Siauw Eng memandang kagum dan memang kerbau jantan itu nampak kuat sekali. Sepasang tanduknya besar dan runcing bagaikan dua batang tombak. Ia mengangguk-angguk dengan kagum, kemudian ia menunjuk ke arah dua buah kuburan itu.
“Apakah ini makam keluargamu ?”
Petani itu menggelengkan kepala. “Bukan, lihiap, akan tetapi akulah, kedua tanganku inilah yang dulu menanam jenazah-jenazah mereka yang rebah di sini dengan mandi darah. Ah, masih ngeri aku melihat betapa tubuh mereka mandi darah dalam keadaan yang membuat bulu tengkukku masih berdiri kengerian kalau terbayang pula. Mereka juga orang-orang gagah seperti kau, lihiap.”
“Bagaimana kau bisa tahu ? Dan siapakah mereka ini ?”
“Entahlah, ketika itu, belasan tahun yang lalu, aku dan seorang kawanku yang sekarang tinggal di kota raja, sedang menggembala kerbau kami dan tiba-tiba ketika kami tiba di sini, kami melihat jenazah kedua orang laki-laki yang sekarang berada di bawah tanah ini. Tangan mereka masih menggenggam pedang dan tubuh mereka hancur, penuh bekas bacokan senjata tajam dan tusukan anak panah. Aku tidak tahu siapa mereka itu menimbulkan rasa iba di hati kami, maka kami lalu mengubur kedua jenazah ini. Dan ternyata Thian memang adil, lihiap. Semenjak aku dan kawanku mengubur jenazah-jenazah ini, keadaan kami mendadak menjadi baik sekali. Sawah yang kami tanami menghasilkan banyak padi dan gandum, jauh lebih banyak dari pada hasil di sawah orang lain dan sekarang aku sudah memiliki tiga ekor kerbau dan sepetak sawah. Dan kawanku itu? Ia telah membuka sebuah rumah makan yang lumayan di kota raja. Bukankah ini berarti pembalasan budi dari kedua jenazah yang tak kami kenal ini
?”
Mendengar penuturan itu, diam-diam Siauw Eng teraruh juga. Alangkah buruknya nasib kedua orang ini, binasa di tempat asing dan dikubur oleh dua orang penggembala kerbau, tidak diketahui oleh sanak keluarga mereka.
“Hatimu jujur dan mulia, sahabat. Sudah sepantasnya hidupmu bahagia.” Setelah memuji, Siauw Eng lalu meninggalkan tempat itu, sedikitpun tak pernah mengira bahwa sebuah dari pada kuburan ini adalah kuburan ayahnya sendiri, Ma Gi !
Ia melanjutkan perjalanannya dengan hati gembira dan tak lama lagi ia akan tiba di hutan terakhir dan yang terdekat dengan kota Tiang-an Tiba-tiba ia mendengar suara kuda meringkik dan orang bercakap- cakap. Ia berjalan terus dan tak lama kemudian ia melihat dua orang penunggang kuda yang gagah sekali. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda besar dan bagus yang tentu saja mahal harganya berpelana indah dan memakai kerincingan hingga tiap kali kuda itu menggerakkan tubuhnya agak keras, berbunyilah kerincingan itu menimbulkan kegembiraan. Penunggang-penunggangnya juga orang gagah sekali.
Seorang di anataranya adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampan wajahnya. Rambutnya yang hitam dan halus itu diikat dengan sutera biru dihias dengan hiasan rambut dari permata indah. Pakaiannya dari sutera dari sutera jambon yang dihiasi renda kuning emas. Pedangnya dengan sarung pedang terukir bagus, tergantung dipinggangnya dan sepatunya dari kulit yang mengkilat. Dandanan seorang kongcu yang cakap, tampan, dan kaya raya. Kawannya juga mengagumkan sekali, yakni seorang gadis muda yang cantik dan lembut sinar matanya. Rambutnya dikepang dua dan dihias pita merah, sedangkan pakaiannya terbuat dari dari pada sutera hijau dan merah yang indah sekali potongannya. Dia atas rambutnya terhias bunga-bunga emas dan mutiara, sedangkan sebatang pedang terselip dipunggungnya.
