Can Kok merasa puas, karena biarpun ia tidak dapat mengalahkan pengemis lihai itu, namun ia tidak sampai tercela permainan tombaknya. Semua penonton juga menganggap demikian, akan tetapi Cin Pau yang lebih tajam dan lebih tahu akan gerakan-gerakan Kim-i Lokai, dapat melihat betapa dengan luar biasa cepatnya, ketika hendak melompat mundur tadi, ujung tongkat kakek itu telah menerobos di antara sinar kongce dan menyabet ujung lengan baju Can Kok. Dan ketika Cin Pau memperhatikan ujung lengan baju itu, benar saja di situ terdapat sebuah lubang bekas tusukan tongkat.
Kim-i Lokai setelah memberi “tanda’ pada ujung lengan baju Can Kok tanpa memberi tahu itu, lalu tertawa girang dan setelah Can Kok mengundurkan diri, ia lalu berkata lagi kepada semua tamu, “Cuwi yang hendak maju, silakanlah. Jangan malu atau sungkan terhadap kawan segolongan sendiri!”
Lagak Kim-i Lokai seakan-akan seorang guru yang menghadapi sekian banyak muridnya dan yang hendak diujinya seorang demi seorang. Cin Pau maklum bahwa pengemis tua ini merupakan lawan yang tangguh sekali, akan tetapi ia tetap hendak maju dan mencoba kepandaian kakek itu.
Sekali lagi Cin pau didahului orang lain, yakni seorang di antara Kongsan hengte yang bernama Lu Kiam. Setelah menjura dan memperkenalkan diri kepada Kim-i Lokai ia lalu mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang poan-koan pit atau senjata berbentuk pit (pena bulu) yang lihai sekali oleh karena sepasang senjata ini khusus dibuat untuk menyerang dan menotok jalan darah lawan.
Orang yang dapat mempergunakan sepasang poan-koan pit tentu seorang yang telah memiliki lweekang tinggi dan telah paham sekali akan jalan darah dan bagian kelemahan lawan hingga baru mengeluarkan sepasang senjata ini saja sudah dapat diduga bahwa Lu Kiam bukanlah orang sembarangan.
Kim-i Lokai tertawa terbahak-bahak. “Memang, harimau hanya berkawan singa dan ular samudera selalu berkawan dengan naga. Sicu adalah kawan baik Can-ciangkun, maka tentu saja ilmu kepandaian sicu takkan mengecewakan. Lu-sicu, jangan sungkan-sungkan, majulah !”
“Mohon pengajaran !” kata Lu Kiam merendah dan ia lalu mulai bersilat. Kedua tangannya memegang poan-koan pit bergerak-gerak bagaikan seorang penari ulung sedangkan kedua kakinya berjingkit dan berpindah-pindah dengan amat cepat dan gesitnya. Kembali permainan silat ini mendatangkan rasa kagum, bahkan Kim-i Lokai sendiri berkali-kali memuji, “Bagus, bagus !”
Pengemis tua itu terpaksa mempergunakan ginkangnya yang hebat untuk menghindarkan diri dari totokan lawan yang gesit ini. Kalau sampai ia kena tertotok, ia akan mendapat malu hebat sekali, biarpun pertandingan itu hanya pertandingan persahabatan saja. Maka tongkatnya lalu digerakkan cepat sekali dan kemana saja poan-koan pit menotok, selalu bertemu dengan ujung tongkat yang menangkisnya dengan tenaga penuh hingga tiap kali ujung poan-koan pit terbentur ujung tongkat, Lu Kiam merasa betapa tangannya kesemutan dan kalau ia tidak mengerahkan tenaga, tentu poan-koan pitnya akan terpukul jatuh. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian pengemis tua yang aneh ini masih lebih tinggi setingkat dengan kepandaiannya sendiri, maka setelah bertempur sampai empat puluh jurus tanpa dapat mendesak, ia tahu diri dan melompat ke belakang dengan cepatnya.
“Maaf, maaf, aku yang bodoh telah memperlihatkan kejelekkan kepandaianku,” katanya sambil menjura.
