“Majulah bersama dan jangan ragu-ragu !” ejek Siauw Eng melihat betapa kedua orang itu merasa agak ragu-ragu untuk maju mengeroyok.
“Sombong !” seru Hwee Lian yang segera melompat maju dan menyerang dengan gerak tipu Hong Ciu Pai Hio atau Angin Meniup Dahan Tua.
“Bagus !” kata Siauw Eng dan ia tiba-tiba merendahkan tubuh dan dari bawah secepat kilat pedangnya menyambar ke arah pergelangan Hwee Lian yang sedang menyerangnya. Inilah sebuah gerak tipu dari Sin Coa Kiamhwat yang disebut Ular Menyambar Burung yang tak terduga dan hebat sekali, karena dalam keadaan diserang, Siauw Eng telah membalas dengan serangan pula yang tak kalah hebatnya. Hwee Lian terkejut sekali karena hampir saja pergelangan tangannya kena dibabat. Ia cepat menarik kembali tangannya dan membacok dari atas ke arah kepala Siauw Eng yang masih merendah dan membongkok. Siauw Eng tertawa dan mengelak cepat dan ketika pedang Hwee Lian lewat menyambar di dekat kepalanya, ia lalu menggunakan punggung pedangnya untuk memukul pedang itu ke bawah. Kembali Hwee Lian terkejut bahkan kali ini ia mengeluarkan seruan tertahan karena kalau ia tidak memegang erat-erat pedangnya tentu pedang itu telah kena dihantam terlepas dari pegangannya.
Ia lalu melompat mundur dan kini menghadapi Siauw Eng dengan hati-hati sekali karena maklum bahwa ilmu silat dara baju merah ini benar-benar tinggi sekali.
“Ha, ha, ha, jangan kau berani melawan nenek besarmu seorang diri saja. Majulah berdua dengan suhengmu itu !” Siauw Eng mengejek sambil tertawa.
“Sumoi jangan takut, aku membantumu !” Gu Liong berkata dan mencabut pedang terus maju mengeroyok. Akan tetapi dengan tak gentar sedikitpun, Siauw Eng menghadapi mereka dan memainkan ilmu pedangnya yang hebat dan luar biasa itu hingga biarpun dikeroyok dua, akan tetapi kedua orang saudara Gu itu terdesak hebat dan tubuh mereka terancam sinar pedang Siauw Eng yang bergulung-gulung. Baiknya Siauw Eng hanya ingin menggoda mereka saja dan tidak bermaksud mencelakainya, karena kalau kedua orang ini menjadi musuh-musuh yang dibenci, tentu sebentar saja mereka telah roboh mandi darah.
Pada saat itu, dari jauh datang dua orang penunggang kuda lain dan setelah dekat, mereka segera melompat turun dari kuda dan seorang di antara mereka berseru, “Tahan dulu !”
Hwee Lian dan Gu Liong melompat mundur dengan hati lega karena itu adalah suara Gan Hok, ayah tiri Hwee Lian atau guru mereka berdua. Ternyata Gan Hok datang bersama seorang tua gundul yang berpakaian seperti pengemis karena penuh tambalan. Pengemis ini bukanlah orang sembarangan, akan tetapi adalah supek (uwa guru) Gan Hok sendiri yang bernama Kim-i Lokai (Pengemis Tua Baju Emas). Bajunya itu biarpun tambal-tambalan, akan tetapi tambalannya dijahit dengan benang emas, maka ia mendapat julukan Pengemis Tua Baju Emas. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan ia merupakan tokoh besar di daerah utara.
Siauw Eng melihat kedatangan seorang setengah tua yang gagah dan seorang pengemis tua yang aneh, juga melompat mundur dengan pedang melintang di dada.
Hwee Lian segera menubruk ayahnya dan berkata dengan manja. “Ayah, orang ini kurang ajar sekali !”
“Dia membela keluarga Khu dan Ma !” kata Gu Liong.
