Halo!

Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 35

Memuat...

“Sabar, Lokai, anak ini masih belum tahu apa-apa !” Dan dengan cepatnya ujung lengan bajunya menangkis pedang Siauw Eng hingga gadis itu merasa telapak tangannya tergetar. Dengan nekad ia menyerang terus akan tetapi ia seakan-akan menghadapi bayangannya sendiri, sama sekali tak mampu melukai atau menjatuhkannya.

Ternyata ilmu kepandaian hwesio yang halus tutur sapanya itu masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Siauw Eng mulai menjadi gugup setelah menyerang selama lima puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak, dan pada suatu saat ketika ia menyerang dengan ganas ke arah lambung hwesio itu, tahu-tahu ujung lengan baju Sian Kong Hosiang yang panjang itu telah membelit pedangnya dan sekali betot saja pedangnya telah kena rampas.

Siauw Eng berdiri bingung dan malu, akan tetapi Sian Kong Hosiang lalu melemparkan pedang itu dengan gagangnya lebih dulu ke arah Siauw Eng. “Terimalah kembali pedangmu dan kau pulanglah, nona !” kata hwesio itu. Suaranya tetap halus dan sabar dan sedikitpun tidak mengandung ejekan hingga Siauw Eng merasa malu dan menyesal. Tanpa mengeluarkan kata-kata sesuatu ia lalu melompat pergi dari genteng kuil dan lari secepatnya menuju ke kota.

Akan tetapi baru saja ia melompat turun dari genteng, sesosok bayangan putih telah menghampirinya dari depan dan menegur, “Kau pulang dari manakah ?”

Siauw Eng terkejut dan berhenti. Ternyata bahwa orang itu adalah Cin Pau yang juga pergi dengan maksud menyelidiki keadaan kuil Thian Lok Si. “Kau Cin Pau ?” kata Siauw Eng dengan heran.

Berdebarlah hati Cin Pau karena gadis ini memanggil namamya seakan-akan mereka telah lama menjadi kenalan baik. Maka iapun melenyapkan rasa sungkan dan malu, lalu menjawab,

“Siauw Eng, tak kusangka kau berada pulka di sini. Aku bermaksud menyelidiki kuil Thian Lok SI.” “Jangan !” Dia berbahaya dan lihai sekali !” jawab nona itu.

“Siapa dia ?” tanya Cin Pau heran.

“Ketahuilah, baru saja akupun pergi menyelidiki kuil Thian Lok Si dan bertemu dengan seorang hwesio jahat seperti setan. Akan tetapi dia ini belum dapat dikatakan tinggi ilmu silatnya karena mungkin kau atau aku dapat menghadapinya, akan tetapi ketuanya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya. Mungkin guru-guruku baru setanding untuk menghadapinya.”

Dengan singkat Siauw Eng menceritakan pengalamannya dan diam-diam Cin Pau terkejut juga, karena kalau hwesio itu dapat menghadapi Siauw Eng dengan tangan kosong selama lima puluh jurus bahkan telah merampas dan mengembalikan pedang gadis ini, tentu ia memiliki kepandaian yang tak boleh dibuat gegabah.

Keduanya lalu mencari kuda Siauw Eng dan segera kembali ke kota raja. Di sepanjang jalan mereka bercakap-cakap seakan-akan mereka telah menjadi kenalan baik dan melihat sikap Siauw Eng yang sama sekali tidak malu-malu itu, diam-diam Cin Pau mempunyai anggapan lain. Kalau dulunya ia menganggap Siauw Eng sombong dan galak, sekarang dianggapnya gadis itu jujur dan sopan, bahkan menarik hati sekali.

Setelah Siauw Eng pergi, Sian Kon Hosiang menghela napas dan berkata kepada hwesio muka hitam itu, “Lokoai, sungguh jahat sekali perwira she Can itu. Ia telah menghasut semua orang gagah untuk memusuhi kita.”