“Siapa bilang permainanmu jelek ?” kata Kim-i Lokai dengan gembira. “Lohu berani tanggung bahwa penjahat-penjahat Thian Lok Si akan kacau balau terserang oleh dua batang poan-koan pit yang lihai itu. Kau hebat sekali, Lu-sicu !” Setelah berkata demikian, Kim-i Lokai lalu memandang kepada orang kedua dari Kongsan Hengte yang bernama Lu Siang. Berbeda dengan adiknya, Lu Siang ini bertubuh tinggi kurus sedangkan adiknya itu pendek gemuk, dan muka Lu Siang ini kepucat-pucatan seperti orang sakit, akan tetapi sepasang matanya berpengaruh. Cin Pau dapat menduga bahwa orang gagah itu tentulah seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang yang tinggi sekali.
Melihat betapa adiknya tak berdaya menghadapi pengemis tua itu, Lu Siang lalu melompat dari tempat duduknya. Gerakannya ini tidak kentara, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang dan berdiri di depan Kim-i Lokai. Cin Pau kagum sekali melihat ginkang ini. Ternyata yang berkumpul ini bukanlah orang-orang sembarangan, pikirnya makin tertarik.
Begitu berada di depan pengemis tua itu, Lu Siang lalu menjura memberi hormat. Akan tetapi gerakan memberi hormat ini bukanlah gerakan sembarangan akan tetapi adalah gerakan yang dalam ilmu silat disebut Raja Monyet Menghormat Dewata (Ce Thian Pai Hud) dan ini adalah gerakan dari ahli ilmu lweekeh yang melakukan serangan atau pukulan lweekang dari jauh dalam bentuk pemberian hormat. Akan tetapi, oleh karena yang dihadapinya bukan musuh dan hanya seorang yang hendak mencoba ilmu kepandaiannya, Lu Siang juga tidak begitu gegabah untuk mengisi tenaga pukulan dalam gerakan ini, dan hanya merupakan gerakan pemberian hormat biasa saja. Akan tetapi, otomatis ia telah memperlihatkan bahwa ia adalah ahli lweekeh yang jempolan.
Melihat cara pemberian hormat Lu Siang, Kim-i Lokai tidak mau tinggal diam dan ia memperlihatkan bahwa ia kenal pula gerakan ini, maka sekali gus ia membalas hormat orang dengan gerakan Menolak Gunung Menarik Awan. Tangan kanannya dengan jari terbuka ditaruh di depan dada sebagai penolakan pukulan lawan dan tangan kirinya membalas dengan gerakan pukulan yang juga dilancarkan hanya dengan tenaga lweekang dan memukul dari jauh. Lu Siang merasa terkejut sekali oleh karena memang gerakan inilah yang menjadi gerakan untuk menahan dan membalas serangan gerakannya tadi.
Dalam hormat-menghormati ini, kedua orang itu telah memperlihatkan dua macam gerakan yang lihai dan yang takkan dapat dimengerti oleh ahli silat sembarangan saja. Akan tetapi, Cin Pau tahu akan gerakan-gerakan mereka itu hingga diam-diam ia memuji pula.
“Sicu, janganlah berlaku sungkan-sungkan dan marilah kita bermain-main sebentar menambah pengetahuan !” kata Kim-i Lokai sambil tertawa.
“Lo-enghiong, jangan kau orang tua tertawakan aku yang rendah pengetahuan !” kata Lu Siang sambil melepaskan ikat pinggangnya yang berwarna hitam. Setelah ikat pinggangnya itu berada di dalam tangannya, ternyata bahwa itu bukanlah ikat pinggang biasa, akan tetapi sebuah senjata joan pian atau cambuk lemas yang panjangnya tidak kurang dari tiga kaki. Memang tepat sekali bagi seorang ahli lweekeh untuk mempergunakan joan pian yang lemas ini oleh karena tenaga lweekangnya dapat disalurkan pada senjata itu hingga cambuk itu bisa menjadi lemas untuk membelit senjata musuh atau menyabet, dan dapat pula dibuat kaku untuk menusuk atau menotok jalan darah.
