Dengan suara tetap dan berterus terang, Cin Pau berkata,
“Untuk membasmi kejahatan, aku Cin Pau selalu bersiap-siap, akan tetapi tentang segala macam pemberontakan, aku tak mau ikut campur !”
Kata-kata ini diucapkan tetap dan keras sekali oleh karena ia teringat bahwa kakeknya juga dihukum mati karena dianggap memberontak.
Pauw Su Kam, suheng Can Kok yang menjadi piauwsu kenamaan di Shantung, mempunyai adat yang agak keras dan sombong, maka tentu saja ia merasa penasaran dan tidak senang melihat betapa Can Kok agaknya terlalu mengalah dan menghormati anak muda itu.
“Can sute,” katanya sambil mengerling kepada Cin Pau, “Kalau orang tidak mau membantu, mengapa harus memaksa-maksa ? Mungkin saudara muda ini merasa jerih menghadapi nama Thian Lok Si yang tersohor !”
Cin Pau merasa akan sindiran ini, maka dengan suara tenang dan dingin ia berkata, “Sudah banyak orang sombong kujumpai di kota ini !”
Biarpun ucapan ini tidak ditujukan langsung kepada Pauw Su Kam, namun semua orang dapat merasai ketegangan yang timbul antara pemuda baju putih itu dan Pauw Su kam. Akan tetapi, Can Kok terlampau cerdik untuk menderita kerugian karena permusuhan pada saat ia membutuhkan banyak tenaga bantuan itu, maka sambil tertawa ia lalu menjura kepada Cin Pau.
“Ong taihiap, kami menghaturkan banyak terima kasih atas kesanggupan untuk membantu kami. Memang yang hendak kami basmi adalah segerombolan penjahat yang berkedok di balik jubah-jubah hwesio.”
Kemudian Can Kok lalu menawarkan arak wangi kepada semua tamunya.
Gak Song Ki yang diam-diam memperhatikan Cin Pau, merasa kagum menyaksikan keberanian pemuda itu dan karena iapun mendengar betapa dengan tangan kosong pemuda ini telah mengalahkan Gu Liong yang bersenjata pedang, maka ia mulai membanding-bandingkan kepandaian pemuda ini dengan kepandaian puterinya sendiri, Siauw Eng. Gadis ini sebetulnya ingin sekali ikut dalam penyerbuan ini dan membasmi para penjahat, namun oleh karena Gak-ciangkun amat sayang kepada puterinya, biarpun tahu bahwa ilmu kerpandaian puterinya amat tinggi bahkan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka ia melarang.
Adapun Gan Hok yang merasa amat penasaran dan mendongkol mendengar betapa muridnya kena dikalahkan dengan mudah, diam-diam lalu mengadakan pembicaraan dengan supeknya, yakni Kim-i Lokai yang ia banggakan dan andalkan untuk membalas penghinaan pemuda baju putih itu atas diri muridnya.
Kim-i Lokai adalah seorang tokoh yang sudah masuk hitungan kelas tinggi, maka tentu saja karena dibakar hatinya oleh Gan Hok yang menyatakan bahwa dihinanya Gu Liong berarti tidak saja menghina juga Gan Hok akan tetapi juga berarti tidak memandang muka Kim-i Lokai, menjadi panas juga dan setelah meneguk tiga cawan arak wangi, ia lalu berdiri dan berkata kepada tuan rumah, “Can-ciangkun, maafkan lohu yang miskin dan tua. Melihat banyak orang gagah berkumpul di ruangan yang luas ini, hati lohu merasa amat gembira, dan kegembiraan ini mendatangkan kehendak yang bukan-bukan dihatiku. Memang lohu mempunyai semacam penyakit, yakni apabila bertemu dengan orang-orang gagah segolongan, lalu menjadi gatal tangan dan ingin sekali menyaksikan dan mengukur kepandaian kawan-kawan lain. Maksud lohu ini mengandung dua hal, pertama untuk saling kenal terlebih baik lagi karena peribahasa menyatakan bahwa sebelum bertempur orang tak dapat menjadi kenalan baik. Adapun kedua, adalah hal yang lebih utama lagi, yaitu oleh karena kita sedang menghadapi musuh-musuh penjahat tangguh dan lihai, sedangkan kawan-kawan kita adalah orang- orang baru yang belum diketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya, maka perlu sekali kita saling mengukur tenaga untuk dapat mengetahui kekuatan sendiri !”
Can Kok tersenyum dan menjura sambil berkata, “Lo-enghiong berkata benar ! Lalu apakah kehendak lo-enghiong sekarang ?”