Dengan muka bersungut-sungut si muka hitam itu berkata, “Salahmu sendiri, sute. Telah berkali-kali kukatakan bahwa manusia jahat seperti Can Kok itu harus dilenyapkan dari muka bumi agar jangan membuat kekacauan lagi, akan tetapi kau selalu melarang. Dia menaruh dendam semenjak kukalahkan dulu ketika ia mengejarmu dan karena ia agaknya tahu pula bahwa kau adalah pemuda yang dulu dikejar-kejarnya, maka tentu saja ia takkan berhenti sebelum menghancurkan kita sebagai pembalasan dendam. Kalau kau suka, malam ini juga aku dapat pergi ke rumahnya dan menghabiskan nyawanya yang kotor itu.”

Sian Kong Hosiang menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, “Bukan demikianlah jalan keluar yang harus diambil oleh orang-orang yang membersihkan batin seperti kita, Lokoai !”

“Ah, kau lebih sabar dan sulit dari pada Pek Seng Suhu !” Sambil bersungut-sungut akan tetapi tidak berani membantah, si muka hitam lalu mengiringkan sutenya itu melompat turun dari atas genteng. “Besok kalau mereka datang menyerang, apakah kau juga tidak hendak melawan ?”

“Bagaimana besok sajalah. Kita hanya membela diri dan baru turun tangan apabila mereka mengganggu,” jawab Sian Kong Hosiang dengan sabar akan tetapi tetap.

Hwesio muka hitam yang disebut Lokoai ini memang adalah hwesio yang dulu mengalahkan Can Kok. Dia mempunyai riwayat hidup yang cukup menarik. Sebelum ia menggunduli kepalanya dan masuk menjadi hwesio, namanya adalah Li Song Ek dan ia terkenal sebagai seorang perampok yang kejam dan ganas serta memiliki ilmu silat tinggi.

Pada suatu hari, di dalam hutan yang menjadi daerah operasinya, kebetulan sekali lewat Bu Eng Cu Tiauw It Lojin. Li Song Ek tidak kenal kepada orang tua ini dan turun tangan merampoknya, akan tetapi ia ternyata telah menemui batu. Dengan mudah saja Bu Eng Cu telah menjatuhkannya. Kepala perampok yang bermuka hitam dan yang amat menyombongkan kepandaian sendiri ini tentu saja merasa penasaran sekali mengapa seorang kakek dengan tangan kosong mudah saja menjatuhkannya dalam dua tiga jurus. Berkali-kali, ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi kesudahannya hebat. Tiap kali ia menyerang selalu ia terjungkal. Akhirnya dia menyerah dan berlutut di depan Bu Eng Cu Tiauw It Lojin, mohon menjadi muridnya.

Bu Eng Cu Tiauw It Lojin kasihan melihat orang kasar yang telah menjalani cara hidup sesat ini. Ia melihat bahwa orang ini pada hakekatnya jujur dan tidak jahat, bahkan memiliki bakat cukup baik dalam ilmu silat. Maka ia lalu mengajukan syarat bahwa apabila Li Song Ek mau bertobat dan suka menjadi hwesio, ia mau mengampuninya dan memberi pelajaran silat. Karena hatinya telah tetap dan bulat hendak menebus dosa, pada saat itu juga Li Song Ek membubarkan semua anak buahnya dan dengan pedang lalu mencukur rambutnya hingga gundul plontos. Kemudian ia ikut Bu Eng Cu merantau sambil menerima latihan ilmu silat dari kakek sakti itu.

Bu Eng Cu tidak hanya memberi latihan ilmu silat, akan tetapi juga ilmu batin untuk membersihkan batin bekas kepala perampok itu. Benar saja, Li Song Ek menjadi sadar dari pada segala dosa yang pernah diperbuatnya, maka setelah ia diperkenankan melakukan perjalanan merantau seorang diri, ia lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk menolong orang. Oleh karena mukanya buruk dan hitam sedangkan tubuhnya agak bongkok, maka orang-orang memberi julukan kepadanya Sin-jiu Lokoai atau Setan Tua Tangan Sakti. Ia suka sekali dengan julukan ini hingga selanjutnya ia memperkenalkan diri dengan nama baru ini dan namanya sendiri telah dilupakan.

