Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 21

NIC

“Kalau begitu .... tentu ..... setan yang .... yang ...” Belum habis kata-kata diucapkan, mereka sudah lari keluar dari kamar dengan bulu tengkuk berdiri, untuk melaporkan hal yang aneh itu kepada majikan mereka.

Sementara itu, sambil tertawa-tawa gembira, Tiong San kembali mencari suhunya sambil membawa dua stel pakaian warna hijau dan merah. Tadi ia telah mempergunakan kepandaiannya dan dengan ujung cambuk ia dapat mengambil bungkusan itu melalui jendela tanpa terlihat oleh dua pelayan dan setelah mengambil pakaian hijau itu. Ia melihat satu stel pakaian merah. Ia teringat bahwa suhunya suka akan warna merah. Buktinya tiap kali melihat ikan merah, selalu diusahakannya agar tertangkap. Maka ia lalu mengembalikan bungkusan dengan cara yang sama, tanpa diketahui oleh dua pelayan itu. “Suhu, suhu!” serunya dengan suara girang ketika melihat suhunya telah menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil mendengkur. Biasanya ia tidak mau mengganggu suhunya. Akan tetapi kali ini ia terlampau girang hingga ia tidak dapat menahan kegembiraan hatinya dan memanggil-manggil suhunya yang sedang tidur.

Ketika Thian-te Lo-mo membuka matanya, Tiong San memperlihatkan dua stel pakaian itu sambil berkata, “Suhu, lihat, bukankah indah sekali pakaian ini? Satu untuk teecu dan satu untuk suhu!”

“Apa? Kau mau suruh aku memakai pakaian seperti orang-orang gila?”

“Kalau suhu tidak mau memakai pakaian ini, teecu pun tidak mau memakainya.” “Kenapa begitu?”

“Karena seorang murid hanya mencontoh suhunya saja. Apa yang suhu lakukan, harus murid lakukan pula. Juga, sudah menjadi kebiasaan bahwa untuk makan hidangan lezat-lezat, orang harus mengenakan pakaian baru, baru kelezatan itu terasa benar!” Kata-kata yang terakhir ini hanyalah merupakan akal bujukan Tiong San saja agar suhunya suka memakai pakaian itu.

Thian-te Lo-mo tertawa gembira dan ia lalu mengambil pakaian warna merah berkembang itu. “Aku mau pakai yang ini biar kelihatan seperti ikan emas!”

Guru dan murid lalu mengenakan pakaian indah itu. Thian-te Lo-mo kelihatan lucu dan lebih gila dari pada biasanya ketika ia mengenakan pakaian warna merah berkembang itu! Ia senang sekali dan memandangi pakaian yang dipakainya seperti seorang anak kecil memakai pakaian baru. Adapun Tiong San setelah mengenakan pakaian indah itu, tiba-tiba teringatlah ia akan masa dulu dan timbul pula sifat pesolek yang terdapat dalam dada tiap orang muda. Pakaian itu memang pantas sekali dan kebetulan ukurannya cocok benar.

“Suhu, teecu hendak mencari sepatu dulu!”

“Boleh, boleh, pergilah! Akan tetapi jangan kau harap akan dapat memaksaku memakai sepatu. Kakiku akan menjadi sakit-sakit rasanya kalau terkurung dan disiksa dalam sepatu!”

Kembali terjadi keanehan di antara para pelancong di telaga Taming. Seorang pelancong sedang enak- enak duduk di atas bangku di pinggir danau dan menikmati pemandangan indah. Tiba-tiba merasa betapa kedua kakinya yang tergantung dari bangku dibetot orang sehingga ia hampir jatuh dan ketika ia melihat ke arah kedua kakinya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak karena sepasang sepatunya yang tadi dipakainya kini telah lenyap tanpa diketahui siapa yang telah mencabut dari kakinya.

Tak lama kemudian, nampaklah seorang pemuda yang tampan sekali dengan pakaian warna hijau muda, sepatu biru dan rambutnya diikat dengan pita merah, berjalan cepat bersama seorang kakek yang berpakaian merah berkembang berkaki telanjang dan rambutnya yang panjang awut-awutan di atas pundak! Mereka ini adalah Tiong San dan Thian-te Lo-mo yang berjalan cepat menuju ke kota raja.

