“Hah, bodoh. Tentu saja untuk diketahui dan diingat. Apalagi gunanya nama ? Aku sudah tahu namamu, maka tak baik kalau aku tidak memberitahukan namaku pula. Aku she Gak bernama Siauw Eng. Nah, kita sudah seimbang sekarang, tidak saling menghutangkan !” Setelah berkata demikian, Siauw Eng lalu berlari cepat meninggalkan hutan itu. Pelayan hotel menjadi terheran-heran melihat nona baju merah itu masih hidup dan kembali dalam keadaan selamat.
“Li-enghiong, kau benar-benar sehat-sehat saja dan tidak apa-apa ?” tanyanya dengan heran. “Kami seluruh pengurus hotel merasa terkejut dan khawatir melihat bahwa jendela kamarmu terbuka
dan kau tidak kelihatan berada di kamar. Kami menyangka bahwa kau tentu menjadi kurban siluman-
siluman jai hwa cat itu. Tidak tahunya, setelah kami hilang akal, kau datang. Aneh,...aneh !”
Siauw Eng tersenyum manis dan berkata, “Jangan khawatir lopeh. Mulai sekarang takkan ada gangguan jai hwa cat lagi !”
Pelayan tua itu memandangnya dengan mata terbelalak. “Apa ? Kau sudah berhasil mengusirnya, li- enghiong ?” Dan ketika Siauw Eng menganggukkan kepala, pelayan tua itu melemparkan sapunya dan berlari-lari keluar sambil berteriak-teriak, “Jai hwa cat sudah diusir pergi ! Penjahat itu sudah dibunuh oleh li-enghiong .... oleh ” Tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum mengetahui nama Siauw Eng, maka
selagi orang-orang di jalan memandangnya dengan bengong ia berlari pula memasuki hotel dan menyerbu kamar Siauw Eng sambil bertanya,
“Mohon tanya, lihiap, siapakah nama lihiap yang mulia ?”
Siauw Eng tersenyum girang dan berkata, “Sebut saja Gobi Ang Sianli!”
Kembali pelayan tua itu berlari keluar dan berteriak-teriak dengan muka girang dan suara keras.
“Jai hwa cat telah diusir pergi pendekar wanita yang bermalam di hotel kami. Sudah dibasmi oleh Gobi Ang sianli, Bidadari merah dari Gobi-san ! Mulai sekarang kota kita takkan terganggu lagi. Hidup Gobi Ang Sianli !”
Sambil berteriak-teriak, pelayan itu berlari-lari ke seluruh penjuru kota hingga sebentar saja semua orang tahu akan hal ini dan semua orang lalu berkerumun mengunjungi hotel itu untuk menyaksikan pendekar wanita yang telah menolong kota mereka itu.
Melihat hal ini, Siauw Eng menjadi malu sendiri di dalam hatinya, oleh karena sesungguhnya bukan dia sendiri yang mengusir kedua pendeta cabul itu dan kalau saja tidak bertemu dengan Cin Pau, banyak sekali kemungkinan ia akan menderita celaka di dalam tangan kedua saikong yang kosen itu. Ketika pelayan tua itu datang dan minta supaya ia suka keluar menemui semua penduduk yang sudah berdiri dan berkumpul di depan hotel, Siauw Eng lalu berkemas dan mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung. Kemudian ia hendak membayar uang sewa kamar, akan tetapi dengan sungguh-sungguh pelayan tua itu menolaknya.
Dengan diiringkan oleh pelayan yang membongkok-bongkok dengan hormat dan girang, Siauw Eng keluar dari hotel dan benar saja, di luar telah berkumpul banyak sekali orang. Ketika ia muncul, semua orang memandang dengan bengong karena tak mereka sangka bahwa pendekar wanita yang menolong mereka adalah seorang gadis muda yang telah membuat mereka lupa bahwa mereka datang hendak menghaturkan terima kasih dan kini mereka hanya berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga !
“Tentu dia seorang bidadari tulen !” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tua berseru dan seruan ini menyadarkan semua orang. Orang-orang yang berdiri di depan lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua orang yang di belakang dan mereka menghaturkan terima kasih kepada Gobi Ang Sianli. Siauw Eng merasa tidak enak sekali dan baru kali ini ia merasa tidak enak dihormati dan dipuja seperti itu. “Dengarlah, cuwi sekalian ! Bukan aku saja yang menghalau penjahat-penjahat itu, masih ada lagi seorang pendekar muda bernama Ong Cin Pau. Kepadanyalah seharusnya cuwi mengucapkan terima kasih !”
Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah dan tahu-tahu ia telah lenyap dari situ. Semua orang merasa kagum sekali dan di antara sekian banyak orang itu terdapat seorang pemuda baju putih yang tersenyum-senyum. Akan tetapi Siauw Eng tidak melihatnya karena ia tadi bersembunyi di belakang orang banyak, bahkan ikut pula berlutut.
Siauw Eng melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena ia sudah merasa rindu sekali kepada ibunya. Ia tidak mau menunda-nunda perjalanannya dan tidak mampir-mampir di kota lagi, akan tetapi terus saja melewati kota-kota dan dusun-dusun kecuali kalau malam hari tiba.
Karena perjalanan yang dilakukan terus menerus ini, beberapa hari kemudian, tibalah ia di sebuah hutan di luar kota Tiang-an. Hati Siauw Eng berdebar girang karena ia ingat hutan ini yang tidak berobah keadaannya. Ketika ia masih kecil sebelum pergi ke Gobi belajar ilmu silat, ayahnya seringkali mengajaknya ke hutan ini untuk memburu binatang hutan. Di sebelah barat kota Tiang-an memang banyak terdapat hutan dan ketika ia memasuki hutan pertama yang baru beberapa kali didatangi ayahnya dulu karena jauhnya, Siauw Eng memperlambat larinya sambil melihat-lihat. Beda sekali keadaan hutan-hutan di timur ini dengan di sebelah barat, beda pohon-pohonnya, bahkan berbeda pula suara-suara burung yang berkicau di pohon-pohon itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara kerbau menguak dan kemudian mendengar suara suling bambu. Ia menjadi terkejut dan heran. Ia tidak tahu bahwa memang terdapat beberapa buah dusun di dekat hutan itu sebelah selatan. Ketika ia menghampiri, ternyata di satu tempat yang banyak rumput hijaunya, nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun duduk di bawah sebatang pohon besar. Tiga ekor kerbau sedang makan rumput di dekatnya dan orang itu meniup sulingnya dengan asyik.
Siauw Eng merasa tertegun karena di sebelah kanan orang itu terdapat dua gundukan tanah yang jelas sekali menyatakan bahwa di bawah tanah itu ada dua orang manusia dikubur. Pakaian orang itu sederhana saja dan mudah dilihat bahwa dia adalah seorang petani yang hidup berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari tubuhnya yang sehat dan wajahnya yang berseri.
Ketika petani yang meniup sulingnya itu melihat Siauw Eng, tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan terkejut dan heran, akan tetapi mata Siauw Eng yang tajam itu masih dapat melihat sinar kagum dari kedua mata yang jujur itu.
“Sahabat teruskan tiupan sulingmu, merdu benar bunyinya,” kata Siauw Eng sambil tersenyum manis.
Petani itu makin gugup dan bingung, karena kecantikan Siauw Eng yang muncul dengan tiba-tiba itu membuatnya heran sekali dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian, setelah ia melihat sikap gagah dan pedang yang tergantung di pinggang Siauw Eng ia lalu berdiri dan menjurah dengan hormat sekali. “Lihiap, tentulah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa.”
Siauw Eng tersenyum lagi. “Bagaimana kau bisa tahu ?”
“Lihiap membawa-bawa pedang dan berani seorang diri melalui hutan yang banyak terdapat binatang buas ini.”
“Kau cerdik, sahabat. Akan tetapi aku tidak mengerti mengapa kau sendirian pun berani berada seorang diri di sini dengan enak-enak dan ayem, apakah kau juga memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga tidak takut akan binatang liar.”
“Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali mencangkul tanah dan meniup suling, akan tetapi apa yang aku takutkan ? Aku tidak berada seorang diri, dan selama saudaraku, tanduk baja mengawaniku di sini, aku tak takut kepada binatang apapun juga !”
Siauw Eng memandang ke sekelilingnya untuk mencari dan melihat kawan petani yang diandalkan dan yang bernama Tanduk Baja itu, akan tetapi ia tidak melihat orang lain disitu. “Mana kawanmu yang gagah itu ?” tanyanya.
Petani itu dengan bangga lalu menghampiri seekor di antara ketiga kerbaunya yang sedang makan rumput dan sambil menepuk-nepuk punggung kerbau yang besar itu ia berkata, “Inilah dia, Saudaraku Tanduk Baja ! Telah dua kali ia menghadapi harimau dan dengan tanduknya merobek-robek perut harimau itu. Dengan adanya dia di sini, apakah yang aku takutkan ?”