Biarpun hatinya merasa senang sekali melihat mereka itu kini bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi Siauw Eng menjadi heran dan tidak mengerti. Melihat hal ini, Gan Hok lalu menjelaskan,
“Ketahuilah, Gak-siocia. Aku adalah seorang rekan dan kawan sejabat ayahmu, berkedudukan sebagai towtong di kota Lok-keng yang tak jauh letaknya dari kota raja. Aku dan ayahmu telah saling mengenal semenjak muda, hingga boleh dibilang kita adalah sahabat-sahabat baik. Akhir-akhir ini ayahmu dan aku seringkali datang dan saling berkunjung, maka kami mendengar pula tentang puterinya yang belajar silat di Gobi-san. Hwee Lian ini adalah puteriku dan Gu Liong adalah kemenakan dan juga muridku, maka kau maafkanlah mereka yang telah berani berlaku kurang ajar karena tidak mengenalmu. Kau hendak kemana, nona ? Apakah hendak kembali ke rumah orang tuamu ? Kebetulan sekali kami juga hendak ke kota raja !”
Demikianlah, dengan hati girang Siauw Eng lalu menuturkan bahwa ia memang baru saja turun gunung dan hendak pulang, maka beramai-ramai mereka lalu menuju ke kota raja. Gan Hok memang tidak tahu bahwa Siauw Eng bukan puteri Gak Song Ki sendiri, oleh karena anak ini terlahir di rumah perwira she Gak itu dan semua orang menyangka bahwa anak ini adalah puteri tulen perwira itu. Apalagi orang lain, bahkan Siauw Eng sendiri tidak tahu bahwa Gak Song Ki adalah ayah tirinya.
Kedatangan rombongan ini disambut oleh Gak Song Ki dan Kwei Lan dengan girang sekali. Gak Song Ki teramat bangga melihat puterinya yang selain cantik jelita seperti ibunya juga telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan Kwei Lan ketika bertemu dengan anak tunggalnya, lalu memeluknya sambil menangis penuh keharuan hati, nyonya cantik ini hidup bahagia dengan suaminya yang amat menyintanya, akan tetapi ketika ia memeluk Siauw Eng untuk sesaat terbayanglah wajah ayah anak ini, yaitu Ma Gi, hingga air matanya mengucur makin deras.
Gan Hok menuturkan tentang pertempuran kedua orang muridnya dengan Siauw Eng sehingga semua orang tertawa dan Gak Song Ki merasa bangga sekali akan puterinya, terutama ketika Gan Hok dan juga Kim I Lokai yang lihai itu memuji-mujinya. Kemudian, Siauw Eng pergi ke kamar dengan ibunya, sedangkan Hwee Lian dan Gu Liong yang sudah seringkali datang ke rumah itu, tanpa malu-malu lagi lalu bermain di taman bunga yang luas dari gedung Gak-ciangkun itu. Adapun Gan Hok, Gak Song Ki, dan Kim I Lokai lalu mengadakan perundingan yang agaknya penting sekali. Memang di antara perwira-perwira ini terdapat urusan yang amat pentingnya. Telah beberapa lama mereka mendapat kisikan dan pemberitahuan dari seorang perwira lain bernama Can Kok bahwa kuil Thian Lok Si yang tersohor dan besar itu telah menjadi sarang pemberontak dan bahwa kawan-kawan keluarga Khu dan Ma serta keturunan mereka telah bersembunyi di kuil itu. Gak Song Ki dan Gan Hok sendiri pernah melakukan penyelidikan di kuil itu akan tetapi oleh karena tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, mereka tak menaruh perhatian lagi atas tuduhan Can Kok itu.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saja datang perintah rahasia dari Kaisar sendiri yang memerintahkan agar Gan Hok dan Gak Song Ki membasmi hwesio-hwesio di Thian Lok Si karena semua anggauta kuil itu dianggap sebagai pemberontak.
