Sambil mendekap telinga kanan yang kini tidak berdaun lagi serta mengeluarkan banyak darah itu, Ci Lui menyerang lagi dengan nekad dan mati-matian, akan tetapi sebuah tendangan kilat telah membuat pedangnya terlepas dari pegangan dan tendangan kedua membuat ia tak kuasa berdiri karena sambungan lututnya kena tendang.
Siauw Eng menggerak-gerakan pedangnya dan berkata,
Sekarang kau mengakulah bahwa kau hanya seorang penipu rendah dan bahwa kau sama sekali bukan seorang utusan Kaisar. Baru aku mau mengampuni jiwamu.”
Sementara itu, semua orang kampung yang melihat bahwa musuh besar yang diam-diam mereka benci itu telah mendapat hajaran hebat, makin lama makin banyak berkumpul dan orang-orang dusun lain juga berdatangan berikut kepala-kepala kampung mereka. Mereka ini lalu berseru dan berteriak-teriak, “Bunuh saja penipu ini !”
“Nah, kau mendengar itu ? Ayoh membuat pengakuan !” bentak Siauw Eng lagi.
Terpaksa Ci Lui lalu merayap berdiri dan berkata dengan suara lemah. “Aku aku memang bukan
utusan siapa-siapa ”
Orang-orang berteriak marah dan para pemburu mengangkat tombak hendak menyerang Ci Lui, akan tetapi Siauw Eng mengangkat tangan ke atas mencegah, “Jangan bunuh dia, aku telah memberi janjiku
!”
“Lihiap, dia terlalu jahat, pantas mendapat hukuman mati !” teriak seorang kepala kampung dengan marah.
“Hukumannya terlalu ringan !” teriak orang lain.
“Siauw Eng lalu membentak Ci Lui, “Kau tidak lekas minggat dari sini ?”
Mendengar ini, sambil memegang tempat di mana telinganya tadi berdiri, Ci Lui lalu berkata kepada Siauw Eng, “Lain kali kita bertemu pula !” Lalu ia melarikan diri secepatya meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berkumpul dari beberapa dusun itu dengan girang sekali lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Siauw Eng dan setelah gadis gagah ini memberi nasehat agar harta benda Ci Lui dibagi-bagi di antara mereka dengan adil dan memperlakukan serta menolong bekas
isteri-isteri penipu itu dengan baik pula, lalu pergi meninggalkan dusun itu. Benar sebagaimana ramalan ketiga orang pemburu yang dulu bertemu dengan Siauw Eng, nama gadis ini sebagai Gobi Ang Sianli, dipuji-puji dan dikenang oleh para penduduk dusun-dusun di daerah itu sampai beberapa turunan.
Beberapa pekan kemudian, Siauw Eng mulai melalui kota-kota besar hingga menggembirakan hatinya karena sudah lama sekali ia tidak pernah melihat kota-kota besar dengan rumah-rumah dan bangunan- bangunan indah. Akan tetapi, berbeda dengan ketika ia melewati dusun-dusun, kini hampir semua mata memandangnya dengan kagum dan bahkan pandangan mata orang-orang muda yang melihatnya di dalam kota membuat ia mendongkol sekali oleh karena pandangan itu mengandung maksud kurang ajar. Ia sama sekali tidak tahu bahwa hal itu bukanlah semata-mata salahnya para pemuda itu, akan tetapi oleh karena kecantikannya memang menyolok mata sekali.
Pada masa itu, sukar sekali melihat gadis cantik oleh karena para gadis jarang meninggalkan kamar dan apabila mereka keluar selalu tentu naik joli yang menutupi seluruh tubuh mereka. Banyak juga wanita-wanita kangouw yang melakukan perjalanan, akan tetapi belum pernah ada wanita secantik Siauw Eng yang berjalan di jalan umum dan terlihat oleh setiap orang.
Ketika pertama kali memasuki kota dan dipandang sedemikian rupa oleh orang-orang yang bertemu di jalan, memang ia merasa bangga dan senang, akan tetapi lambat laun karena terlalu banyak orang memandangnya, dengan kagum, ia menjadi jemu dan bosan.
Maka ia lalu buru-buru mencari sebuah hotel di tengah kota. Seorang pelayan yang telah agak tua usianya menyambutnya dan pelayan yang peramah ini lalu mempersilakannya memilih kamar. Ketika melihat betapa pandang mata pelayan tua ini sama saja dengan orang-orang di kota, Siauw Eng tidak tahan lagi untuk tidak menegur.
“Eh, Lopek ! Kau ini sudah tua akan tetapi pandangan matamu sama saja dengan orang-orang lelaki muda yang kurang ajar. Agaknya semua lelaki di dalam kota ini memang kurang ajar dan tidak sopan.”
Mula-mula pelayan itu terkejut mendengar teguran ini, akan tetapi ia lalu tersenyum geli dan sambil membongkok-bongkokkan tubuhnya ia berkata, “Maaf, li-enghiong (pendekar wanita), memang kau ini luar biasa sekali. Aku memang kagum padamu, akan tetapi jangan salah sangka, lihiap, kekagumanku berbeda dengan kekaguman orang lain. Biarpun aku juga kagum melihat lihiap yang cantik seperti bidadari ini, akan tetapi aku lebih mengagumi keberanian dan kegagahanmu.”
Siauw Eng senang mendengar omongan pelayan yang suka ngobrol ini, maka setelah ia mendapatkan sebuah kamar yang menyenangkan, lalu ia bertanya lagi, “Bagaimana kau dapat mengagumi keberanian dan kegagahanku kalau kau belum menyaksikannya sendiri ?”