“Bagus, sicu majulah !” kata Kim-i Lokai dengan hati-hati karena ia maklum bahwa lawannya kali ini memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dibuat gegabah. Lu Siang lalu bergerak dengan joan piannya setelah disentakkan mengeluarkan bunyi keras bagaikan sebatang cambuk gembala, lalu joan pian itu menyambar ke arah leher Kim-i Lokai. Pengemis tua itu cepat mengangkat tongkatnya dan sebentar kemudian kedua orang itu bertempur seru sekali hingga bayangan mereka kadang-kadang menjadi satu dan sukar dibedakan satu dengan yang lain.
Setelah adu kepandaian ini berlangsung seratus jurus dengan amat hebatnya dan keadaan mereka seakan-akan berimbang, keduanya lalu melompat mundur dan Lu Siang dengan muka merah menjura sambil berkata, “Siauwte yang bodoh telah menerima pelajaran, terima kasih, lo-enghiong.” Ternyata bahwa tadi ia telah kena dikurung hebat oleh tongkat pengemis tua yang lihai itu hingga ia tidak malu- malu untuk mengaku kalah.
Pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berseri.
“Ah, Can-ciangkun,” katanya kepada Can Kok. “Sekarang lohu tidak kuatir lagi. Dengan adanya para orang gagah ini di pihak kita, kita tak usah kuatirkan perlawanan para penjahat gundul di Thian Lok Si.”
Can Kok dengan girang lalu berkata kepada Cin Pau, “Ong-taihiap, tinggal kau yang belum memperlihatkan kepandaianmu.” Cin Pau lalu bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah perlahan ke tengah ruang itu. Akan tetapi, pada saat itu, Pauw Su Kam, suheng dari Can Kok, piauwsu dari Shantung itu, juga berdiri dan berkata kepada Kim-i Lokai.
“Lo-enghiong, kau telah terlalu banyak menghadapi kawan-kawan yang gagah hingga kuatir kau orang tua terlampau lelah. Biarlah siauwte yang kasar dan bodoh mencoba kepandaian “taihiap” ini!” Terang sekali bahwa Pauw Su Kam ini merasa kurang senang dan tidak puas bahwa Can Kok, sutenya itu, terlalu menghormat kepada Cin Pau hingga menyebutnya taihiap atau pendekar besar.
Cin Pau dapat menduga bahwa orang sombong ini tentu sedang mencari perkara dengan dia, dan orang itu tentu berusaha menjatuhkannya dengan membuatnya malu. Oleh karena itu ia berlaku hati- hati sekali.
Sambil tertawa Kim-i Lokai mengundurkan diri dan berkata,
“Baik, baik, dengan majunya jiwi, berarti sekali gus lohu dapat menyaksikan tingkat kepandaian jiwi.” Akan tetapi ketika pengemis tua ini menyaksikan betapa setelah menggulung lengan bajunya, kedua lengan orang she Pauw ini kelihatan merah sekali ia menjadi terkejut karena tahu bahwa orang ini memiliki ilmu pukulan Ang se ciang atau Tangan Pasir Merah yang lihai.
Cin Pau juga melihat ini dan tahulah ia mengapa orang ini demikian sombongnya karena agaknya mengandalkan kedua tangannya yang berbahaya. Orang yang memiliki tangan pasir merah ini memang berbahaya sekali pukulannya, karena jangankan tubuh kena pukul oleh kedua tangan ini, baru tertangkis saja dapat membuat lengan lawan menjadi bengkak-bengkak dan tulangnya patah.
Tadi ia telah diperkenalkan dengan semua orang, maka Cin Pau yang masih ingat akan nama orang ini dan tahu bahwa dia adalah suheng dari tuan rumah, dengan sikap hormat berkata,
“Pauw piauwsu tentu ingin mengajak siauwte bermain dengan tangan kosong, bukan ?” Ucapan ini sekali gus menyatakan bahwa ia telah tahu akan kelihaian kedua tangan lawan dan juga menyatakan bahwa ia tidak gentar menghadapinya.