Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 25

NIC

“Kuda liar ! kalau aku tak bisa menangkapmu hidup-hidup, biarlah aku sembeli kau dan panggang dagingmu untuk mengisi perut !”

Hinaan ini membuat seluruh muka Siauw Eng menjadi merah dan ia balas memaki, “Siluman keparat ! Hari ini aku Gobi Ang Sianli mengirim nyawamu yang rendah dan kotor ke neraka jahanam !” Kemudian ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sin Coa Kiam hoat atai Ilmu Pedang Ular Sakti. Ban Lek Hoatsu melawan dengan hebat dan diam-diam pendeta cabul ini terkejut sekali karena ia dapat melihat bahwa ilmu pedang itu adalah ilmu pedang yang ternama dan lihai sekali dari partai Gobi- san. Ia merasa menyesal karena tanpa disengaja ia telah bentrok dengan seorang anak murid Gobi-pai yang lihai. Akan tetapi oleh karena sudah kepalang, dan pula lebih baik ia binasakan saja anak perempuan ini dari pada nanti rahasianya dibongkar dan dirinya dibenci oleh kaum persilatan dari Gobi- san, maka ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.

Sementara itu, Pit Lek Hoatsu yang juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang dara baju merah itu, segera melompat dan bersiap membantu sutenya, akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang pemuda tampan berpakaian putih telah berdiri di depannya. Pit Lek Hoatsu marah sekali ketika melihat bahwa pemuda ini adalah pengejarnya malam tadi, maka tanpa banyak cakap ia lalu menerjang dengan pedangnya.

Pendeta-pendeta cabul ! Sungguh kalian harus malu terhadap sang Buddha !” Cin Pau menegur marah dan kata-kata ini membuka mata Siauw Eng bahwa yang menjadi penjahat pemetik bunga sebenarnya adalah dua orang saikong ini dan bukan si pemuda baju putih yang tampan. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa girang mendapat kenyataan ini, dan kebenciannya terhadap lawan yang dihadapinya bertambah. Ia lalu merobah-robah ilmu pedangnya, sebentar memainkan Sin Coa Kiam hoat dan pedangnya menyerang dari bawah dengan ganas dan lihainya, sebentar lagi ditukar dengan Pek Tauw Kiam hoat hingga tubuhnya yang ringan itu melompat tinggi dan melakukan serangan dari atas seakan- akan seekor rajawali menyambar korbannya. Namun ilmu kepandaian Ban Lek cukup lihai dan ditambah pula dengan pengalamannya yang puluhan tahun lamanya itu, ia dapat menghadapi Siauw Eng yang masih hijau dengan baiknya dan bahkan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Adapun Pit lek Hoatsu yang menghadapi Cin Pau, segera mengeluh di dalam hatinya, oleh karena kalau ilmu pedang Siauw Eng telah membuat ia kagum, adalah ilmu kepandaian pemuda baju putih ini membuatnya terkejut dan heran sekali. Ia seperti mengenal ilmu pedang ini yang mirip dengan ilmu pedang dari Kunlun-pai, akan tetapi gerakan-gerakannya tidak begini cepat dan perubahannya tidak begini hebat. Apa pula, pemuda ini agaknya memiliki ginkang dan lweekang yang tidak berada di bawah kepandaiannya sendiri, bahkan dalam hal ilmu meringankan tubuh, pemuda ini telah mencapai puncak kesempurnaan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan kilat menyambar. Sebetulnya Cin Pau sedang menyerang lawannya dengan menggunakan ilmu pedangnya Kui Hwa Koan Kiam Hoat yang telah mengalami banyak perobahan dan kemajuan itu, apalagi karena yang memainkan adalah seorang pemuda yang memiliki ginkang tinggi dan yang memegang pedang Pek Kim Kiam lagi, maka tentu saja kehebatannya luar biasa pula dan setelah bertempur puluhan jurus, Pit Lek Hoatsu menjadi terdesak hebat.

