Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 23

NIC

“Kalau begitu, biarlah anak turun gunung untuk mencari makam ayah dan untuk menghaturkan terima kasih kepada Un Kong Sian susiok !”

“Memang seharusnya kau pergi mencari makam ayahmu, nak, dan kalau sudah tahu di mana tempatnya, kelak akupun ingin sekali melihatnya. Akan tetapi, kau harus mendapat perkenan dari suhumu lebih dulu.”

Cin Pau lalu kembali ke tempat pertapaan Tiauw It Lojin untuk minta perkenan dari gurunya ini.

Tiauw It Lojin tersenyum dan pertapa yang sudah tua ini lalu berkata, “Cin Pau, memang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung. Akan tetapi, kau harus mampir dulu di tempat pertapaan Beng Hong Tosu di puncak selatan itu. Dulu aku pernah berjanji bahwa apabila kau telah tamat belajar di sini, kau akan ku kirim kepadanya untuk menerima satu dua macam pelajaran darinya. Ketahuilah, Beng Hong Tosu adalah suhu dari mendiang ayahmu. Ia seorang jago Kunlun yang tinggi ilmu silatnya.”

Cin Pau sudah pernah melihat Beng Hong Tosu, karena selain dulu ketika masih kecil dan datang bersama ibunya ia pernah melihat pendeta itu, juga telah dua kali semenjak ia tinggal di pegunungan Kunlun, tosu itu datang mengunjungi Tiauw It Lojin untuk bermain catur.

Setelah berpamit dari suhunya dan ibunya, Cin Pau lalu turun gunung, mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk berjalan cepat dan melompati jurang-jurang hingga sebentar saja ia sudah nampak mendaki puncak yang berada di sebelah selatan puncak tempat tinggal gurunya. Ketika ia tiba di lereng bukit itu, dari jauh ia melihat bayangan Beng Hong Tosu berlari cepat dan sebentar saja pendeta tua itu telah berada dihadapannya. Cin Pau cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Hong Tosu yang ketika melihatnya lalu tertawa-tawa. Ia membungkuk dan menggunakan kedua tangannya memegang pundak pemuda itu untuk membangunkannya. Cin Pau tiba-tiba merasa betapa kedua tangan itu seakan-akan bukit yang menindih pundaknya, maka tahulah dia bahwa kakek pendeta ini sedang menguji tenaganya. Dengan cepat ia lalu mengerahkan iweekangnya untuk melawan tekanan hebat itu dan tiba-tiba ia merasa tenaga tarikan yang amat hebat hingga tubuhnya hampir saja tertarik berdiri. Akan tetapi karena ia tidak mau membikin malu suhunya yang telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh, ia lalu mengerahkan khikangnya dan mempertahankan diri dengan ilmu Ban Kin Cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati).

Menghadapi Cin Pau yang mengeluarkan ilmu ini hingga tubuhnya tiba-tiba menjadi berat seakan-akan berakar pada tanah. Beng Hong Tosu merasa girang sekali. Ia lalu mengerahkan kepandaiannya dan berkata, “Anak baik, berdirilah kau !”

Bukan main hebatnya tenaga dari tokoh Kunlun-san ini, karena benar-benar tubuh Cin Pau terangkat naik ke atas, akan tetapi tetap saja tubuh pemuda itu masih berada dalam keadaan berlutut seperti tadi. “Bu Eng Cu benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu baik. Pinto tak dapat mengajarmu dalam hal iweekang dan khikang, kau sudah cukup kuat. Ayoh berdirilah dan coba kau melawan pinto!”

Karena maklum bahwa pendeta sakti ini sedang mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi Cin Pau lalu berdiri dan setelah berkata, “Maaf !” ia lalu menyerang dengan pukulan berbahaya. Beng Hong Tosu lalu mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulan terlihai dari cabang Kunlun.