Tiba-tiba pengemis itu tertawa lebar. “Memang, kaum persilatan sekarang telah terdesak oleh yang muda-muda. Nona baju merah, ilmu pedangmu tadi hebat sekali, marilah kita main-main sebentar !” Sambil berkata demikian, pengemis itu maju sambil memegang tongkat bengkok.
Siauw Eng yang tabah dan berani tentu saja tidak menampik tantangan orang, maka ia lalu maju menyerang. Ia maklum bahwa pengemis ini tentu tinggi kepandaiannya, maka datang-datang ia menyerang sambil mengeluarkan ilmu silatnya Pek Tiauw Kiam sut yang hebat.
“Ha, ha, ha ternyata kau anak murid Gobi-pai !” Kim I Lokai tertawa sambil menangkis dengan tongkatnya. Tangkisan ini berat dan kuat sekali hingga Siauw Eng merasa betapa telapak tangannya sakit. Akan tetapi oleh karena ia memang keras hati dan nekad, biarpun maklum bahwa kepandaian kakek pengemis ini lebih tinggi dari tingkat kepandaiannya sendiri, namun ia tidak mau mengalah dan sambil menggertakkan gigi, ia terus menyerang lagi lebih hebat. Kakek pengemis itu mempertahankan diri dengan gerakan-gerakan tongkatnya yang diputar bagaikan sebatang pedang juga, akan tetapi walaupun tongkat itu hanya terbuat dari pada sebatang kayu yang kecil, namun karena digerakkan oleh tenaga Iweekang yang besar, kehebatannya tidak kalah dengan pedang asli.
Sebentar saja, biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, Siauw Eng terdesak mundur dan terkurung oleh tongkat itu. Tiba-tiba kakek pengemis itu melompat ke belakang dan berkata,
“Bagus, kau tak mengecewakan menjadi anak murid Gobi-pai ! Bagaimana dengan Bok San Cu ? Apakah ia baik-baik, saja ?” Siauw Eng terkejut karena kakek yang lihai ini agaknya kenal dengan suhunya, maka ia lalu menjawab dengan pertanyaan.
“Tidak tahu siapakah locianpwee yang lihai ? Dan mengapa kenal kepada suhu ?”
Kakek itu tertawa bergelak-gelak. “Tentu saja aku kenal dengan Bok Sam Cu dan Cin Sam Cu. Dan kalau mereka berdua itu mendengar bahwa kau telah berani melawan Kim I Lokai, tentu kau akan mendapat teguran karena telah berani mengangkat pedang terhadap seorang sahabat baik mereka! Ha, ha, ha !”
Siauw Eng terkejut karena ia pernah mendengar nama ini dari kedua orang suhunya, maka buru-buru ia menjura sambil menyimpan pedangnya. “Mohon maaf sebanyaknya, karena teecu tidak tahu bahwa teecu berhadapan dengan locianpwee yang pernah disebut-sebut oleh dua suhuku. Akan tetapi, mengapa pula locianpwee membela dua orang anak kurang ajar itu ?”
Pada saat itu, Gan Hok melangkah maju dan bertanya, “Jadi nona adalah murid Gobi-san ? Apakah nona she Gak ?”
Kembali Siauw Eng terkejut dan cepat menjawab, “Memang benar, ayahku adalah Gak Song Ki !”
Gan Hok tertawa girang dan segera menjura, “Aha, memang kalau belum bertempur takkan mengenal. Maaf, pantas saja kau gagah sekali, Gak siocia. Ayah bundamu seringkali bicara tentang dirimu. Liong-ji Hwee Lian, ayoh kalian minta maaf kepada Gak siocia !”
Hwee Lian dan Gu Liong juga terkejut sekali ketika mendengar bahwa nona baju merah yang lihai ini adalah puteri Gak Song Ki yang seringkali mereka dengar namanya itu, maka buru-buru mereka berdua lalu menjura dan mohon maaf, bahkan Hwee Lian lalu memeluk Siauw Eng sambil berkata,
“Cici yang gagah, kau maafkanlah aku dan suhengku ini !”