Oleh karena dia sendiri masih belum dapat mendesak dara baju merah biarpun ia telah mengerahkan tenaga dan kepandaian, maka ketika melihat betapa suhengnya yang lihai itu bahkan terdesak oleh pemuda baju putih, Ban Lek Hoatsu menjadi kuatir sekali. Kedua orang saikong ini diam-diam merasa heran mengapa dalam dunia persilatan bisa muncul orang-orang muda yang luar biasa ilmu kepandaiannya ini.

Pit Lek Hoatsu maklum bahwa apabila ia terus menghadapi pemuda baju putih itu dengan pedangnya, akhirnya ia akan mendapat celaka, maka tiba-tiba ia berseru keras sambil mengambil sesuatu dengan tangan kirinya dari kantong jubahnya yang lebar.

“Rebahlah !” saikong itu membentak dan ketika ia menggerakkan tangan kirinya, tiba-tiba sehelai jala terbuka dan menyerbu ke arah kepala Cin Pau dengan cepat sekali. Pemuda ini terkejut, akan tetapi ia lalu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah jala itu dan akibatnya membuat ia berseru perlahan karena ternyata bahwa jala yang terbuat dari pada kawat baja yang halus dan lemas itu tak dapat terbacok putus, bahkan lalu mengecil dan menggulung pedangnya. Jala kecil ini bekerja sendiri karena di dalamnya telah dipasangi kawat-kawat halus yang berada di jari tangan Pit Lek Hoatsu hingga dapat digerakkan sebagai semacam senjata yang berguna dan yang dapat merampas senjata lawan.

Untung sekali Cin Pau memiliki ilmu tenaga lweekang yang sudah sempurna hingga ia tidak menjadi gugup dan dengan cepat ia mengirim sebuah tendangan Lui Kik ke arah lambung lawan dan berbareng mengerahkan tenaga untuk mencabut kembali pedangnya yang terlilit jala. Usahanya berhasil dan pedangnya terlepas lagi karena dengan terkejut Pit lek Hoatsu terpaksa melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tendangan maut itu.

Merasa tak kuat menghadapi Cin Pau yang gesit, Pit lek Hoatsu lalu berseru, “Sute, mari kita pergi!” Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak ke arah Cin Pau dan segenggam bubuk pasir hitam menyerang ke arah muka, dada, dan perut Cin Pau. Pemuda itu mencium bau amis, maka cepat ia menahan napas dan mengelak karena maklum bahwa senjata rahasia ini tentu berbisa.

“Penjahat curang !” tegurnya ketika melihat betapa Pit lek Hoatsu menggunakan kesempatan itu untuk melompat pergi dengan cepat. Cin Pau lalu mengirim serangan dengan biji-biji caturnya, yakni semacam kepandaian melepas senjata rahasia yang aneh akan tetapi kelihaiannya tak kalah dengan senjata rahasia yang tajam, karena biji-biji catur yang dilepaskannya ini selalu menyerang jalan-jalan darah lawan dan Cin Pau telah mempelajari sampai sempurna betul cara melepas dengan sistim “seratus kali sambit, seratus kali kena.”

Untuk menerjang Pit Lek Hoatsu, Cin Pau hanya melepas dua biji catur yang disambitkan ke arah jalan darah hoat sit hiat dan pek twi hiat. Akan tetapi, Pit Lek Hoatsu benar-benar lihai sekali. Memang benar bahwa sambitan Cin Pau cepat sekali datangnya dan tak dapat dikelit lagi, akan tetapi dengan cerdik sekali Pit Lek Hoatsu menggerakkan tubuh dan mengerahkan lweekangnya sehingga biarpun biji-biji catur itu mengenai tubuhnya, akan tetapi tidak tepat menghantam jalan darah, hanya mengenai daging tubuhnya saja dan mental kembali karena ia telah mengerahkan lweekang yang membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal.

Cin Pau terkejut sekali karena ia tidak tahu akan akal cerdik ini dan menyangka bahwa saikong jahat itu sudah demikian tinggi ilmunya hingga dapat menutup jalan darah dan dapat menahan sambitan caturnya yang jitu. Maka ketika melihat saikong itu melompat pergi, dia tak mau mengejar. Sebaliknya melihat betapa gadis baju merah yang galak itu masih bertempur ramai dengan saikong tinggi kurus tanpa dapat mendesak, ia lalu menyerbu dan membantu.