“Aku tak perlu sungkan-sungkan lagi demi kebaikan pihak kita sendiri. Biarlah aku yang tua menjadi alat pengukur dan para saudara yang merasa perlu memperlihatkan kepandaian dan yang belum dikenal baik dipersilakan maju untuk menghadapi lohu agar dapat disaksikan oleh semua kawan-kawan !” Sambil berkata demikian, Kim-i Lokai lalu bertindak dengan tenang ke tengah ruangan yang luas itu.
Biarpun ucapannya ini ditujukan kepada semua orang, namun kedua matanya memandang ke arah Cin Pau.
Cin Pau adalah seorang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dari suhunya ia pernah pula mendengar nama Kim-i Lokai, hingga sudah sepatutnya kalau ia berdiam diri dan tidak mau menyombongkan kepandaian, terutama untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Kim-i Lokai adalah hal yang bukan tidak berbahaya. Akan tetapi, betapapun juga, ia masih amat muda dan darahnya masih menggelora penuh keberanian yang terdorong oleh nafsu mudanya. Maka mendengar ini, ia segera bergerak hendak berdiri dari tempat duduknya.
Akan tetapi, ternyata ia kalah dulu oleh tuan rumah sendiri. Can Kok maklum akan maksud Kim-i Lokai yang hendak membalaskan rasa malu yang diderita oleh murid Gan Hok, maka untuk menjaga jangan sampai ia dianggap licik dan juga untuk mendemonstrasikan ilmu tombaknya, ia lalu mendahului orang lain dan melompat kehadapan Kim-i Lokai.
“Lo-enghioang,” katanya sambil tertawa dan menjura, “aku merasa girang dan berterima kasih sekali kepada kau orang tua yang bermaksud baik dan yang membantu meramaikan pertemuan ini. Akan tetapi sebagai tuan rumah, sebelum orang lain memperlihatkan ilmu kepandaiannya yang tinggi, terlebih dulu biarlah aku memperlihatkan kebodohanku. Tidak tahu dengan cara bagaimanakah lo-enghiong hendak mengukur kebodohanku ?”
Kim-i Lokai tercengang karena tidak disangkanya bahwa tuan rumah ini maju sendiri, maka ia lalu tersenyum-senyum dan memutar-mutar kedua matanya. “Can-ciangkun sendiri hendak maju ? Baik, baik ! Telah lama lohu mendengar ilmu tombak cagak dari ciangkun yang amat tersohor, maka harap ciangkun suka memperlihatkan kepandaian itu, biar lohu mengimbanginya dengan tongkat ini !”
Ketika mendengar ucapan ini, Can Kok merasa gembira sekali oleh karena memang selain ilmu permainan tombak cagak ini, ia tidak tahu harus memamerkan kepandaian apa. Segera ia menyuruh pelayan mengambil kongce (tombak bercagak)
“Silakan menyerang dan jangan sungkan-sungkan, Can-ciangkun!” kata Kim-i Lokai sambil memelintangkan tongkat pada dadanya.
Can Kok segera menyerang dengan kongcenya dan ketika ia mulai bersilat dan melakukan penyerbuan, para tamu diam-diam memuji oleh karena permainan tombak cagak dari perwira ini benar-benar lihai dan kuat. Harus diketahui bahwa semenjak dikalahkan oleh hwesio muka hitam di kuil Thian Lok Si hingga ia merasa terhina dan malu sekali, Can Kok lalu melatih diri dan memperdalam ilmu silatnya sampai bertahun-tahun sehingga kalau dibandingkan dengan dulu sebelum dikalahkan oleh hwesio itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat jauh sekali. Tenaga yang disalurkan pada senjata itupun besar sekali sehingga tiap kali ia menusuk dengan senjatanya ujung tombak itu sampai menggetar dan apabila ia memukulkan tombaknya, maka terdengar bersiutnya angin pukulan.
Kalau permainan kongce dari Can Kok ini telah mengagumkan para penonton, adalah permainan tongkat Pengemis Tua Baju Emas membuat hati Cin Pau berdebar. Kalau yang menyerbu kuil itu orang- orang segagah ini, pasti kuil itu akan dapat dihancurkan, pikirnya. Permainan tongkat kakek pengemis itu benar-benar hebat karena biarpun yang digerakkan hanya sebatang tongkat kayu yang kecil, akan tetapi tiap kali tombak Can Kok yang bertenaga besar itu terbentur oleh ujung tongkat, tombak itu selalu terpental hingga Can kok beberapa kali mengeluarkan seruan kaget. Namun perwira ini masih tetap menyerang terus walaupun sedikit juga serangannya tak berarti bagi pengemis yang kosen itu.
Setelah melayani Can Kok sampai tiga puluh jurus lebih, Kim-i Lokai melompat mundur dengan cepat dan berkata, “Cukup, cukup !” Can-ciangkun cukup gagah untuk menyerbu ke kuil Thian Lok Si !”