Ternyata bahwa Can Kok yang dulu ketika mengejar Un Kong Sian dan Lin Hwa, telah dijatuhkan oleh hwesio di Thian Lok Si dan menerima hinaan, merasa sakit hati sekali dan selamanya ia tak dapat melupakan sakit hati ini. Dicarinya akal untuk membalas dendam, akan tetapi oleh karena ia maklum akan kelihaian para hwesio di Thian Lok Si, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan kasar. Diam- diam ia “membeli” seorang hwesio di dalam kuil itu untuk mencari tahu tentang segala rahasia yang ada. Namun, memang kepala kuil itu, Pek Seng Hwesio, adalah seorang hwesio suci yang tak pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka sukar sekali bagi Can Kok untuk menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan.
Akan tetapi, kecurigaannya timbul kembali ketika ia mendengar bahwa seorang pemuda bernama Un Kong Sian, putera seorang nyonya janda congtok dan yang menjadi sute dari Khu Tiong dan Ma Gi, dua orang muda pemberontak itu, telah masuk menjadi hwesio di Thian Lok Si. Can Kok menjadi girang oleh karena pemuda itu masih mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan keluarga Khu dan Ma, maka setelah pemuda itu kini masuk menjadi hwesio, ia mempunyai alasan untuk memfitnah kuil itu.
Akan tetapi, fitnahannya tak berhasil dan kawan-kawan perwira lain tidak ada yang mau mendengarnya, karena mereka maklum bahwa ketua Thian Lok Si, Pek Seng Hwesio adalah seorang berilmu tinggi yang tak boleh dibuat gegabah. Bertahun-tahun Can Kok menahan marahnya dan akhirnya, setelah Pek Seng Hwesio meninggalkan kuil itu untuk melakukan perjalanannya ke barat dan menyerahkan pimpinan kuil ke tangan muridnya yakni Un Kong Sian yang telah menjadi Sian Kong Hosiang, timbul lagi harapan di hati Can Kok.
Perwira ini lalu memulai siasatnya ke tempat yang lebih tinggi lagi, yakni kepada pembesar-pembesar atasan yang dekat dengan Kaisar dan membuat Kaisar itu akhirnya mengeluarkan perintah rahasia untuk membasmi dan membakar kuil Thian Lok Si.
Kini bukan main girang hati Can Kok. Ia lalu mengadakan hubungan dengan Gak Song Ki dan Gan Hok, dan ketiga orang perwira ini masing-masing berusaha mengumpulkan tenaga dan pembantu yang berilmu tinggi karena mereka tidak berani secara sembrono melakukan penyerbuan. Gan Hok berhasil mendatangkan supeknya, yakni Kim I Lokai yang kini mengadakan perundingan dengan Gak Song Ki. Menurut pendapat Kim I Lokai yang juga telah tahu akan kelihaian hwesio-hwesio di kuil Thian Lok Si, lebih baik untuk mengumpulkan orang-orang gagah dari seluruh golongan sehingga serbuan itu sekaligus mendatangkan hasil baik dan tidak menjatuhkan pamor dan nama serta kegagahan perwira- perwira kerajaan.
Sementara itu, setelah melepaskan rindunya kepada ibunya, Siauw Eng juga lalu menyusul kedua saudara Gu di taman bunga dan ketiga orang anak muda ini menjadi kawan-kawan baik.
Cin Pau melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan pikiran masih penuh dengan bayangan Siauw Eng. Biarpun ia merasa gemas dan mendongkol menyaksikan kesombongan dan lagak Siauw Eng, namun ia tidak bisa membenci dara yang manis jelita itu dan diam-diam ia merasa heran sekali mengapa bayangan wajah gadis itu selalu terbayang saja di depan matanya. Ia telah mengeraskan hati dan berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan itu, akan tetapi baru saja ia berhasil mengusir bayangan itu, sebentar lagi sudah datang pula membayang dengan senyuman yang manis.