Akan tetapi, Siauw Eng yang merasa penasaran karena belum juga dapat mengalahkan lawannya sedangkan ia melihat betapa pemuda baju putih itu telah mengusir lawannya, lalu berseru, “Jangan membantu ! Aku tidak minta dibantu !”

Cin Pau tercengang, maka ia lalu urungkan niatnya hendak membantu, bahkan lalu memasukkan pedang di sarung pedangnya dan pergi duduk sambil menonton di bawah sebatang pohon besar.

Siauw Eng menggertakkan giginya dan memainkan jurus paling berbahaya dari Sin Coa Kiam hoat dan Pek Tiauw Kiam Hoat hingga benar saja ia dapat mendesak Ban Lek Hoatsu. Akan tetapi ini hanya karena saikong itu telah bersiap untuk menyusul suhengnya dan pergi dari tempat berbahaya itu.

Namun Siauw Eng tidak memberi kesempatan dan agaknya sudah maklum akan maksud lawannya. Ia ingin melebihi pemuda baju putih itu yang hanya dapat mengusir lawannya. Ia ingin menjatuhkan lawannya yang satu ini agar dapat melebihi hasil pemuda baju putih.

Ban Lek Hoatsu menjadi penasaran dan marah. Sambil berseru keras tangan kirinya bergerak dan sehelai sabuk sutera yang berwarna hitam meluncur ke depan bagaikan seekor ular sungai. Sabuk ini seakan-akan hidup dan meluncur menuju ke leher Siauw Eng dengan kecepatan luar biasa dan gerakan melenggak-lenggok, Siauw Eng cepat menyabet dengan pedangnya, akan tetapi seperti halnya dengan Cin Pau tadi, sabuk hitam itu bahkan melibat ujung pedang di tangan Siauw Eng, dan sebelum gadis itu sampai menarik kembali pedangnya, pedang di tangan Ban Lek Hoatsu telah menikam dadanya. Keadaannya benar-benar berbahaya sekali, akan tetapi Siauw Eng telah mendapat gemblengan hebat dari dua orang tokoh Gobi-san, maka akan percuma saja ia belajar sampai

bertahun-tahun kalau menghadapi serangan semacam ini saja ia dapat dirobohkan. Dengan seruan keras sekali ia melepaskan pedangnya dan kemudian menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke depan, tangan kanan ke dada lawan dan tangan kiri ke pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Cin Pau kagum sekali karena dalam keadaan berbahaya itu, si nona masih dapat mengeluarkan gerakan Eng Jiauw kang yang luar biasa itu.

“Celakalah sekarang saikong itu,” diam-diam ia berbisik.

Akan tetapi ia terlampau memandang rendah kepada Ban Lek Hoatsu, karena biarpun menghadapi jalan buntu ini, saikong itu masih mempunyai senjata yang luar biasa ampuhnya dan yang jarang digunakan, karena kepandaian ini merupakan semacam ilmu sihir yang jahat. Ketika melihat betapa lawannya menggunakan Eng Jiauw Kang yang berbahaya, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulutnya menyembur uap hitam yang menyambar ke arah muka Siauw Eng.

“Lekas buang diri ke belakang !” tiba-tiba Cin Pau berseru karena ia maklum akan bahayanya uap itu. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa memang di kalangan persilatan terdapat berbagai ilmu hitam yang jahat dan yang sering digunakan oleh para penjahat menghadapi lawan mereka. Hoatsut semacam ini memang amat berbahaya hingga sukar dilawan, maka tanpa terasa lagi ia mengeluarkan seruan itu karena terkejut dan kuatir kalau-kalau dara baju merah itu dapat celaka.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw Eng pernah mendapat pelajaran dari Bok Sam Cu tentang hoatsut. Gadis itupun berseru keras dan sambil menarik kembali pedangnya yang kini mudah terlepas dari libatan sabuk sutera hitam, ia lalu menjatuhkan diri berjungkir balik ke belakang. Kesempatan ini digunakan oleh Ban Lek Hoatsu untuk melompat pergi.

“Bangsat rendah jangan lari !” bentak Siauw Eng dengan gemas dan ia melompat pula mengejar.