Biarpun keduanya berada di puncak pegunungan Kunlun, akan tetapi asal dan dasar ilmu silat Beng Hong Tosu dan Tiauw It Lojin jauh berbeda. Memang, banyak orang mengira bahwa cabang persilatan Kunlun-pai atau cabang silat Kunlun hanya ada sebuah saja. Pegunungan Kunlun-san adalah sebuah pegunungan yang daerahnya luas sekali sampai ratusan bahkan ribuan mil persegi, dan di atas puncak- puncak banyak bukit itu tinggal banyak sekali orang-orang sakti yang mengasingkan diri atau bertapa. Memang, kuil tempat tinggal Beng Hong Tosu telah terkenal dan dianggap sebagai tempat pusat cabang persilatan Kunlun, akan tetapi selain di situ, masih banyak sekali guru-guru besar yang diam- diam mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, seperti halnya Bu Eng Cu Tiauw It Lojin itu.

Dalam hal ilmu silat tangan kosong, pelajaran Tiauw It Lojin masih menang setingkat dengan ilmu kepandaian Beng Hong Tosu dan hal ini terasa benar oleh Beng Hong Tosu ketika ia menghadapi serangan-serangan Cin Pau. Pemuda ini telah mempelajari ilmu keraskan tangan latihan Bu Eng Cu yang disebut Cin Kang Kim Ko Jiu dan yang membuat tangannya selain kuat, juga memiliki tenaga pukulan lihai sekali, terutama sekali pelajaran Coat Meh Hoat semacam ilmu tiam hwat atau totokan jalan darah yang mirip dengan ilmu totok dari Butong-pai, amat mengejutkan hati Beng Hong Tosu. Hanya berkat pengalaman dan kelihaian iweekangnya saja maka Beng Hong Tosu dapat mempertahankan diri terhadap serangan-serangan Cion Pau.

“Bagus, bagus, lihai sekali !” Berkali-kali Beng Hong memuji dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik di udara dan melompat kebelakang agak jauh.

“Cukup, sekarang marilah kita bermain pedang !” katanya.

Cin Pau tak membantah dan mencabut pedangnya, yakni pedang ibunya yang diberikan kepadanya ketika ia hendak berangkat. Beng Hong Tosu yang tidak membawa pedang, lalu mematahkan sebatang ranting dari pohon yang tumbuh di situ dan melawan Cin Pau dengan ranting itu. Kalau dalam ilmu pukulan tangan kosong, kepandaian Cin Pau boleh dibilang lebih lihai dari pada Beng Hong Tosu, adalah dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tertinggal jauh sekali. Ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam hoat dari Beng Hong Tosu bukan main lihainya, hingga biarpun yang dipegangnya bukan pedang tulen, akan tetapi hanya sebatang ranting saja, namun setelah bertempur belasan jurus saja, Cin Pau telah menjadi pening karena ujung ranting kakek itu seakan-akan telah berubah menjadi puluhan batang yang menyerangnya dari segala jurusan. Baiknya Cin Pau memiliki ilmu ginkang yang tinggi karena suhunya yang berjuluk si Tanpa Bayangan itu memang ahli ginkang yang luar biasa, kalau tidak tentu ia telah kena dirobohkan oleh serangan-serangan ranting yang hebat ini.Akhirnya ia tak dapat menahan lagi dan buru-buru melempar pedangnya ke atas tanah dan maju berlutut, “Teecu mohon diberi petunjuk,” katanya.

Beng Hong Tosu tertawa senang dan ia lalu mengajak pemuda itu ke kuilnya.

“Cin Pau, dalam hal lain-lain kepandaian, pinto yang bodoh tak berani mengajarmu, hanya mungkin dalam hal ilmu pedang, pinto dapat menambah pengetahuanmu sedikit saja.”

Semenjak saat itu, Cin Pau menerima latihan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat yang luar biasa itu dari Beng Hong Tosu. Dulu ayahnya, yakni mendiang Khu Tiong, Ma Gi dan juga Un Kong Sian juga mempelajari ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat ini, akan tetapi selama belasan tahun ini, ilmu pedang tersebut telah mengalami banyak sekali perubahan karena Beng Hong Tosu sebagai penciptanya, tiap kali menghadapi lawan tangguh tentu dapat melihat kekurangan-kekurangan ilmu pedangnya dan oleh karenanya ia lalu mengadakan perubahan di mana perlu hingga dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, Kui Hwa Koan Kiam-hoat mengalami kemajuan hebat dan juga jauh lebih lihai.

