“Apa ? Kaulah yang sombong. Kaulah yang keras kepala seperti batu dan besar kepala seperti kepala kerbau !” Timbul marah dan galaknya.
“Sudahlah ! perlu apa kau menghadang di depanku ? Pergi !” Sambil berkata demikian, Cin Pau dengan mendongkol sekali hendak mendorong kuda itu ke sisi, akan tetapi tiba-tiba sebatang cambuk panjang menyabet dari belakang mengenai punggungnya. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat bahwa yang mencambuknya adalah pemuda yang berpakaian mewah dan kawan Siauw Eng tadi.
“Jembel kurang ajar ! Kau berani berlaku jasar terhadap Gak-moi ! Kau harus dihajar !” seru Gu Liong yang merasa marah sekali karena nona yang ia puja-puja dan kagumi itu kini diperlakukan secara kurang ajar sekali oleh seorang pemuda biasa yang berpakaian putih dan sederhana.
Ia lalu mengangkat cambuknya dan menyabet lagi, akan tetapi dengan tenang Cin Pau mengulurkan tangan dan sekali tangannya bergerak, cambuk itu telah dapat dirampasnya dan ketika jari-jari tangannya ditekuk, “krek!” cambuk itu patah menjadi dua. Dengan tak acuh Cin Pau melemparkan cambuk itu ke atas tanah.
“Hah, anak-anak bangsawan yang manja dan sombong !” katanya sambil menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ. Akan tetapi Gu Liong yang sudah menjadi marah sekali lalu melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya.
“Kau hendak lari ke mana ? Kau belum kenal kepada Gu Liong ! Rasakan tajamnya pedangku !” Ia lalu menyerang dengan hebat hingga Cin Pau yang tadinya menahan sabar, menjadi naik darah juga dan ia segera mengelak ke samping dan mengirim pukulan ke arah lambung Gu Liong. Akan tetapi, Gu Liong juga bukan seorang pemuda yang lemah. Sambil berseru keras, ia mengelak dan membalas dengan serangan pedangnya yang bertubi-tubi dan kesemuanya ditujukan dengan maksud membunuh.
“Suheng, jangan !” tiba-tiba Hwee Lian berseru sambil melompat turun dari kudanya pula.
Gadis ini merasa kuatir kalau-kalau Gu Liong akan mencelakai orang dan ia merasa kasihan kepada pemuda yang sederhana dan tampan ini. Memang, Hwee Lian tidak puas dan tidak suka melihat lagak pemuda-pemuda yang biasanya mengambil hati dan bermuka-muka di depan gadis-gadis manis, terutama sekali ia merasa jijik dan muak melihat betapa para pemuda bangsawan berusaha mengambil hati Siauw Eng yang cantik jelita dan gagah itu dengan sikap mereka yang merendah dan menjijikkan. Kini melihat sikap Cin Pau yang acuh tak acuh dan seakan-akan tidak tunduk kepada Siauw Eng, ia merasa kagum sekali.
Cin Pau mengerling kepada gadis yang mencegah Gu Liong tadi dan ia melihat betapa sinar mata yang lembut ditujukan kepadanya dengan hati iba. Hal ini meredakan marahnya dan menghalangi maksudnya hendak menghajar Gu Liong yang nekad. Ia suka kepada gadis yang lembut dan halus itu, maka ia tidak mau mencelakakan Gu Liong yang disangkanya saudara gadis itu. Ketika Gu Liong menyerang dengan sebuah tusukan ke arah lehernya, Cin Pau tidak mau mengelak hingga terdengar jerit tertahan dari Hwee Lian, akan tetapi Siauw Eng yang lebih tinggi ilmu silatnya, hanya memandang dengan tersenyum. Diam-diam ia kagum sekali melihat betapa dengan tangan kosong Cin Pau menghadapi Gu Liong dan mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
Ketika ujung pedang Gu Liong telah meluncur dekat sekali, tiba-tiba Cin Pau miringkan kepala hingga pedang itu menyerempet dekat sekali dengan kulit lehernya dan secepat kilat tangan kanannya menyergap. Sebelum Gu Liong tahu apa yang terjadi, ia merasa tangan kanannya kaku dan pedang itu telah terampas oleh Cin Pau.