“Lihat sumoi, binatang she Ma lewat di sana. Biar aku bikin mampus dia !” Sambil berkata demikian pemuda yang gagah itu lalu mengambil anak panah dan menarik gendewanya, membidik ke arah semak belukar dan melepaskan anak panah itu yang dengan cepatnya meluncur ke dalam semak- semak. Siauw Eng merasa heran sekali dan ketika ia memandang, ternyata anak panah itu telah menancap dan menembus tubuh seekor kelinci putih yang mati pada saat itu juga. Pemuda yang lihai anak panahnya itu, melompat turun dari kudanya sambil tertawa riang, kemudian ia mengambil bangkai kelinci yang dipanahnya tadi, mengangkat tinggi ke atas dan berkata kepada kawannya sambil tertawa,
“Sumoi, lihatlah binatang she Ma ini. Kalau aku bertemu dengan dia, akan kubeginikanlah. Lihat, binatang she Ma sekarang telah mampus, menggerakkan ekornyapun tidak mampu lagi. Ha, ha, ha!”
Gadis yang cantik itupun tertawa. Kebetulan pada saat itu di atas terbang serombongan burung pipit.
“Suheng, sekarang aku akan menjatuhkan binatang she Khu !” Setelah berkata demikian gadis cantik itu merogoh saku dan mengayunkan tangannya ke atas. Sebuah benda putih berkilau meluncur ke atas dan tepat sekali menyerbu ke arah gerombolan burung yang terbang lewat dan jatuhlah seekor burung dari atas, tertancap dadanya oleh sebatang piauw yang berwarna putih karena terbuat dari pada perak. Melihat jarak yang jauh dan tinggi itu, maka diam-diam Siauw Eng mengagumi kepandaian melempar gin-pauw (piauw perak) gadis itu.
Gadis itu turun dari kuda dan memungut kurban piauwnya, lalu mengangkatnya ke atas sambil berkata,
“Beginilah nasib binatang she Khu kalau bertemu denganku !” katanya kepada pemuda itu. Keduanya tertawa-tawa sambil memaki-maki orang-orang she Ma dan she Khu.
Siauw Eng merasa heran sekali mengapa kedua orang muda yang gagah dan kaya ini demikian benci kepada orang-orang she Ma dan she Khu sehingga mereka mengumpamakan binatang-binatang buruan mereka sebagai orang-orang yang dibencinya itu. Ia tidak tahu bahwa kedua orang ini semenjak kecil memang telah dijejali rasa benci, dendam dan permusuhan terhadap dua keluarga Ma dan Khu, selalu diajar untuk membenci dua nama itu oleh ibu mereka. Mereka adalah putera puteri keluarga Gu. Pemuda itu bernama Gu Liong, putera tunggal nyonya janda Gu Keng Siu yang tidak mau kawin lagi.
Sedangkan gadis itu adalah Gu Hwee Lian, puteri nyonya janda Gu Leng Siu yang kawin lagi dengan Gan Hok, perwira berpangkat Touwtong di kota Lok-keng.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, nyonya Gu Keng Siu yang merasa sakit hati karena kematian suaminya di tangan keluarga Ma dan Khu, lalu menyuruh putera tunggalnya untuk belajar silat kepada Gan Hok yang menjadi suami nyonya Leng Siu dan menjadi ayah tiri Gu Hwee Lian. Oleh karena ini, maka Gu Liong dan Gu Hwee Lian menjadi saudara seperguruan dan mendapat latihan ilmu silat dari Gan Hok yang berilmu tinggi.
Semenjak kecil, ibu mereka dan juga Gan Hok, menanamkan bibit permusuhan dalam hati kedua anak muda ini dan menceritakan betapa ayah mereka, yakni putera pangeran Gu Leng Siu dan Gu Keng Siu, juga kakek mereka pangeran Gu Mo Tek, telah menjadi korban keganasan dua orang pemberontak bershe Khu dan Ma dan bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk membasmi setiap keturunan kedua keluarga itu.
Karena itulah, maka tiap kali berburu binatang, kedua anak muda ini sambil berkelakar memaki-maki nama Khu dan Ma untuk melampiaskan rasa sakit hati dan dendam mereka karena tidak tahu di mana adanya keturunan kedua orang keluarga itu dan mereka ini harus membalas kepada siapa.
Biarpun Siauw Eng sama sekali tidak tahu tentang hal ini dan tak pernah mendengar tentang nama keluarga Khu dan Ma itu, namun ia merasa kurang senang melihat kelakuan kedua orang muda yang memaki-maki dan menghina dua keluarga tak terkenal itu. Ia lalu melompat keluar mendekati mereka.