Cin Pau telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi hingga ilmu pedang itu dapat dipelajari dengan cepat. Dia hanya memerlukan waktu dua bulan untuk memahami ilmu pedang itu dan telah dapat memainkannya dengan baik sekali, hanya hanya perlu latihan-latihan lebih lanjut. Bukan main girang hati Beng Hong Tosu dan ketika Cin Pau memohon diri untuk melanjutkan maksudnya merantau mencari makam ayahnya, tosu tua itu mengeluarkan sebilah pedang yang berkilauan dan putih cahayanya, memberikan pedang itu kepada Cin Pau sambil berkata,

“Muridku, kau terimalah Pek Kim Kiam ini dan pergunakanlah untuk membela keadilan dan membasmi kejahatan. Kaulah muridku yang terakhir dan terpandai, maka kau berhak menerima pedang ini dan apabila pinto telah meninggal dunia yang kotor ini, dengan pedang ini berhak menyebut diri menjadi ketua Kunlun-pai yang kudirikan.”

Cin Pau menerima pedang itu dengan girang sekali karena pedang Pek Kim Kiam ini memang dibuat khusus untuk bermain ilmu pedang Kui Hwa Koan hingga berat dan ukurannya tepat sekali dan enak dipakai.

“Pedang ibumu biar kau tinggalkan saja di sini karena sekarang juga pinto hendak mengunjungi suhumu dan ibumu. Biarpun telah mengasingkan diriakan tetapi seorang wanita gagah seperti ibumu itu tidak boleh ditinggal oleh pedangnya.”

Cin Pau lalu berlutut dan setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya yang kedua ini, ia lalu melanjutkan perjalanannya turun gunung, Semenjak kecilnya, Cin Pau diberi pakaian putih oleh ibunya yang biarpun tidak memberitahukan tentang kematian ayah anak itu, namun diam-diam ia menganggap bahwa puteranya telah berkabung untuk kematian ayahnya. Akan tetapi, warna putih itu akhirnya menjadi warna kesukaan Cin Pau dan anak ini tidak mau dibuatkan pakaian dari lain warna. Sekarang setelah dewasa, pakaiannya pun tetap putih dan berpotongan sederhana sekali.

Pada suatu senja, ketika Cin Pau berjalan cepat untuk keluar dari sebuah hutan dan mencari penginapan di dusun atau kota terdekat, tiba-tiba matanya yang tajam melihat bayangan dua orang yang bergerak cepat sekali memasuki hutan. Ia lalu cepat bersembunyi di balik pohon dan ketika bayangan itu lewat, ternyata bahwa mereka ini adalah dua orang saikong atau pendeta yang bermuka jahat dan kejam. Seorang di antaranya adalah tua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar dan mukanya yang penuh berewok dengan sepasang mata lebar itu membuat ia kelihatan seperti seekor barongsai mengerikan. Seorang lagi adalah seorang tinggi kurus yang bermuka pucat, juga berjubah lebar seperti seorang pendeta perantau. Di punggung masing-masing nampak gagang pedang dan pakaian mereka yang mewah dan terbuat dari kain indah dan mahal itu cukup mendatangkan kesan kurang baik pada diri kedua orang pertama itu.

Cin Pau menjadi curiga dan diam-diam ia mengikuti mereka memasuki hutan kembali. Akan tetapi ia berlaku amat hati-hati karena mereka berdua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, dapat dilihat dan diduga dengan mudah dari gerak gerik mereka yang gesit dan kuat. Ternyata bahwa kedua orang saikong itu menuju ke sebuah gua yang besar, di dalam hutan itu. Tiba-tiba ia mendengar mereka berbicara tentang “memetik bunga” dan tahulah dia bahwa kedua orang saikong itu adalah orang-orang jahat yang mempunyai kebiasaan buruk dan kejam, yaitu mengganggu anak bini orang. Mereka ini adalah penjahat-penjahat yang biasa disebut Jai Hwa Cat, maka bukan main marahnya.

Akan tetapi, oleh karena belum melihat bukti dan baru mendengar pembicaraan belaka ia tidak mau berlaku lancang dan bergerak maka ia terus mengintai. Setelah hari mulai menjadi gelap, kedua orang saikong itu keluar dari gua dan berlari cepat menuju ke kota di luar hutan itu. Cin Pau tetap mengejar dengan diam-diam.

Posting Komentar