“Kau masih mau menyombongkan kepandaian ?” kata Cin Pau sambil tersenyum dan kembali ia patahkan pedang itu dengan mudah seperti ketika ia mematahkan cambuk tadi, dan melempar dua potongan pedang itu ke atas tanah.
Gu Liong marah sekali akan tetapi ia tak berdaya dan hanya berdiri melotot dengan muka merah.
“Pergilah, kau pergilah dan jangan ganggu kami,” kata Hwee Lian dengan gugup ketika melihat betapa orang-orang telah mulai berkumpul menonton peristiwa itu. Ia kuatir kalau-kalau perkara ini akan menjadi besar. Ia takut kalau suhengnya mendapat malu dan kuatir kalau-kalau pemuda baju putih itu akan mengalami celaka.
Setelah memandang Hwee Lian, Cin Pau lalu meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba Siauw Eng tertawa nyaring dan mengejarnya.
“Orang she Ong ! Kau sombong sekali. Kau hanya dapat mengalahkan seorang yang masih dangkal kepandaiannya, kalau kau memang gagah, cobalah kau lawan aku !” Sambil berkata demikian, Siauw Eng mencabut pedangnya. Ternyata karena melihat betapa peristiwa itu terlihat oleh banyak orang, maka kalau ia tidak memperlihatkan keberanian dan kegagahannya, namanya yang telah mulai dikenal di Tiang-an akan jatuh dan orang-orang akan menganggapnya takut menghadapi pemuda baju putih itu.
“Enci Siauw Eng !” Hwee Lian menegur. “Perlu apa mencari perkara dengan orang yang tak kita
kenal!”
“Ha, Hwee Lian, kau mau kenal dia ? Ketahuilah, dia ini adalah Ong Cin Pau, seorang pemuda sombong yang pernah bertempur dengan aku, akan tetapi masih belum selesai dan sekarang aku ingin menyelesaikan pertempuran dulu itu. Jangan kau coba-coba maju, ia lihai sekali !” Siauw Eng tertawa menyindir dan menghampiri Cin Pau.
“Siapa mau bertempur melawan kau yang sombong ini ?” Cin Pau berkata marah, karena ia merasa serba salah. Melayani gadis ini bukanlah kehendaknya, akan tetapi kalau didiamkan saja, tentu gadis ini akan makin kurang ajar saja.
Baru saja Siauw Eng hendak maju menerjang, tiba-tiba terdengar suara orang berseru, “Gak siocia, tahan dulu !” Ternyata yang datang itu adalah Can Kok yang telah mendapat kabar dengan cepat betapa pemuda itu dengan mudah telah mengalahkan Gu Liong dengan tangan kosong. Perwira yang cerdik ini merasa bahwa pemuda yang lihai itu perlu sekali didekati agar jangan sampai dapat bersekutu dengan Un Kong Sian, bahkan kalau mungkin menariknya dipihaknya.
“Can-lociangkun, mengapa kau menahanku ?” tanya Siauw Eng penasaran karena memang gadis ini tidak takut kepada semua perwira kawan ayahnya.
“Enghiong ini adalah orang sendiri, jangan kalian saling bertempur !”
Dan pada saat itu, datang Gak Song Ki, Gan Hok dan Kim-i Lokai yang hendak menuju ke rumah Can Kok mengadakan perundingan tentang penyerbuan kuil Thian Lok Si. Tentu saja mereka heran melihat ramai-ramai itu dan segera menghampiri. Ketika melihat mereka, Can Kok segera memberi isyarat dengan mata dan berkata,
“Telah terjadi sedikit salah paham,” katanya sambil tertawa. “Sahabat muda yang gagah ini adalah seorang hiapkek muda yang gagah perkasa dan kita bahkan perlu sekali mendapat bantuan akan tetapi di tengah jalan telah timbul perselisihan faham dengan para anak muda. Sudahlah, hal ini tidak ada artinya, mari kita bicara dengan baik di rumahku. Ong-taihiap, silakan mampir di rumahku lagi, kita merundingkan sesuatu yang amat penting.”
Semua orang merasa heran mendengar ucapan Can-ciangkun ini, bahkan Siauw Eng lalu memperhatikan.
“Aku tidak ada waktu, hendak mencari orang,” kata Cin Pau.
“Hal ini dapat ditunda, Ong-taihiap, dan pula, aku berjanji akan membantumu kelak mendapatkan orang itu. Kau adalah seorang gagah dan kami bersama hendak pergi menyerbu dan membasmi penjahat- penjahat, apakah kau tidak suka membantu ?”
Mendengar ucapan ini, Cin Pau tertarik sekali dan ia lalu pergi mengikuti rombongan yang beramai- ramai menuju ke rumah Can Kok. Gan Hok lalu menyuruh kedua muridnya pulang dan Siauw Eng juga disuruh pulang oleh ayahnya karena perwira-perwira ini tidak mau membawa anak-anak muda ini ke dalam perundingan besar yang hendak diadakan.
Ternyata bahwa ketiga orang perwira, Gak Song Ki, Gan Hok, dan Can Kok, telah mendatangkan orang-orang gagah yang sanggup membantu mereka menyerbu kuil Thian Lok Si. Sekalian orang gagah itu pada hari itu, hari yang telah ditetapkan untuk mengadakan pertemuan, berkumpul di rumah Can Kok untuk mengadakan perundingan.
Setelah rombongan itu tiba di rumah Can Kok, mereka lalu masuk ke ruang dalam di mana telah berkumpul banyak orang gagah yang datang hendak membantu. Selain Kim-i Lokai yang kosen, masih terdapat tiga orang lain yang perlu disebutkan karena memiliki ilmu kepandaian tinggi, yakni seorang tua berpakaian piauwsu yang bernama Pauw Su Kam, kakak seperguruan Can Kok yang menjadi piauwsu kenamaan di Shantung, dan dua orang bersaudara dari Kongsan yang berjuluk Kongsan hengte, ahli siangto atau sepasang golok yang lihai. Yang lain-lain adalah orang-orang gagah kenalan mereka sehingga jumlah para tamu semua ada delapan orang.
Melihat banyaknya orang-orang gagah yang berkumpul, Cin Pau menduga-duga apakah yang hendak mereka lakukan dan siapakah pula penjahat-penjahat yang hendak diserbu itu.
Setelah memperkenalkan Ong Cin Pau kepada semua orang, Can Kok lalu berkata kepada Cin Pau,
“Ong taihiap, kau tentu belum tahu penjahat-penjahat mana yang hendak kami serbu. Ketahuilah bahwa kuil Thian Lok Si yang ternama itu sekarang menjadi sarang penjahat yang berbahaya dan perlu dibasmi oleh karena mereka itu kini mengadakan persekutuan hendak memberontak terhadap kerajaan.”
Cin Pau memandang heran. Ia pernah mendengar nama kuil ini dari ibunya, bahkan dulu ibunya dan Un Kong Sian telah tertolong oleh ketua kuil itu yang bernama Pek Seng Hwesio. Tak tertahan lagi ia menyatakan keheranannya dan berkata, “Akan tetapi, Can-ciangkun, kalau tidak salah, kuil itu terkenal suci dan diketuai oleh seorang Hwesio yang saleh dan berilmu tinggi.”
Can Kok tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang dulupun kami berpikir demikian, ketika kuil itu masih dipimpin dan diketuai oleh Pek Seng Hwesio. Akan tetapi setelah hwesio tua itu pergi merantau, hwesio-hwesio di kuil itu kena pengaruh orang jahat dan akhirnya kini merupakan ancaman bagi kerajaan.”
“Oh, jadi Pek Seng Hwesio sudah pergi meninggalkan kuil itu ?” Cin Pau berkata lagi tanpa disengaja hingga tentu saja ucapan ini membuka rahasianya bahwa ia pernah mendengar nama ini. Can Kok merasa curiga, akan tetapi ia amat cerdik dan berhati-hati.
“Ong-taihiap yang memiliki kegagahan dan menjunjung tinggi keadilan, tentu sudi membantu kami membasmi penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak itu, bukan ?”