Biarpun perangainya telah berubah, namun sifat kersa dan tak mau kalah di dalam hatinya tetap belum lenyap. Setiap kali ia mendengar ada orang pandai, tentu ia ingin mencoba kepandaian orang itu.

Pada suatu hari, ia tiba di kuil Thian Lok Si. Para hwesio menyambutnya dengan ramah tamah dan baik, dan kepadanya lalu dihidangkan makanan dan masakan dari sayur tanpa daging. Hal ini membuat Sin-jiu Lokoai merasa tak puas.

“Mana daging dan arak ? Saudara-saudara harap jangan terlalu kikir, betapapun juga aku adalah seorang tamu yang harus dihormati sepantasnya. Kalau saudara-saudara datang ke tempatku, biarpun aku hanya mempunyai seekor ayam atau seekor babi, tentu akan kupotong dan dagingnya kusuguhkan kepada saudara-saudara. Adapun tentang arak wangi, kalau aku tidak punya uang, aku bisa berhutang kepada warung arak.”

Para hwesio yang menyambutnya saling pandang dengan melongo. Selama hidup, mereka belum pernah melihat hwesio yang seaneh ini.

“Saudara yang baik,” kata seorang di antara mereka, “Kami di sini tidak memiliki babi atau ayam.”

“Ha, ha, ha, jangan kau membohong, itu tak baik bagi seorang hwesio. Bukan ayamkah yang berjalan di sana itu ?” Ia lalu menuding ke arah pekarangan depan di mana memang terdapat dua ekor ayam gemuk sedang makan cacing.

“Itu bukan ayam kami, itu adalah ayam tetangga,” kata hwesio tadi.

“Meminjam ayam tetangga untuk menghormati tamu apa salahnya ? Besok kan dapat diganti dengan uang !” Sambil berkata demikian, Lokoai lalu memungut batu kecil dan sekali ia mengayunkan tangannya, seekor ayam roboh berkelonjotan dan mati seketika itu juga. Ternyata bahwa batu kecil itu telah menyambar lehernya hingga leher ayam itu hampir putus, seperti disembeli dengan pisau tajam saja. “Nah, itu sudah ada daging ayam harap saudara jangan berlaku kikir dan suka memasakkan daging ayam itu untuk saudaramu yang kelaparan ini !”

Kejadian ini membuat semua hwesio yang berada di situ menjadi tak senang dan juga kuatir. “Saudara, bagaimana seorang suci berlaku seperti ini ? Apakah kau lupa bahwa Sang Buddha menyintai segala benda di dunia ini dan kita sekali-kali tidak boleh mengganggunya hanya untuk kesenangan diri sendiri saja ? Apalagi membunuh nyawa ayam untuk dimakan dagingnya. Dan minum arak lagi. Bukankah arak itu minuman yang bisa mengotorkan pikiran dan batin ? Saudaraku yang baik, bagaimana kau masih belum insaf dan sadar ?”

Tiba-tiba Lokoai tertawa tergelak-gelak. “Ha, ha, ha, ini semua memang masih bodoh ! Kenapakah hwesio tidak boleh makan daging dan minum arak ? Kita ini bermulut, berperut, dan mempunyai rasa yang ingin menikmati kelezatan makanan. Mengapa berpura-pura alim di luar akan tetapi di dalam hati mengilar melihat dan mengenangkan makanan lezat ? Aku tak dapat begitu, biarpun kepalaku telah menjadi gundul. Kalau aku suka, aku makan saja, karena hal itu baik bagi mulut dan perut. Kalian tidak suka, sudahlah, aku sendiri masih sanggup untuk menghabiskan seekor ayam saja.”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment