Dengan datangnya dua orang sakti ini, maka pihak para perwira yang hendak menjalankan perintah kaisar itu menjadi kuat sekali, apalagi di pihak mereka terdapat juga Cin Pau yang biarpun masih muda, akan tetapi sudah boleh diandalkan karena kepandaiannya yang tinggi itu.
Penyerbuan kuil Thian Lok Si akan dilakukan pada keesokkan harinya, dan Gak Song Ki segera minta kepada kedua orang tosu itu untuk bermalam di gedungnya. Hal ini diterima baik oleh dua orang tokoh Gobi-san itu yang ingin sekali melihat murid mereka Siauw Eng.
Karena makin tertarik dan suka kepada Cin Pau, Gak-ciangkun lalu membujuk-bujuk agar supaya pemuda itu suka pula mampir dan bermalam di rumahnya. Cin Pau tak dapat menolak, terutama karena ia ingin bercakap-cakap dengan kedua orang pendekar tua dari Gobi-san itu, katanya. Padahal, di lubuk hatinya ada suara yang hanya didengarnya sendiri, yang berbisik bahwa ia ingin bertemu atau melihat wajah Siauw Eng, dara jelita yang sombong dan galak itu.
Ketika mendengar tentang kedatangan dua orang suhunya, Siauw Eng menjadi girang sekali dan ia berlari-lari menyambut kedatangan kedua orang tosu itu. Dengan girang sekali ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang suhunya yang juga memandangnya dengan bangga dan senang. Mereka lalu beramai-ramai masuk ke dalam dan ketika dara itu bertemu pandang dengan Cin Pau, mulutnya bergerak seperti hendak menegur karena ia merasa heran sekali, akan tetapi ia tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, hanya dari pandang matanya Cin Pau tahu bahwa gadis itu tidak marah. Bahkan bibir yang manis itu kemudian tersenyum kepadanya, seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama yang baik hubungannya. Ketika ditanya, Cin Pau mengaku bahwa ia adalah murid Bu Eng Cu Tiauw It Lojin. Ia tidak mau memberitahu bahwa iapun murid Beng Hong Tosu, karena ia maklum bahwa nama ini tentu akan dihubungkan pula dengan keluarga Khu dan Ma yang menjadi muridnya, dan juga dengan Un Kong Sian. Dalam keadaan seperti ini dan karena berada di kota raja, ia harus berlaku hati-hati dan jangan menimbulkan kecurigaan di kalangan perwira. Bukan karena ia takut, akan tetapi karena ia tidak mau menghadapi kesulitan-kesulitan baru.
Kedua orang tosu itu pernah bertemu dengan Bu Eng Cu dan telah tahu kelihaian orang sakti itu, maka mereka menyatakan kagumnya dan memuji Cin Pau sebagai seorang pemuda yang berbakat dan beruntung menjadi murid orang pandai itu. Ketika melihat betapa pemuda baju putih itu mendapat penghargaan dari Cin San Cu dan Bok San Cu, makin kagumlah hati Gak Song Ki, bahkan pandangan Siauw Eng terhadap Cin Pau mulai berubah dan tidak berani memandang rendah lagi.
Ketika diperkenalkan kepada ibu Siauw Eng, Cin Pau merasa suka melihat nyonya yang cantik jelita dan halus tutur sapanya itu hingga menimbulkan hormatnya. Sebaliknya, Souw Kwei Lan atau ibu Siauw Eng yang telah menjadi nyonya Gak Song Ki, memandang wajah yang tampan itu dengan heran karena ia seakan-akan pernah melihat dan kenal wajah ini, akan tetapi tak dapat mengingat lagi di mana dan kapan. Tentu saja ia sama sekali tak dapat menduga bahwa pemuda tampan yang duduk di depannya dengan muka tunduk ini adalah putera tunggal Ong Lin Hwa dan Khu Tiong.
Sementara itu, Siauw Eng mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan kedua suhunya dengan penuh perhatian. Ia merasa penasaran sekali mengapa ayahnya melarang ia untuk ikut menyerbu kuil itu dan membantu membasmi para penjahat. Di dalam hati gadis yang selalu dimanja ini timbul pemberontakan hebat. Belum pernah kehendaknya tak terpenuhi, bahkan ketika berada di atas puncak Gobi-san, kedua suhunyapun amat memanjakannya, maka ia diam-diam mengambil keputusan untuk meninjau sendiri dan menyelidiki keadaan kuil itu.
Demikianlah, ketika semua orang sedang bercakap-cakap, diam-diam ia pergi ke kamarnya, kemudian mengambil jalan dari pintu belakang ia lalu naik ke atas punggung kuda putihnya dan pergi meninggalkan kota. Ia telah diberitahu letak kuil Thian Lok Si dan pada senja hari itu ia membalapkan kudanya menuju ke kuil itu.