Tiong San benar-benar merupakan seorang pelajar yang cakap dan aneh, karena biarpun pakaiannya seperti seorang pelajar tulen, akan tetapi pada pinggangnya tergantung sebatang cambuk panjang yang digulung dan gerak-geriknya cepat dan gagah, tidak seperti pelajar yang biasanya lemah dan halus. Sebaliknya, Thian-te Lo-mo yang biasanya lebih menyerupai seorang pengemis gila, kini seperti seorang pembesar yang kaya raya dan yang tiba-tiba menjadi gila. Pakaiannya yang merah indah itu sama sekali tidak sesuai dengan rambutnya yang awut-awutan dan kakinya yang telanjang.

********************

Liong Ki Lok dang Liong Bwee Ji tiba di kota raja. Dengan perasaan berat guru silat itu mengantar anak perempuannya ke gedung pangeran Ong Tai Kun yang besar dan luas pekarangannya. Kedatangannya disambut oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri dan lima orang perwira-perwira lain. “Aha! Akhirnya kau menyerah juga, Liong-kauwsu!” kata Ban Kong sambil tersenyum simpul. “Kau berlaku pintar kalau mau menurut dengan baik-baik, karena orang yang menentang kehendak Ongya adalah sebodoh-bodohnya orang!”

Karena merasa segan untuk bicara dengan perwira ini, Liong Ki Lok dan Bwee Ji tidak menjawab, hanya memandang dengan mata mengandung kebencian besar.

“Atau salahkah terkaanku?” kata Ban Kong pula melihat sikap mereka. Apakah kalian datang hendak memberi kartu undangan? Apakah kau benar-benar telah mendapatkan calon menantumu, orang she Liong?”

Pada saat Liong Ki Lok hendak menjawab, tiba-tiba Bwee Ji yang membuang muka ke belakang, melihat datangnya dua orang yang berlari-lari masuk ke pekarangan itu. Ia lalu memegang tangan ayahnya erat- erat, dan berbisik, “Ayah ..... dia datang !”

“Dia siapa ?” Ayahnya bertanya dan menunda maksudnya untuk menjawab pertanyaan Ban Kong.

“Shan-tung Koay-hiap! Dia datang!” suara Bwee Ji setengah bersorak, biarpun dikeluarkan dengan perlahan, membuat ayahnya juga menengok ke belakang. Benar saja, ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian hijau dan seorang kakek berpakaian merah. Biarpun tadinya ia merasa ragu-ragu dan pangling melihat mereka berdua ini, akan tetapi setelah memperhatikan, ia mengenal wajah Tiong San yang cakap.

Dalam keadaannya yang terdesak, Liong Ki Lok lalu mengambil keputusan nekat.

“Tai-ciangkun,” katanya kepada Ban Kong. “Memang aku telah mendapat menantu, dan menantuku adalah Shan-tung Koay-hiap yang sekarang telah datang kesini!” Ia menunjuk ke arah dua orang yang kini telah memasuki pekarangan dan berjalan menuju ke pintu di mana mereka berdiri.

Ban Kong memandang dan mukanya menjadi pucat.

“Dia ..... mereka...... datang .....!” Kemudian ia berpaling kepada kawan-kawannya dan berkata. “Awas, yang datang adalah Thian-te Lo-mo dan muridnya. Panggil kawan-kawan!” Ia sendiri lalu mengeluarkan ruyungnya, diikuti oleh kawan-kawannya yang segera mencabut pedang. Seorang di antara mereka lari ke dalam untuk memanggil kawan-kawan untuk mengepung dan mengeroyok kakek gila yang mereka takuti itu.

Ketika Tiong San dan suhunya tiba di kota raja, pemuda itu memang segera mengajak suhunya menuju ke gedung pangeran Ong. Karena maksudnya yang terutama pergi ke kota raja adalah ingin menolong Liong Ki Lok dan yang kebetulan sekali mereka jumpai pada saat yang tepat di pekarangan gedung itu. Maka mereka lalu berhenti di dekat mereka dan Thian-te Lo-mo memandang gedung besar itu sambil tersenyum- senyum karena ia teringat akan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika ia main-main di kota raja dan mencuri cap-cap pangkat para pembesar dan pangeran!