“Li-enghiong, dengan berjalan seorang diri dan membiarkan dirimu yang cantik jelita ini kelihatan oleh umum, sudah termasuk keberanian luar biasa sekali. Jangankan diperlihatkan kepada umum, sedangkan yang disimpan-simpan juga didatangi dan dicuri orang.”
Siauw Eng terkejut dan heran karena ia tidak mengerti apa maksudnya.
Kemudian dengan suara perlahan dan dengan muka menunjukkan ketakutan, pelayan tua itu lalu menceritakan bahwa di dalam kota itu telah terjadi kejahatan-kejahatan mengerikan, yakni bahwa telah beberapa pekan ini kota itu diganggu oleh seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pekerjaannya mengganggu anak bini orang secara kejam sekali. Dua orang gadis telah tewas dipenggal lehernya karena gadis itu berteriak minta tolong ketika ia datang di malam hari untuk mengganggu.
Bukan main marahnya hati Siauw Eng mendengar penuturan ini, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu. Setelah hari menjadi malam, Siauw Eng lalu mengenakan pakaian ringkas dan dengan hati-hati ia membuka jendela kamarnya dan melompat naik ke atas genteng. Ia bermaksud untuk mencari dan membekuk penjahat yang telah membuatnya marah sekali itu. Penjahat semacam itu harus dihukum mati pikirnya dengan gemas.
Malam itu kebetulan malam terang bulan dan langit bersih dari awan hingga keadaan cukup terang. Ketika ia sedang berlari-lari di atas genteng rumah-rumah orang dengan gerakan demikian gesit dan ringan bagaikan seekor kucing, tiba-tiba ia melihat di atas genteng agak jauh dari situ berkelebat bayangan putih yang gesit sekali. Berdebarlah hati Siauw Eng karena ia merasa pasti bahwa itulah penjahat yang dicari-carinya. Karena gemasnya ia lalu mencabut pedangnya dan mempercepat gerakannya mengejar bayangan itu. Ia merasa heran mengapa penjahat itu demikian beraninya, memakai pakaian warna putih, tidak seperti penjahat biasa yang lebih sering mengenakan pakaian warna hitam.
Akan tetapi, gerakan bayangan putih itu cepat sekali hingga sebentar saja lenyap dari pandangan matanya. Siauw Eng merasa penasaran dan mencari-cari. Tiba-tiba bayangan itu muncul lagi di atas rumah lain yang tak berapa jauh letaknya dari tempat di mana ia berada, maka Siauw Eng lalu melompat dan mengejar. Tadinya Siauw Eng hendak mengintai dan melihat apa yang akan dilakukan oleh bayangan itu untuk mendapat kepastian bahwa bayangan itu memang benar penjahat yang dicarinya, akan tetapi melihat bahwa bayangan itu gesit sekali gerakkannya, maka ia kini ingin menyusul dan langsung menyerang.
Bayangan putih itu agaknya telah melihatnya, karena ia berpaling dan kemudian melarikan diri cepat sekali menuju ke luar kota. Siauw Eng merasa penasaran dan mengejar. Ketika orang yang dikejarnya melompat turun, iapun melompat turun dan mengerahkan ilmu jalan cepat terus mengejar. Setelah tiba di luar kota dan berada di jalan dekat sawah, tiba-tiba bayangan itu berhenti dan menanti Siauw Eng sambil bertolak pinggang. Siauw Eng mempercepat larinya dan mempererat pegangan pedangnya, dan setelah tiba dihadapan bayangan itu, ia melihat dengan tercengang bahwa orang itu adalah seorang laki-laki yang masih muda dan yang mempunyai wajah cakap dan tampan sekali. Pakaiannya berwarna putih dan sederhana sekali, sedangkan kakinya mengenakan sepatu berlapis besi di bawahnya.
Rambutnya diikat ke atas dengan sehelai kain putih, dan pada ikat pinggangnya yang berwarna kuning itu tergantung sebuah kantung piauw. Di punggungnya nampak gagang pedang beronce benang merah emas. Sungguh seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi Siauw Eng tidak mempedulikan ketampanan atau kegagahan orang, segera langsung menyerang dengan pedangnya dan membentak,
“Bangsat rendah. Bersedialah untuk mampus untuk menebus dosamu !”
Melihat sambaran Pedang Siauw Eng yang amat berbahaya itu, pemuda baju putih ini cepat mengelak dan berkata perlahan. “Hm, garang sekali !”
Siauw Eng cepat menyerang lagi dan karena gerakan pedangnya memang cepat dan luar biasa, pemuda itu lalu mencabut pedangnya pula dan sebentar saja keduanya lalu bertarung dengan hebat. Siauw Eng terkejut sekali karena setelah bertempur belasan jurus, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang lawannya ini tinggi dan luar biasa sekali hingga sama sekali ia tidak dapat mendesak. Maka ia lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu pedang Sin Coa Kiam hwat yang mempunyai gerakan- gerakan lihai dan tak terduga, seakan-akan serangan ular yang bersembunyi dibawah rumput.
Pemuda itu mengeluarkan seruan kagum. Ia tidak menyangka bahwa gadis muda berpakaian merah ini demikian lihai, sedangkan tadinya ia memandang rendah. Ketika tadi berlari-larian di atas genteng, ia mendapat kenyataan bahwa orang baju merah yang mengejarnya itu walaupun memiliki ginkang yang cukup sempurna, namun masih belum dapat mengatasi ginkangnya sendiri, maka ia memandang rendah dan sengaja menanti. Tak diduganya sama sekali bahwa orang berbaju itu adalah seorang anak gadis jelita yang begini kosen. Oleh karena ia memang hendak mencoba kepandaian orang, maka setelah melihat bahwa ilmu pedang Siauw Eng benar-benar tangguh dan kalau dilawan tentu akan sukar menjatuhkannya, maka tiba-tiba pemuda itu berkata,