“Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berlatih pedang dengan kau !” Pedangnya lalu diputar hebat sekali sehingga mengeluarkan cahaya berkilauan dan memaksa Siauw Eng melompat mundur dengan kaget, akan tetapi saat itu digunakan oleh pemuda tadi untuk melompat pergi.
“Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana ?”
“Mulutmu busuk sekali, datang-datang mengobral makian !” jawab pemuda itu sambil menoleh dan terus berlari menegur.
“Bangsat kurang ajar, pengecut hina dina,” Siauw Eng memaki lagi sambil terus mengejar.
Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan memutar tubuh. “Apa ? Kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi makian pengecut hina dina itu tak dapat kuterima !” katanya marah sambil menangkis serangan Siauw Eng dengan pedangnya.
“Memang kau pengecut hina dina ! Beraninya hanya mengganggu wanita lemah dan kalau bertemu wanita gagah lalu melarikan diri !” bentak Siauw Eng sambil terus menyerang lagi.
“Eh, eh, nona galak. Tahan dulu ! Kau ini memaki siapakah ?” “Memaki kau, siapa lagi ?”
“Apa salahku ?”
“Kau penjahat Jai-hwa-cat tak tahu diri. Sudah menjadi penjahat masih berpura-pura lagi.”
“Eh, eh, buka dulu lebar-lebar matamu dan lihat sedang berhadapan dengan siapa ? Aku Ong Cin Pau selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi menjadi Jai-hwa-cat
“Bohong ! Buktikan kalau kau memang bukan Jai-hwa-cat !” seru Siauw Eng. Tentu saja pemuda itu tak dapat membuktikannya, maka ia lalu tertawa dan menjawab, “Kau berlagak pintar akan tetapi sebenarnya goblok sekali ! Coba kau sekarang yang buktikan kalau aku benar-benar seorang penjahat busuk.”
“Buktinya kau gentayangan di malam buta di atas rumah orang,” jawab Siauw Eng. “Dan kau sendiri juga berkeliaran di atas rumah orang pada waktu yang sama.”
Marah sekali gadis itu. “Kau kau pandai memutar lidah. Kau penjahat busuk hina dina !”
Sambil memaki-maki dengan marah sekali Siauw Eng lalu menyerang lagi dengan hebatnya, akan tetapi pemuda itu melawan dengan baiknya dan ternyata bahwa ilmu pedangnya tinggi dan lihai sekali.
“Sudahlah, kau gadis bodoh kurang pengalaman yang bisanya hanya menuduh orang secara membuta. Apa kaukira kau sendiri saja yang cukup gagah dan berani menangkap penjahat ? Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi !” Kemudian ia lalu melompat cepat dan ketika Siauw Eng mengejar, pemuda itu lari masuk ke dalam sebuah hutan.
Siauw Eng merasa penasaran sekali. Menurut kebiasaan orang-orang gagah, juga menurut nasehat guru-gurunya, seorang lawan yang telah lari ke dalam hutan tak boleh dikejar, oleh karena hal ini berbahaya sekali. Akan tetapi Siauw Eng yang marah dan penasaran tidak memperdulikan pantangan ini dan terus mengejar masuk ke dalam hutan.
******
Pemuda yang berpakaian serba putih, berwajah tampan dan berkepandaian tinggi itu memang benar Ong Cin Pau, putera Lin Hwa dan mendiang Khu Tiong yang telah diambil murid oleh Bu Eng Cu Tiauw It Lojin si Tanpa Bayangan dan di bawa ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah bukit di pegunungan Kunlun-san sebelah utara.
Lin Hwa, ibu Cin Pau, setelah berpisah dari Kong Sian dengan hati patah dan hancur, lalu kembali ke Kunlun-san dan akhirnya dapat mencari tempat tinggal Bu Eng Cu dan diperkenankan tinggal bertapa di sebuah gua, mendekati puteranya dan hidup mengasingkan diri di puncak Kunlun-san itu. Cin Pau mendapat gemblengan ilmu silat dari Tiauw It Lojin selama belasan tahun, dari usia empat tahun sampai tujuh belas tahun. Dan ketika ia telah berusia tujuh belas tahun, ibunya yang kini telah menjadi seorang pertapa itu, lalu menceritakan kepadanya tentang riwayat hidupnya yang penuh penderitaan.