“Shan-tung Koay-hiap, apakah benar bahwa gadis ini adalah isterimu?” Ban Kong bertanya kepada Tiong San sambil menunjuk kepada Bwee Ji. Perwira ini memandang dengan kagum dan heran kepada Tiong San yang dulu seperti seorang pemuda gila yang jembel, sekarang ternyata merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Ditanya begitu, Tiong San tanpa terasa lalu berpaling memandang kepada Bwee Ji yang memandangnya dengan muka merah berseri dan menggigit bibir. Kemudian pemuda itu memandang ke arah Liong Ki Lok yang memandangnya dengan mata penuh permohonan tolong. Ia lalu menghadapi Ban Kong lagi dan menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.

“Andaikata betul maupun tidak, kau perduli apa? Dengarlah, nona ini tidak boleh menjadi korban pangeran Ong, habis perkara!” Semua orang merasa heran mendengar suara Tiong San yang halus dan sopan, karena dulu mereka tidak melihat sikap seperti ini pada pemuda itu.

Ban Kong maklum bahwa pemuda ini memang sengaja datang untuk melindungi gadis itu, maka ia mengangkat-angkat ruyung tinggi-tinggi dan membentak. “Penjahat muda, jangan kira kami takut kepadamu! Kalau kau memang suami nona itu, akuilah saja terus terang akan tetapi kalau bukan, jangan kau ikut mencampuri urusan orang lain!” “Ban-ciangkun,” tiba-tiba Liong Ki Lok berkata. “Shan-tung Koay-hiap adalah menantuku, mengapa kau masih mendesak terus? Apakah kau sengaja mencari perkara permusuhan?”

Ban Kong tertawa mengejek dan memandang kepada Tiong San sambil berkata, “Benarkah kata-katanya itu? Bilakah kau menikah dengan nona manis ini?”

Tiong San juga tertawa dan menjawab, “Mertuaku sudah bicara mau apa lagi?”

Ban Kong berseru marah. “Kalau begitu kau harus mampus!” Ruyungnya menyambar maju, akan tetapi tiba-tiba ruyung itu berhenti ditengah udara dan tahu-tahu telah terlepas dari pegangannya. Ruyung itu ternyata telah dilibat oleh cambuk panjang yang sudah berada di tangan Thian-te Lo-mo.

“Ha ha ha! Perwira gendeng dan gila!” ia memaki sambil membanting ruyung yang dirampasnya itu ke atas tanah. “Menyambut pengantin sama dengan menyambut tamu agung! Kalau muridku menjadi pengantin, akupun seorang mempelai! Kau tidak menyambutku dengan hidangan-hidangan yang terkenal lezat dari dapur pangeran Ong. Akan tetapi menyuguh kami dengan ruyung! Kau benar-benar gila dan tak patut diangkat menjadi penyambut tamu agung! Aku akan ambil sendiri hidangan-hidangan itu!” Sambil berkata demikian, Thian-te Lo-mo lalu melangkah lebar menuju ke pintu gedung untuk menerjang ke dalam.

Ban Kong menjadi terkejut dan khawatir sekali melihat betapa kakek gila itu hendak menyerbu ke dalam gedung, oleh karena pada waktu itu Ong Tai Kun si pangeran bersama beberapa orang pembesar lain sedang berpesta di ruang dalam. Maka ia lalu berseru keras.

“Orang gila, kau hendak berbuat apa?” lalu ia maju diikuti oleh kawan-kawannya, sedangkan pada saat itu, dari dalam muncul banyak perwira-perwira lain yang tadi diberi tahu. Sebentar saja Thian-te Lo-mo telah dikurung oleh belasan orang perwira yang bersenjata tajam, sedangkan Ban Kong sudah mengambil ruyungnya yang tadi dilempar ke atas tanah oleh kakek itu.

“Ha ha ha! Kalian anjing-anjing penjilat sebelum mengeluarkan hidangan untukku minta diberi hadiah dulu! Baik, baik, ini aku beri hadiah sama rata, seorang satu!”. Cambuknya berbunyi berdetak-detak dan menyambar-nyambar di udara dan biarpun semua perwira itu memutar pedang dan golok untuk menyerbu dan melindungi diri, tak urung sekalian senjata itu sekali terpukul ujung cambuk telah beterbangan dan terlepas dari pegangan mereka. Hal itu lalu disusul oleh teriakan-teriakan mereka karena muka mereka masing-masing telah tersambar oleh ujung cambuk sehingga pada muka tiap orang perwira terdapat garis merah biru akibat sabetan cambuk!

Posting Komentar