“Bodoh, gadis sombong dan galak macam itu tiada harganya untuk dikenang !” ia mencela dirinya sendiri dan berlari secepatnya menuju ke kota raja. Malam hari itu ia bermalam dalam sebuah rumah penginapan besar di Tiang-an. Ia bertanya kepada pelayan, apakah pelayan itu tahu di mana rumah keluarga Un Kong Sian, dan pelayan itu menyatakan tidak tahu. Cin Pau sama sekali tidak mengira bahwa Can Kok yang lihai telah menaruh banyak mata- mata hingga di hotel itupun terdapat mata-matanya, hingga pertanyaan Cin Pau ini terdengar oleh mata- mata itu, yang segera menyampaikan kepada Can Kok bahwa ada seorang pemuda baju putih yang membawa pedang bertanya tentang rumah keluarga Un Kong Sian yang dicurigai.
Pada keesokan harinya, Cin Pau berhasil mendapat keterangan dari seorang penduduk tua di kota raja dan ia lalu mencari rumah gedung yang dulu ditinggali oleh Un Kong Sian. Akan tetapi, ternyata gedung itu telah menjadi milik orang lain dan dari penghuni baru ini ia mendengar keterangan bahwa ibu Un Kong Sian atau nyonya janda congtok telah meninggal dunia dan tentang diri Un Kong Sian, tak ada seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya atau kemana perginya.
Dengan kecewa dan sedih, Cin Pau meninggalkan gedung itu. Ketika ia tiba kembali di hotelnya, tiba- tiba pelayan hotel memberitahu di luar ada seorang tamu yang mencarinya. Cin Pau merasa heran ketika keluar dan melihat seorang laki-laki berpakaian pelayan pembesar berdiri di ruang depan dan menjura kepadanya.
“Kalau sicu ingin mengetahui tentang keluarga Un, silahkan ikut siauwte ke rumah kediaman majikanku,” katanya.
Tanpa banyak cakap, dengan hati girang Cin Pau lalu mengikuti pelayan itu ke sebuah rumah gedung yang cukup besar. Ketika ia dipersilakan masuk, ternyata bahwa di dalam ruang yang besar telah berkumpul banyak orang-orang yang kelihatan gagah perkasa. Tuan rumahnya adalah seorang perwira tua yang masih gagah dan yang menyambutnya dengan perhatian.Tuan rumah ini bukan lain ialah Can Kok, perwira yang menaruh dendam hati terhadap kuil Thian Lok Si itu. Ia lalu mengajak Cin Pau memasuki sebuah kamar dan setelah duduk berhadapan, ia lalu bertanya,
“Anak muda, kau mencari Un Kong Sian ada perlu apakah dan kau bersangkut paut apakah dengan dia
?”
Cin Pau telah mendengar penuturan ibunya dan tahu bahwa keadaan Un Kong Sian yang telah membantu kedua keluarga Khu dan Ma itu mungkin selalu dicurigai oleh para perwira, maka dengan hati-hati ia menjawab, “Un Kong Sian adalah sahabat biasa saja dan karena kebetulan siauwte lewat di Tiang-an, maka siauwte ingin sekali bertemu dengan dia. Apakah ciangkun mengetahui di mana tempat tinggalnya.
“Aku memang kenal baik dengan Un Kong Sian, akan tetapi entah di mana dia sekarang, karena semenjak ia menjual gedungnya, ia tak pernah muncul lagi di kota ini. Apakah apakah
kedatanganmu ini ada hubungannya dengan keluarga Khu dan Ma ? Siapakah namamu ? Sambil mengeluarkan pertanyaan ini, Can Kok memandang tajam sekali.