Bukan main hancurnya hati Cin Pau mendengar penuturan ini. Tadinya ia masih menyangka bahwa ayahnya adalah Kong Sian yang baik hati itu dan yang tetap dianggapnya sebagai ayah sendiri.
“Kong Sian bukanlah ayahmu, pau-ji (anak Pau), dia itu adalah pamanmu karena ia adalah sute dari ayahmu. Akan tetapi dia baik sekali, anakku, dialah orang termulia dalam dunia ini setelah ayahmu. Kita berhutang budi kepadanya dan boleh dibilang bahwa kita dapat hidup sampai sekarang ini berkat jasa dan pertolongannya.” Kemudian dengan panjang lebar Lin Hwa menceritakan betapa Un Kong Sian telah membelanya mati-matian ketika dikejar oleh para perwira kerajaan.
“Dimana dia sekarang, ibu ? Mengapa pula ia yang begitu baik telah meninggalkan kita di sini ?”
Ibunya tersenyum. “Tentu saja dia harus pergi, anak bodoh. Dia mempunyai rumah tangga sendiri di Tiang-an, di rumahnya menunggu seorang ibu yang sudah tua dan seorang isteri yang setia.”
“Dan di mana makam ayah dan Ma susiok yang terbinasa oleh perwira-perwira kerajaan itu, ibu ?”
“Aku sendiri juga tdak tahu, anakku. Dulu ayahmu dan saudara seperguruannya itu dikepung dalam sebuah hutan di luar kota raja. Hal ini kiraku hanya Un Kong Sian yang dapat memberi keterangan karena dia itu tahu akan segala peristiwa dengan jelas.”
Cin Pau termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Ibu, anak mau turun gunung !” Ibunya terkejut, “Eh, mengapa begitu tiba-tiba ? Hendak ke mana ?” “Beritahukan kepadaku, ibu, kepada siapa aku harus menuntut balas atas kematian ayah dan Ma- susiok!” katanya dengan gagah.
Ibunya menghela napas dan menjawab, “Tidak ada gunanya segala balas membalas itu, nak. Dulu ibumu memang merasa penasaran sekali dan ingin menghancurkan setiap perwira kerajaan. Akan tetapi sekarang aku dapat melihat bahwa tak baik menuruti hawa nafsu. Perwira kerajaan demikian banyaknya dan aku tidak tahu senjata dan tangan siapa yang melayangkan nyawa ayahmu. Tidak mungkin dan tidak seharusnya kalau kita menaruh dendam kepada setiap perwira kerajaan, karena masih kuingat bahwa di antara para perwira itu, banyak pula yang gagah dan budiman. Kakekmu dan kakek she Ma dikhianati oleh pangeran Gu Mo Tek hingga keluarga kita dan keluarga Ma hancur binasa oleh para perwira yang hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar yang juga hanya karena sudah seharusnya membasmi mereka yang memberontak terhadapnya. Jadi pada hakekatnya, sakit hati hanyalah terhadap pangeran Gu saja dan ayah serta susiokmu telah berhasil membalas dendam itu dengan membunuh pangeran Gu Mo Tek. Kalau kuingat-ingat, aku merasa menyesal sekali mengapa ayah dan susiokmu itu juga membunuh kedua putera pangeran Gu karena kuanggap mereka tidak berdosa.” Kembali Lin Hwa menghela napas dan diam-diam ia merasa khawatir karena ia maklum pula bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, isteri kedua putera pangeran itu, yang seorang telah mempunyai anak dan yang kedua telah mengandung.
Mendengar kata-kata ibunya yang panjang lebar itu, Cin Pau menundukkan kepalanya dan biarpun ia masih muda, namun ia telah menerima banyak pelajaran batin baik dari ibunya maupun dari suhunya, maka pandangannya luas dan ia dapat membenarkan pendapat ibunya ini.