“Tak perlu mengejar mereka !” tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Cin Pau sudah berdiri di depannya. “Mereka itu berbahaya sekali.”

Siauw Eng memandang gemas. “Kau penakut !” katanya, “orang-orang macam mereka itu harus dibinasakan.”

“Kau sombong sekali,” jawab Cin Pau. “Akan tetapi berani sekali. Baru saja kau hampir mendapat celaka di tangan saikong kurus kering itu dan sekarang masih hendak mengejar. Sungguh berani. Berani, bodoh, dan sombong !” “Apa katamu ?”

“Aku kata kau berani, akan tetapi bodoh dan sombong ?” “Berani benar kau memaki orang !”

“Tidak lebih berani dari pada kau yang mencaci maki aku sesuka hatimu malam tadi. Pembalasan ku ini masih belum ada sepersepuluhnya.”

Wajah Siauw Eng memerah. Ia pandang wajah yang tampan dan gagah itu dengan gemas. Tak biasa orang berlaku kasar kepadanya dan terutama pandang mata pemuda yang agaknya acuh tak acuh kepadanya itu menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia sudah terlalu sering dan sudah biasa melihat pandang mata kagum dari mata laki-laki, terutama laki-laki muda seperti yang berdiri dihadapannya ini.

“Kau licik dan memilih lawan yang lebih lemah. Kalau aku yang menghadapi saikong brewok itu, pasti ia telah mampus di tanganku sejak tadi !” katanya.

Cin Pau tersenyum. Ia maklum bahwa ucapan gadis ini tidak benar, karena kepandaian saikong berewok itu lebih sedikit dari pada kepandaian saikong kurus kering, akan tetapi ia tidak mau membantah karena tahu pula bahwa memang watak gadis ini tidak mau dikalahkan orang.

“Pantas saja kalau kau gagah, bukankah kau sudah mempunyai julukan ? Apa julukanmu tadi ? Aku mendengar bidadari-bidadari begitu “

Dengan cemberut Siauw Eng berkata, “Kau ini selain licik juga bodoh dan singkat ingatan. Baru mendengar sudah lupa. Julukanku Gobi Ang sianli !”

“Hm, kalau begitu kau anak murid Gobi-pai, pantas saja lihai.” Agak senang juga hati Siauw Eng mendapat pujian bahwa ia lihai, biarpun ucapan itu dikeluarkan sepintas lalu saja oleh pemuda itu.

“Kau juga lihai,” akhirnya ia mengaku juga, “tentu kau sudah mempunyai julukan pula.”

Cin Pau tersenyum lagi, kemudian mengangkat pundaknya yang bidang. “Orang semacam aku mana pantas memakai julukan ? Aku tidak mempunyai gelar sesuatu, dan namaku sedehana saja, yakni Ong Cin Pau.”

“Siapa yang menanyakan namamu ?”

Cin pau melengak dan mukanya menjadi merah. Alangkah sombongnya orang ini, pikirnya dengan mendongkol. “Tidak ada yang tanya,” jawabnya cemberut, “kau tanya julukan maka aku memberitahukan namaku.”

Untuk beberapa saat keduanya berdiri diam, seorang memandang ke kiri, seorang ke kanan, seakan- akan di depan masing-masing tidak ada orang. Melihat sikap acuh tak acuh dari Cin Pau, Siauw Eng kecewa dan penasaran. Baru kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang angkuh dan sombong.

“Mengapa kau tidak tanya namaku ?”

Cin Pau menjadi terheran-heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini. Bukan main kukoainya (ganjilnya) dara baju merah yang cantik jelita dan gagah ini.

“Mengapa mesti bertanyakan namamu ? Untuk apa ?” jawab Cin Pau sembarangan, tak mau kalah angkuh.

Siauw Eng menghela napas panjang. “Alangkah baiknya kalau kau tidak sesombong itu !”

Kemudian ia membalikkan tubuh dan berjalan pergi, akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan menengok sambil berkata, “Betul-betul kau tidak ingin mengetahui namaku ?” Cin Pau menggelengkan kepalanya, biarpun hatinya ingin sekali mengetahui nama dara yang lucu dan galak ini. “Untuk apa ?” katanya.

Posting Komentar