Diam-diam Cin Pau merasa terkejut sekali, akan tetapi oleh karena ia telah berjaga diri, maka ia pura- pura memperlihatkan muka tidak senang ketika menjawab, “Ciangkun, apakah maksud kata-katamu ini
? Apa itu keluarga Khu atau Ma ? Aku tidak mengerti sama sekali. Aku, Ong Cin Pau hanya ingin mencari seorang sahabat, kalau ciangkun tahu tempatnya, tolong beritahu, kalau tidak tahu, biarlah aku pergi mencari sendiri”.
Sambil berkata demikian, Cin Pau lalu berdiri dan hendak keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba Can Kok berdiri dan menjura. “Maaf dan jangan salah paham, anak muda. Aku tidak bermaksud buruk. Silakan duduk dan bertemu dengan orang-orang gagah yang kebetulan berkumpul di rumahku.”
Melihat sikap manis ini, Cin Pau juga menghilangkan tarikan muka marah. Akan tetapi, ia merasa harus berhati-hati sekali karena ia tahu bahwa orang di depannya ini adalah seorang cerdik dan yang tentu sedang menyelidiki hal dan rahasia Un Kong Sian, maka ia tidak berani menerima undangan itu dan segera pamit keluar. Can Kok juga tidak menahan, akan tetapi diam-diam ia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk mengikuti pemuda baju putih ini, karena betapa pun juga, ia masih menaruh hati curiga. Dengan hati kecewa dan gemas, Cin Pau keluar dari gedung Can-ciangkun dan hendak kembali kehotelnya. Ia telah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan kota raja oleh karena tidak ada artinya tinggal lebih lama di situ sedangkan Un Kong Sian yang dicari-carinya tidak berada di Tiang-an.
Ketika ia sedang berjalan dengan hati ruwet, tiba-tiba ia mendengar suara yang nyaring dan merdu memanggil namanya, “Ong Cin Pau !”
Pemuda itu cepat berpaling dan ternyata bahwa yang memanggilnya itu adalah Siauw Eng. Dara jelita itu kini makin cantik dan gagah karena ia menunggang kuda putih yang besar dan pakaiannya yang masih tetap berwarna merah itu kini terbuat daripada sutera mahal sehingga jauh lebih indah daripada pakaiannya yang dulu. Juga di rambut kepalanya terhias mutiara dan emas sedangkan pedang yang tergantung di pinggangnya kinipun memakai ronce-ronce benang emas dan sarung pedangnya terukir indah. Di kanan kiri Siauw Eng terdapat dua orang penunggang kuda lain, seorang pemuda dan seorang gadis yang cakap dan cantik serta berpakaian mewah. Sekali pandang saja tahulah Cin Pau bahwa mereka ini adalah keluarga kaya dan bangsawan tinggi. Maka ia merasa sebal dan membuang muka sambil melanjutkan langkahnya.
“Eh, Cin Pau orang she Ong. Tidak kenalkah kau kepadaku lagi ? Aku adalah Gobi Ang Sianli.
Aku adalah Siauw Eng !” kata gadis itu dengan suara penasaran sekali.
Karena Siauw Eng memajukan kudanya mengejar dan menghadang di depannya, Cin Pau terpaksa berhenti dan menegur,
“Kau berobah sekali. Puteri pangerankah kau ?” Hatinya sebal menyebut pangeran, karena teringat kepada pangeran Gu Mo Tek yang telah menghancurkan keluarganya.
Siauw Eng tersenyum. “Bukan, aku hanya seorang puteri perwira. Ayahku adalah Gak-ciangkun !”
Cin Pau sudah menduga bahwa nona baju merah ini tentu puteri seorang pembesar, maka hatinya menjadi makin tawar.
“Hm,” katanya tak acuh. “Pantas saja kau sombong dan keras kepala !”
Siauw Eng tercengang. Tadinya ia merasa gembira dan girang sekali dapat bertemu dengan pemuda baju putih itu di kota raja, akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat sikap Cin Pau masih keras dan sama sekali tidak menghargainya itu.