“Eh, kalian ini apakah sudah miring otakmu ? Kelinci disebut she Ma dan burung she Khu, kalau bukan orang yang berotak miring tak nanti bicara tidak keruan seperti kalian berdua !” tegurnya.
Gu Liong dan Gu Hwee Lian terkejut dan memandang. Mulut Gu Liong terbuka dan kedua matanya menatap dengan penuh kekaguman. Sedangkan Hwee Lian juga memandang kagum karena sikap Siauw Eng memang gagah sekali. Akan tetapi teguran Siauw Eng itu setidaknya membuat kedua anak muda ini marah juga, terutama sekali Gu Liong. Kalau saja yang memaki dia gila itu bukan seorang dara muda yang demikian cantik jelitanya, tentu ia sudah menggunakan kepalan menghajar orang itu. Sebaliknya, Hwee Lian agaknya tidak mempedulikan teguran Siauw Eng, karena kembali gadis ini mengambil piauw peraknya dan ketika pada saat itu ia melihat seekor kelinci berlari keluar dari semak, cepat piauwnya menyambar dan ia berkata, “Nah, seorang keturunan Ma mampus lagi.”
Siauw Eng cepat membungkuk dan tahu-tahu ia telah memungut batu kerikil yang dilemparkannya ke depan. Gerakkannya ini cepat sekali dan tahu-tahu batu kerikilnya telah membentur gin-piauw yang melayang ke arah perut kelinci itu hingga senjata tersebut menyerong arahnya dan tidak mengenai kelinci.
Gu Liong dan Hwee Lian terkejut dan marah melihat kelancangan nona baju merah ini. “Siapakah kau yang berlancang tangan dan datang-datang selain memaki kami juga berani mengganggu dan memukul gin-pauwku ?” tegur Hwee Lian dengan muka merah.
“Kelinci diburu untuk dimakan dagingnya, bukan untuk main-main. Dan kalau kalian benar-benar membenci orang-orang she Ma dan Khu carilah mereka dan ajak bertanding, tidak memusuhi binatang- binatang yang tak berdosa. Perbuatan kalian ini hanya menunjukkan sikap penakut saja. Tidak dapat dan tidak berani menghadapi orangnya lalu memuaskan nafsunya kepada binatang-binatang tak berdaya. Hih, tak tahu malu !”
Sepasang mata Hwee Lian yang bersinar lembut itu mengeras dan ia menjadi marah sekali. Sambil menuding kepada Siauw Eng, ia menegur, “Kau ini orang lancang dan bermulut panjang, mengapa mencampuri urusan orang lain. Kalau kau merasa gagah perkasa dan ingin menjadi pembela segala kelinci dan burung, kau majulah ! Aku hendak membunuh kelinci dan burung sebanyak yang kusukai, hendak menyebut mereka dengan nama apa saja, apa perdulimu ?”
Siauw Eng adalah seorang yang selain keras hati, juga mau menang sendiri saja. Maka mendengar ucapan Hwee Lian dan melihat betapa dua orang yang berpakaian indah itu menjadi marah, ia tersenyum menghina dan berkata,
“Pendeknya, aku melarang kalian memaki-maki di depanku !”
Gu Liong tertawa mengejek, “Hm, kau hendak membela keluarga Ma dan Khu ?” “Siapa sudi membela mereka ? Aku tidak kenal mereka !” jawab Siauw Eng marah.
Gu Hwee Lian tertawa penuh olok-olok, “Kalau begitu, kau tentu menjadi pembela kelinci dan burung !”
Kedua saudara Gu itu tertawa geli sambil memandang Siauw Eng hingga dara baju merah itu menjadi marah sekali. Dicabutnya pedang dari pinggangnya dan sambil menuding dengan tangan kiri ia membentak,
“Dua manusia rendah, kau berdua majulah ! Jangan hanya berani menghina segala binatang kecil tak berdaya, hendak kulihat apakah kepandaian kalian sebagus pakaian yang kalian pakai !”
Gu Liong dan Gu Hwee Lian adalah murid Gan Hok yang berilmu tinggi dan mereka telah mendapat latihan silat semenjak kecil, maka selain lihai, mereka inipun berhati tabah sekali. Kini melihat tantangan Siauw Eng, tentu saja mereka tidak menampik dan serentak mereka lalu mencabut pedang masing- masing dan maju.