukul punggungnya, akan tetapi sampai punggungnya terasa sakit, bakso yang bandel itu tetap tidak mau melompat ke dalam atau keluar.
Thian-te Lo-mo tertawa berkakakan melihat ini dan berkata,
“Ong-ya, ternyata masakanmu tidak sehebat yang dikabarkan orang! Lihat, baksomu demikian liat sehingga perwira itu tidak dapat mengunyahnya dan sekarang bersarang di kerongkongan! Ha ha ha!”
Ong Tai Kun merah mukanya karena marah. Ia melangkah lebar ke arah perwira itu, lalu mengambil sebatang sumpit, menyuruh perwira itu berlutut dan dengan cepat ia menusukkan sumpit tadi ke dalam mulut perwira yang masih terbuka.
Terdengar suara “kek” dan bakso itu didorong dengan paksa memasuki perut si perwira! Perwira itu merasa agak sakit kerongkongannya, akan tetapi kini ia selamat karena bakso yang nakal itu telah terdorong masuk ke dalam perut. Ia dapat bernapas lagi terengah-engah dan berlutut di depan Ong Tai Kun untuk menyatakan terima kasihnya, sedangkan para perwira lain tak dapat menahan kegelian hati mereka dan tersenyum diam-diam.
Pangeran Ong Tai Kun tak dapat menahan marahnya. Ia menudingkan pedangnya kepada Thian-te Lo-mo dan membentak,
“Thian-te Lo-mo! Kau berani menghina gedungku. Apakah kau kira kami tak dapat membasmi kau pengacau hina dina ini?” Setelah berkata demikian, ia lalu mengerahkan semua perwiranya untuk menyerang! Serangan itu datangnya seperti hujan, karena yang menyerang dan mengeroyok kakek itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang yang berkepandaian tinggi!
Sibuk juga Thian-te Lo-mo menghadapi serangan ini, karena biarpun serangan itu masih dapat ia hadapi dengan seenaknya, yakni dengan memutar-mutar sepasang sumpit di tangan kanannya, akan tetapi hal ini membuat ia tidak dapat menikmati masakan-masakan yang hendak dicicipinya itu!