Ia tidak tahu bahwa ketika beberapa lama ia pergi meninggalkan ruang tamu, Cin Pau merasa tidak senang lagi duduk di situ dan Gak Song Ki menganggap bahwa pemuda itu tentu telah lelah dan ingin beristirahat, maka ia lalu mengantarkannya ke sebuah kamar yang disediakan untuknya. Begitu berada di dalam kamar seorang diri, timbul keinginan di dalam hati pemuda ini untuk menyelidiki keadaan kuil Thian Lok Si yang hendak diserbu itu. Ia tidak merasa heran mendengar bahwa pendeta-pendeta di situ menjadi jahat, karena seringkali ia mendengar adanya hwesio-hwesio yang berjalan sesat dan menjadi penjahat.Bahkan, kedua saikong yang dijumpainya dengan Siauw Eng itu, yakni Pek Lek Hoatsu dan Ban Lek Hoatsu, bukankah mereka itupun dua orang pendeta yang jahat sekali ?
Akan tetapi yang amat membuatnya penasaran ialah justru karena kuil itu pernah menolong ibunya, mengapa kini menjadi sarang penjahat ? Diam-diam ia merasa ragu-ragu dan kini timbul pikirannya hendak menyelidiki pula. Tadi di dalam percakapan, secara tidak langsung ia telah bertanya tentang letak kuil itu yang berada di dusun tak berapa jauh dari Tiang-an.
Setelah mengambil keputusan tetap ia lalu melompat keluar dari jendela kamarnya, menutup daun jendela dari luar, lalu pergi tanpa diketahui orang, menuju ke kuil itu. Ia tidak tahu bahwa belum lama Siauw Eng telah pergi pula ke sana menunggang kuda.
Siauw Eng adalah seorang gadis yang berhati tabah sekali. Ia telah seringkali bermain-main dan berburu binatang di dalam hutan-hutan di sekitar Tiang-an, baik seorang diri maupun bertiga bersama Gu Liong dan Gu Hwee Lian maka ia kenal baik jalan yang melalui hutan itu.
Setelah tiba di luar dusun Ma-cin-kiang di mana kuil Thian Lok Si berada, ia lalu turun dari kudanya dan mengikat kendali kuda pada sebatang pohon. Ia lalu melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat. Dari jauh telah nampak bangunan kuil yang besar itu di bawah sinar bulan purnama. Hatinya agak berdebar ketika menyaksikan bangunan yang besar dan megah itu. Teringat akan penuturan ayahnya bahwa di dalam kuil ini berdiam puluhan hwesio yang berilmu tinggi.
Dengan hati-hati Siauw Eng lalu mengambil jalan memutar dan kini ia berdiri di bawah dinding kuil yang tinggi dan yang mengitari bangunan besar itu. Karena di situ sunyi, maka ia lau mengenjot tubuhnya dan melayang naik ke atas dinding. Dari tempat itu ia memeriksa ke dalam sambil berjongkok. Tak tampak seorangpun hwesio di situ dan yang terdengar hanyalah suara hwesio-hwesio membaca liamkeng sebagaimana biasanya terdengar dari kelenteng-kelenteng. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka setelah yakin betul bahwa tidak ada orang yang melihatnya, ia lalu melompat turun dengan ringan hingga tak menerbitkan suara. Dengan jalan perlahan dan bersembunyi di belakang pohon-pohon yang tumbuh di situ. Ia menghampiri bangunan besar itu dari belakang.
Tiba-tiba ia mendekam di belakang sebatang pohon besar ketika melihat dua tubuh hwesio yang gemuk keluar dari pintu sambil bercakap-cakap. Kedua orang hwesio ini ternyata membawa keranjang berisi sisa-sisa tangkai hio (dupa) yang terpakai siang tadi oleh para pengunjung kuil dan membuangnya sisa- sisa biting itu ke dalam sebuah keranjang sampah besar yang tersedia di belakang kuil. Kemudian mereka berjalan kembali ke arah pintu sambil bercakap-cakap.
“Kata suhu mungkin besok mereka datang menyerbu,” kata seorang di antara mereka.
Terdengar tarikan napas panjang. “Mereka itu menghendaki apa ? Kalau Pek Seng Lo-suhu berada di sini, tentu ia akan marah sekali dan takkan membiarkan mereka berbuat kurang ajar !”
“Memang, Sian Kong Suhu terlalu sabar dan mengalah.” “Ia selalu nampak berduka.”
“Kasihan ”
Kedua orang hwesio ini masuk ke dalam kuil itu melalui pintu belakang hingga Siauw Eng tak mendengar percakapan mereka lebih lanjut lagi. Ia lalu menghampiri pintu itu, akan tetapi ketika melihat betapa di balik pintu itu terdengar suara orang-orang bercakap-cakap, ia tidak berani masuk, lalu melompat naik ke atas genteng.
Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak genteng, tiba-tiba sesosok bayangan hitam melompat pula dan seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam telah berdiri di depannya. Hwesio ini mukanya buruk dan nampak galak dan jahat sekali.
“Kau siapa dan apa kehendakmu datang malam-malam di atas kuil kami ?” bentak hwesio itu dengan wajah bengis.
“Hwesio jahat !” Siauw Eng balas membentak sambil menyerang dengan pedangnya. Gadis ini baru melihat muka ini saja sudah tidak meragukan lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang jahat dan mungkin yang memimpin kejahatan di dalam kuil ini, karena ia mendengar dari ayahnya bahwa hwesio-hwesio itu dipimpin oleh seorang hwesio jahat yang tidak saja memberontak, akan tetapi juga melakukan segala macam kejahatan seperti merampok, memeras, mengganggu wanita, dan lain-lain. Ia tidak tahu bahwa ayahnya juga hanya mendengar saja dari Can Kok yang suka sekali memburukkan nama kuil ini.
Melihat serangan yang hebat itu, hwesio muka hitam itu lalu mengelak cepat dan membalas dengan serangan tangan kosong. Akan tetapi, Siauw Eng terlampau gesit untuk dapat dilawan dengan tangan kosong saja sehingga lambat laun hwesio muka hitam itu merasa sibuk juga. Pada saat itu terdengar bentakan halus,
“Nona, mengapa kau mengacau di tempat suci ini ?”
Kaget sekali hati Siauw Eng, karena pada saat ujung pedangnya telah mengancam leher muka hitam itu tiba-tiba pedangnya tersampok ke samping oleh tenaga yang kuat sekali dan tidak tahunya tiba-tiba telah muncul seorang hwesio yang belum terlalu tua, akan tetapi yang bersikap lemah lembut. Hwesio inilah yang mempergunakan lengan bajunya untuk menyampok pedang Siauw Eng tadi.
Siauw Eng tercengang karena keadaan hwesio yang baru datang ini jauh sekali bedanya dengan hwesio tadi yang kini telah berdiri di pinggir dengan tak bergerak. Hwesio ini bermuka halus dan bersih, bahkan dapat disebut tampan. Sepasang matanya bersinar lembut dan seperti orang berduka dan menderita tekanan batin. Jubahnya berwarna putih bersih.
“Nona, kau siapakah dan mengapa malam-malam kau datang membikin ribut di tempat pinceng ?” “Aku .... aku ingin melihat sampai di mana kejahatan hwesio-hwesio di kuil Thian Lok Si !” Akhirnya
Siauw Eng dapat juga menjawab karena keberaniannya timbul kembali.
Terdengar hwesio muka hitam itu mengertak giginya hingga berkerutan, akan tetapi hwesio yang halus tutur sapanya ini hanya tersenyum sedih. “Nona, baik dan buruk hanya sebutan orang, demikianpun bajik atau jahat, tergantung dari mereka yang memandang dan menganggapnya. Adakalanya seorang yang betul-betul baik dianggap jahat, sebaliknya yang jahat dianggap baik. Ini tidak aneh, memang demikianlah sifat dunia !”
Ucapan ini menikam hati Siauw Eng betul-betul, karena ia merasa betapa ucapan ini amat tepat. “Suhu ini ....... siapakah ?” tanyanya gagap.
“Pinceng yang mengepalai dan memimpin kuil Thian Lok Si, disebut Sian Kong Hosiang. Kau yang begini muda, mudah sekali mendengar bujukan orang yang sengaja memburukkan nama kuil ini. Akan tetapi tidak apalah, kalau kau memang tetap hendak mempergunakan kekerasan dan tidak percaya omongan pinceng, boleh kau lakukan apa yang kau suka. Hanya ingatlah, bahwa kepandaian di dunia ini tidak ada batasnya, adapun tentang kepandaianmu, biarpun kau telah mendapat latihan dari Gobi- san yang cukup sempurna, namun pengalamanmu masih jauh dari pada cukup.”
Siauw Eng yang tadinya merasa ragu-ragu dan tidak mau menyerang hwesio yang kelihatan baik dan halus tutur sapanya ini, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan terakhir dari hwesio itu, timbul pula marahnya dan timbul pula kesombongannya. Bagaimana hwesio ini berani menyatakan bahwa kepandaiannya masih belum mencukupi ?
“Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani berkedok jubah hwesio memimpin kejahatan !” teriaknya dan tanpa pikir panjang lagi ia lalu menikam ke arah ulu hati hwesio itu dengan gerak tipu Pek Tiauw Pok Cui atau Rajawali Putih Sambar Air, sebuah tipu serangan dari ilmu pedangnya Pek Tiauw Kiamhwat.
“Hm, ganas dan sombong !” Sian Kong Hosiang yang bukan lain ialah Un Kong Sian sendiri itu mengelak cepat dan dengan ujung lengan bajunya ia mengebut cepat ke arah pergelangan tangan Siauw Eng. Akan tetapi, gadis itu telah memiliki ilmu silat cukup tinggi, maka biarpun kebutan ini cepat dan kuat, namun ia dapat menarik kembali tangannya hingga terhindar daripada kebutan. Siauw Eng dengan penasaran terus menyerang bertubi-tubi dan Sian Kong Hosiang hanya mengelak saja sambil tersenyum sabar.
“Sute, mengapa kau mengalah saja ? Robohkan perempuan kejam dan jahat ini !” kata hwesio muka hitam dengan suara marah. Akan tetapi Sian Kong Hosiang hanya tersenyum saja.