Halo!

Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 20

Memuat...

“Dia seorang aneh berilmu tinggi, mana mau memperdulikan kita, ayah ...” kata Bwee Ji dengan suara memilukan.

“Ah, kalau saja ia suka menjadi suamimu, ah hidup kita akan terjamin keselamatannya. Kalau saja ia

tidak gila, tentu ia akan suka melihat kau, anakku ”

“Ayah ” kata Bwee Ji dengan hati sedih sekali dan menyesali nasib dirinya yang amat malang.

Mereka lalu menuju ke dusun Bi-lu-siang dan ketika Liong Ki Lok menceritakan peristiwa yang terjadi kepada isterinya, wanita itu menubruk Bwee Ji dan menangis dengan sedih. Mereka bertangis-tangisan dan menyebut nama Thian. Akan tetapi, apakah yang dapat mereka lakukan?

“Jangan, anakku!” nyonya itu mengeluh sambil menangis. “Jangan kau pergi kepada iblis itu. Suamiku, mengapa tidak mengambil jalan lain? Lebih baik sekarang juga kita pergi bersama melarikan diri dan bersembunyi di tempat jauh!”

Liong Ki Lok menggelengkan kepalanya dengan hati kusut. “Tidak ada gunanya. Kita telah diikuti selalu, bahkan tempat inipun telah diketahui. Apa artinya melarikan diri? Akibatnya, kita semua akan binasa!”

“Aku tidak takut mati!” teriak isterinya. “Dari pada Bwee Ji celaka, lebih baik aku mati lebih dulu!”

“Apakah kau hanya mengingat diri sendiri dan tidak memperhatikan nasib dua orang puteramu?” suaminya menegur dan nyonya itu memeluk dua orang anaknya yang masih kecil sambil menangis semakin sedih.

“Ini semua gara-gara binatang she Ma yang dulu mengantar anaknya itu!” kata Liong Ki Lok sambil mengepal tinju. “Kelak, dalam pembalasan sakit hati, sebelum melenyapkan pangeran Ong dan kaki tangannya, lebih dulu akan kupecahkan kepala binatang she Ma itu!”

Dan pada keesokan harinya, Liong Ki Lok bersama puterinya berangkat ke kota raja setelah memesan kepada isterinya supaya menunggu di situ. Karena setelah mengantar puterinya ke gedung pangeran Ong, ia akan segera datang kembali dan mengajak mereka pergi ke tempat jauh.

Keberangkatan Bwee Ji di antar dengan tangis dan ratap sedih dari ibunya sehingga ketika akhirnya gadis itu berangkat, nyonya itu roboh pingsan membuat sibuk pamannya yang segera menolongnya.

Bwee Ji mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung. Rambutnya awut-awutan tidak terurus. Akan tetapi ia bahkan nampak makin manis dalam pakaian yang sederhana sekali itu

********************

Baik kita tinggalkan dulu perjalanan ayah dan anak yang dilakukan dengan hati berat dan hancur itu, karena Liong Ki Lok merasa betapa ia mengantar puterinya menuju jurang kematian, dan marilah kita menengok sebentar ke belakang, ke tempat Tiong San dan Thian-te Lo-mo yang meninggalkan tepi danau Taming setelah menghabiskan ikan panggang dan membikin kecewa hati Liong Ki Lok dan puterinya.

“Suhu, pernahkah kau pergi ke kota raja?” tiba-tiba Tiong San bertanya sambil menahan kakinya. Suhunya juga berhenti dan tertawa. “Tentu saja pernah, aku pernah tinggal sehari semalam di dalam dapur istana kaisar dan menikmati semua hidangan yang lezat-lezat. Ha ha ha! Semua hidangan sebelum diantarkan kepada kaisar, lebih dulu kucicipi rasanya!” Ia nampak gembira sekali teringat akan hal ini sehingga tiada hentinya tertawa terkekeh-kekeh.

“Apa kau tidak ingin mencicipi hidangan-hidangan lezat itu lagi, suhu?”

Tiba-tiba Thian-te Lo-mo menghentikan suara ketawanya dan memandang kepada muridnya dengan mata berputar-putar. “Anak gendeng, kau ingin pergi ke kota raja! Ha ha, benar, kau ingin pergi ke kota raja!”

Biarpun suhunya dapat menduga dengan tepat sekali, namun Tiong San tidak memperdulikan, bahkan bertanya lagi. “Suhu, kenalkah kau kepada seorang pangeran she Ong yang tinggal di kota raja?”

“Banyak pangeran-pangeran gila di kota raja telah kudatangi rumahnya, entah ia she apa aku tidak tahu!”

“Suhu, kabarnya pangeran she Ong itu mempunyai hidangan-hidangan yang paling enak di kota raja! Bahkan, masakan-masakan yang biasanya dimakan oleh kaisar, kabarnya tidak melawan kelezatan masakan-masakan yang biasa dimakan oleh pangeran Ong!”

“Mana mungkin? Masakan-masakan untuk kaisar yang paling enak!” kakek itu mengangguk-angguk. “Apakah kau pernah mencicipi masakan di dapur pangeran Ong, suhu?”

Sambil membelalakkan matanya, Thian-te Lo-mo menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu, bagaimana suhu dapat menentukan bahwa masakan di istana kaisar yang paling enak? Ha ha, suhu benar-benar tidak pandai!”

Kakek itu nampal melenggong. “Kau benar, aku harus mencicipi dulu sebelum memberi kepastian ...” Kemudian ia tertawa lagi terbahak-bahak. “Ha ha ha! anak gendeng, kau hendak mengajak aku ke kotaraja. Ha ha!”

Diam-diam Tiong San merasa kagum akan kecerdikan suhunya yang walaupun pikirannya tak keruan kerjanya, akan tetapi mempunyai kecerdikan yang melebihi orang waras.

“Benar, suhu. Teecu ingin sekali pergi ke kota raja.”

“Kau gila! Di kotaraja penuh dengan orang-orang gila yang berbahaya.” “Tidak apa, suhu. Gila bertemu gila, bukankah sudah cocok?”

“Ha ha ha, boleh, boleh! Akan tetapi .....” ia memandang kepada muridnya dengan tajam dan melihat pakaian yang melekat ditubuh Tiong San, pakaian yang hanya patut disebut setengah pakaian karena tinggal pendek saja, “Pakaianmu itu buruk sekali!”

“Tak lebih buruk dari pada pakaian yang dipakai suhu.”

Thian-te Lo-mo memandang kepada pakaiannya sendiri, lalu ia berkata, “Orang-orang kota raja pakaiannya indah-indah!” Ia mengangguk-angguk. “Kau seorang sastrawan, mengapa pakaianmu begitu? Ayo, kau cari pengganti pakaian yang indah, kalau tidak aku tidak mau membawamu ke kota raja!” Sambil berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya seakan-akan mengusir perginya muridnya. Dengan tertawa terkekeh-kekeh Tiong San lalu pergi meninggalkan suhunya sambil berkata,

“Suhu tunggu saja, teecu akan mencari pengganti pakaian yang indah-indah.”

Ia berlari ke sebuah rumah di dekat danau Taming. Rumah ini adalah sebuah rumah tempat beristirahat seorang berpangkat yang kaya raya. Dengan mempergunakan kepandaiannya, ia dapat memasuki rumah itu dari atas genteng tanpa dilihat seorangpun. Ia mengintai dan melihat dua orang pelayan sedang membungkus pakaian dan barang-barang lain oleh karena majikan mereka hendak kembali ke kota setelah puas berperahu di atas danau. “Kau lihat, alangkah halus dan indahnya pakaian kongcu ini! Katanya terbuat dari pada sutera dari selatan yang amat mahal!” kata seorang di antara mereka yang lalu mengeluarkan satu stel pakaian warna hijau muda. “Coba kau lihat, pantas tidak aku memakai pakaian ini!” Ia lalu mengenakan pakaian itu sehingga nampak gagah karena pakaian itu adalah pakaian seorang pemuda kaya raya yang indah.

“Bukankah aku pantas menjadi seorang siucai (pelajar) yang pandai dan hartawan?” tanyanya kepada kawannya, sambil memutar-mutar tubuhnya.

“Kau seperti orang gila!” kata kawannya. “Mukamu yang buruk itu sama sekali tak pantas memakai pakaian ini! Ayo lekas kau buka lagi, kalau ketahuan oleh kongcu, kau akan dipukul!”

Sementara itu, Tiong San suka sekali melihat pakaian pelajar yang dipakai oleh pelayan tadi. Memang semenjak dulu, Tiong San suka kepada pakaian warna hijau. Ia melihat betapa pakaian itu dilipat baik-baik kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bungkusan. Lalu kedua pelayan itu membereskan barang-barang lain. Ketika seorang di antara mereka menengok, ia menjadi terkejut dan bertanya,

“Eh eh, mana bungkusan pakaian tadi?”

Kawannya juga terheran-heran. “Bukankah tadi di sini?” Ia menuding ke arah tempat bungkusan tadi terletak, “Atau kau telah memindahkannya tanpa kau sadari?” Mereka mencari-cari di sekeliling kamar itu, akan tetapi tidak mendapatkan bungkusan itu. Tiba-tiba, orang yang tadi mencoba pakaian hijau, memandang dengan mata terbelalak dan berseru,

“Itu dia!”

Kawannya berpaling dan melihat bungkusan yang hilang tadi telah berada di tempatnya kembali! “Lho! Kenapa tadi tidak ada di situ?”

“Entah, tadi memang tidak ada di situ?”

KEDUANYA memandang heran tanpa berani mendekati bungkusan itu dan saling pandang dengan muka pucat. Akhirnya mereka memberanikan hati dan mengambil bungkusan itu lalu membukanya untuk memeriksa, dan dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa pakaian warna hijau yang dibicarakan tadi beserta sestel pakaian merah telah lenyap!

“Pakaian kongcu hilang!” teriak yang mencobanya tadi. “Juga pakaian merah taijin lenyap!” seru kawannya. “Siapa yang ambil?”

“Tak mungkin orang bisa ambil. Bukankah semenjak tadi kita berada di sini?” “Kalau begitu ?”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment