Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 33

NIC

Pauw Su Kam tersenyum dan berkata dengan sikap tinggi hati, “Memang betul, Ong-taihiap !” Ia sengaja menyebut “taihiap” dengan suara mengandung ejekan. “Biarpun hanya main-main, akan tetapi senjata tajam kalau digunakan bisa mendatangkan bahaya karena seperti kata orang, senjata tidak bermata.”

“Siauwte setuju dengan pendapatmu,” kata Cin Pau sederhana, “Kau majulah dan mari kita bermain- main sebentar !”

Kali ini semua orang menonton dengan penuh perhatian, karena ingin menyaksikan ilmu kepandaian pemuda baju putih yang masih sangat muda ini. Hampir semua orang menduga bahwa kali ini Cin Pau tentu akan roboh di tangan Pauw piauwsu yang lihai. Pauw Su Kam ingin segera menjatuhkan lawannya yang muda ini dan sekali gus mengangkat tinggi namanya, maka begitu berseru ia lalu menyerang dengan tendangan pancingan yang disusul oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada dan pukulan tangan kiri ke arah pundak Cin Pau. Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu melompat dan mengelakkan diri dari serangan itu dan selanjutnya ia lalu mengeluarkan ginkangnya yang tinggi tingkatnya, berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari serangan yang datangnya bertubi-tubi itu. Maka melongolah semua orang ketika menyaksikan betapa tubuh anak muda itu kini berobah menjadi bayangan putih yang luar biasa gesitnya hingga seakan-akan seekor garuda putih terbang menyambar-nyambar hingga membikin Pauw Su Kam tak berdaya mendekatinya.

Melihat gerak gerik pemuda ini, tercenganglah Can Kok oleh karena selama hidupnya ia baru sekali menyaksikan gerak gerik ini, yaitu ketika hwesio muka hitam dulu menjatuhkannya. Akan tetapi pemuda ini lebih cepat lagi gerakannya. Juga Kim-i Lokai merasa kagum sekali dan memandang dengan penuh perhatian. Tak pernah disangkanya bahwa ginkang dari pemuda itu sedemikian lihainya hingga diam- diam ia mengakui bahwa dia sendiri belum tentu dapat melebihi pemuda itu dalam hal kegesitan.

Pauw Su Kam terus menyerang dan setelah ia menyerang dengan Ang se-ciang selama tiga puluh jurus lebih, peninglah kepalanya karena pemuda itu benar-benar merupakan bayang-bayang atau uap putih saja yang tiap kali diserbunya tiba-tiba lenyap dari depannya dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri, atau bahkan di belakangnya. Baru menghadapi lawan yang selalu mengelak saja, ia sudah menjadi pening, apalagi kalau sampai lawan itu balas menyerang. Tiba-tiba Pauw Su Kam lalu berhenti menyerang dan ketika melihat Cin Pau juga berdiri di depannya tak bergerak, tiba-tiba ia lalu memukul dengan kedua tangannya ke arah dada Cin Pau. Ini adalah pukulan maut yang tak layak dikeluarkan di dalam adu kepandaian itu, karena memang pukulan yang dihandalkan ini hanya digunakan untuk menjatuhkan seorang musuh dengan maksud membunuh.

Angin pukulan Ang se-ciang ini saja sudah cukup membuat lawan jatuh dengan menderita luka di dalam tubuh, apalagi kalau sampai tangan itu mengenai tubuh lawan dengan tepat.

Cin Pau merasa mendongkol dan marah melihat hal ini karena tak disangkanya bahwa lawan ini menggunakan tangan maut untuk mengalahkannya. Ia lalu berpikir bahwa kalau kali ini tidak memperlihatkan kepandaian, selanjutnya ia tentu akan dipandang ringan dan rendah. Ia sengaja tidak berkelit dan menanti datangnya pukulan.

“Celaka !” Kim-i Lokai berseru karena biarpun ia juga ingin mengalahkan pemuda itu untuk membalas penghinaan terhadap cucu muridnya, akan tetapi ia tidak bermaksud membunuh pemuda ini, sedangkan pukulan yang dilancarkan oleh Pauw Su Kam itu ia tahu dapat mendatangkan bahaya maut. Akan tetapi, segera seruan kaget ini disusul dengan seruan kagum ketika ia melihat betapa dengan dua tangan terulur ke depan dan jari-jari terbuka. Cin Pau menggunakan lweekang yang tinggi untuk mengembalikan tenaga pukulan Ang se-ciang yang hebat itu. Cin Pau maklum bahwa biarpun tenaga lweekangnya telah terlatih cukup dan tidak akan kalah oleh tenaga lawan, akan tetapi kalau ia menggunakan lengan tangan untuk menangkis, tentu tulang lengannya akan terpukul oleh tenaga Ang se-ciang dan mungkin tulangnya akan patah karena kalah kalau dibandingkan dengan tulang lawan yang “berisi”, akan tetapi kalau ia menggunakan telapak tangan yang berisi daging dan urat serta dapat mengeluarkan tenaga lweekang sepenuhnya itu, ia boleh menangkis dengan hati tenteram. Benar saja, ketika dua tenaga raksasa bertemu, dengan khikangnya Cin Pau dapat menutup jalan darahnya dan hanya terhuyung mundur tiga langkah. Akan tetapi sebaliknya, Pauw Su Kam yang tak menduga akan mendapat benturan tenaga yang lebih besar dari pada tenaganya sendiri itu, terpental sampai setombak lebih dan jatuh terduduk di atas lantai.

Ia terkejut sekali, akan tetapi karena tidak menderita luka apa-apa, ia merasa tunduk betul terhadap Cin Pau. Dengan muka merah ia lalu menjura dan berkata, “Ong-taihiap memang patut dikagumi.

Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada dugaanku semula.”

“Ang se-ciangmu juga lihai sekali, Pauw piauwsu !” kata Cin Pau merendahkan diri.

“Hebat, hebat ! Harus kuberi selamat !” tiba-tiba Lu Siang berkata dan menghampiri Cin pau sambil menjura dengan gerakan Ce Thian Pai Hud tadi. Kali ini ia mengisi tenaga dalam gerakannya hingga Cin Pau yang maklum dirinya dicoba, lalu balas menjura sambil mengerahkan khikangnya. Lu Siang merasa betapa tenaganya terbentur kembali dan kedua pundaknya sampai merasa linu, maka ia lalu berkata, “Memang lihai sekali, aku mengaku kalah !”

Hanya beberapa orang saja yang tahu akan percobaan tenaga ini, di antaranya Kim-i Lokai. Pengemis tua ini tidak mau kalah, dengan tertawa ia lalu datang menghampiri dengan secawan arak di tangan.

“Ong sicu, kau pantas dihormat dengan secawan arak wangi !” katanya sambil menyerahkan cawan itu kepada Cin Pau dengan tubuh membungkuk.

Cin Pau lalu menerima cawan itu dan alangkah kagetnya ketika merasa betapa tangan yang memberikan cawan itu menekan dengan kekuatan yang luar biasa beratnya. Ia lalu mengerahkan tenaganya dan membuat telapak tangannya yang menerima cawan menjadi lemas bagaikan kapas hingga tenaga tekanan Kim-i Lokai menjadi lenyap dan tiada berguna lagi. Pengemis tua itu melepaskan cawannya dan tertawa bergelak. Ia merasa senang sekali, tidak saja girang karena mendapat kawan kuat dalam penyerbuan kuil Thian Lok Si, akan tetapi juga girang bahwa tadi ia tidak sampai bentrok dengan pemuda ini. Kalau sampai mencoba kepandaiannya dan tak dapat memenangkan pemuda ini, alangkah akan malunya. Sedangkan ia masih merasa sangsi apakah ia akan dapat mengalahkan pemuda yang lihai ini.

“Sicu, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu benar-benar membuat lohu merasa kagum,’ katanya.

“Lo-enghiong, tongkatmu membuat siauwte merasa kagum dan takluk sekali.” Cin Pau menjawab sejujurnya, “terutama ketika kau membuat gerakan melobangi ujung lengan baju Can-ciangkun tadi. Hebat dan cepat sekali gerakan itu !” Mendengar ucapan itu, Can Kok terkejut dan melihat ujung lengan bajunya yang benar-benar bolong, maka mukanya jadi pucat. Orang telah membolongi ujung lengan bajunya dan ia sama sekali tidak tahu. Kalau orang itu seorang musuh dan menghendaki jiwanya, tentu ia akan mati sebelum ia ketahui diserang secara bagaimana.

Sebaliknya, Kim-i Lokai makin kagum saja mendapat kenyataan bahwa pemuda ini dapat melihat gerakannya tadi, padahal ia percaya bahwa tak seorang pun dapat melihatnya. Dari kenyataan ini saja dapat diketahui bahwa pemuda baju putih ini memang murid seorang berilmu tinggi.

Pada saat orang-orang memuji Cin pau, tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan-bayangan orang dan biarpun Cin Pau dan Kim-i Lokai bermata tajam, namun mereka berdua inipun tidak melihat dengan jelas gerakan orang-orang yang baru datang dan tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri dua orang tosu tua.

Ketika Gak Song Ki melihat dua orang tosu ini, dengan girang sekali ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berseru, “Suhu dan Supek !”

Maka tahulah mereka bahwa yang datang ini adalah dua orang tokoh Gobi-san yang terkenal, yakni Cin Can Cu dan Bok San Cu. Semua orang, juga Cin Pau lalu menjura dan memberi hormat kepada dua orang tosu lihai ini. Ketika Cin Pau mendengar bahwa kedua orang tosu ini adalah kedua guru Siauw Eng, maka ia menjadi kagum. Tak heran apabila gadis itu lihai karena guru-gurunya juga begini tinggi ilmu kepandaiannya.

Ternyata bahwa kedatangan kedua tokoh Gobi-san inipun atas undangan dan permohonan Gak Song Ki untuk membantu dia melakukan tugas yang diperintahkan oleh kaisar, yakni membasmi kuil Thian Lok Si. Oleh karena ia maklum bahwa hwesio-hwesio di Thian Lok Si memang berkepandaian tinggi, maka ia lalu minta pertolongan mereka.

Pada waktu itu, memang terjadi sedikit pertentangan antara para tosu dan para hwesio, yakni pemeluk agama To dan Agama Buddha, hingga ketika mendengar betapa hwesio-hwesio di Thian Lok Si berubah jahat dan bersekutu hendak memberontak, kedua orang tosu itu menjadi marah dan segera datang untuk membantu Gak Song Ki membasmi kuil itu. Pada masa itu, tidak sedikit terdapat hwesio- hwesio yang jahat, karena banyak orang-orang jahat dengan berkedok menjadi pendeta dan menggunduli rambutnya, masih tetap melakukan kejahatan mereka sehingga hal ini tentu saja menodai nama para hwesio umumnya.

Posting Komentar