Halo!

Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 20

Memuat...

Siauw Eng tersenyum geli dan berkata dengan suara bangga karena penghormatan ini ? “Mengapa kalian menghaturkan terima kasih ? Biarpun harimau ini tidak kubunuh, ia juga tak dapat mengganggu kalian yang berada di atas pohon !”

“Lihiap tidak tahu, bukan saja lihiap telah menolong jiwa kami bertiga, bahkan lihiap telah menolong keselamatan jiwa orang sekampung kami.”

Siauw Eng merasa heran dan lalu minta diberi penjelasan.

“Kami bertiga tinggal di kampung sebelah selatan hutan ini dan pekerjaan kami adalah pemburu. Boleh dibilang semua orang laki-laki di kampung kami adalah pemburu-pemburu yang mencari penghasilan dengan jalan memburu binatang di hutan ini. Dengan banyaknya binatang di hutan luas ini, maka untuk beberapa lama keadaan kami cukup dan hasil-hasil buruan dapat kami jual ke kampung lain.Akan tetapi, baru kira-kira sebulan ini, muncullah harimau besar ini yang tidak saja mengganggu keamanan, bahkan telah membunuh mati tiga orang kawan kami dan bahkan berani menyerang sampai ke kampung kami dan menerkam seorang anak kecil. Semenjak ada harimau ini, maka kami tidak berani memburu terlalu jauh di dalam hutan hingga penghasilan kami banyak berkurang. Maka, kini lihiap telah membunuh binatang ini, bukankah itu berarti lihiap telah menolong jiwa kami sekampung ?” Kembali ketiga orang itu berlutut dan menghaturkan terima kasih.

Bangga sekali hati Siauw Eng mendengar ini. Baru saja turun gunung, ia telah dapat menolong jiwa orang sekampung. Alangkah bangga dan senangnya kalau kedua suhunya mendengar tentang hal ini.

“Apakah selain harimau ini masih ada lagi binatang lain yang mengganggu kalian ?” tanyanya.

Ketiga orang pemburu itu saling pandang dan agaknya ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi kemudian yang tertua di antara mereka berkata,

“Lihiap, ada sebuah bencana yang telah lama mencekik leher kami akan tetapi yang sebetulnya tak berani kami ceritakan kepada siapapun juga. Namun, melihat kegagahan lihiap, kami sangat mengharapkan pertolongan lihiap untuk tidak tanggung-tanggung menolong kampung kami hingga kalau saja lihiap dapat menolong kami bebas dari gangguan yang satu ini, sampai tujuh keturunan kami akan menjunjung tinggi nama lihiap yang mulia.”

Berseri sepasang mata Siauw Eng yang indah itu. “Coba lekas katakan, siapa dan apa yang mengganggu agar dapat kubasmi sekarang juga.”

Kemudian orang itu menuturkan seperti berikut. Di sekitar hutan itu terdapat beberapa buah dusun yang biarpun kecil dan sederhana, namun cukup makmur karena banyak penghasilan didapat di daerah itu. Setiap dusun mempunyai seorang kepala kampung sendiri yang dipilih oleh orang sedusun dan biasanya yang diangkat menjadi kepala kampung adalah orang tertua dan terkaya. Akan tetapi, kurang lebih setengah tahun yang lalu, di daerah ini datang seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun yang mengaku di utus oleh Kaisar untuk mengepalai daerah itu. Oleh karena ia tidak membawa bukti-bukti dan tanda-tanda ia benar-benar utusan Kaisar, tentu saja orang-orang dusun itu tidak percaya sehingga timbul perkelahian. Akan tetapi, ternyata bahwa orang yang bernama Ci Lui itu amat kosen dan tak seorangpun di antara semua pemburu dan penduduk di daerah itu dapat melawannya. Akhirnya, dengan menggunakan kekerasan, semua orang terpaksa menurut dan tunduk hingga Ci Lui mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin atau kepala dari daerah itu. Ia mengharuskan kepada setiap lurah untuk memberi bagian pajak yang besar kepadanya yang katanya harus dikirimkan ke kota raja, pada hal semua orang dapat menduga bahwa hasil perasan itu masuk kantongnya sendiri. Ia membuat semua rumah gedung di sebuah dusun dan mengawini lebih dari lima orang gadis dusun yang tercantik. Pendeknya, setelah mengangkat diri dengan paksa menjadi kepala daerah di situ, Ci Lui hidup seperti seorang raja dan tak seorangpun berani menentangnya.

“Sebetulnya kami tidak berani menceritakan ini kepada lihiap oleh karena kalau sampai terdengar oleh kepala kampung, kami tentu akan mendapat hukuman. Semua kepala kampung takut sekali kepadanya dan kami tidak berdaya karena memang tidak kuat melawan dia. Kalau lihiap berani dan berhasil menghalau penghalang yang satu ini, tidak saja sekampung kami, bahkan seluruh penduduk di daerah ini akan berterima kasih sekali kepada lihiap.”

“Bangsat betul manusia itu !” Siauw Eng mencaci maki. “Mari kau tunjukkan di mana rumahnya padaku agar aku dapat memotong kedua telinganya !”

Girang sekali hati ketiga orang pemburu itu mendengar akan kesanggupan ini dan mereka lalu mengajak Siauw Eng pergi ke dusun tempat tinggal mereka. Sambil memanggul bangkai macan yang berat itu hingga terpaksa mereka memanggul dan menggotongnya bergantian, mereka dengan wajah girang mengantar Siauw Eng.

Penduduk kampung yang melihat bahwa harimau siluman telah dapat dibunuh, menyambut dengan girang sekali, bahkan ada yang mencucurkan air mata karena girang dan terharunya. Dan dipimpin oleh kepala kampung yang sudah lanjut usianya, semua penduduk lalu berlutut di depan Siauw Eng. Bukan main bangga hati Siauw Eng karena benar saja seperti yang dikatakan oleh ketiga orang pemburu tadi, semua orang kampung menghormat dan menyatakan terima kasihnya dengan sungguh-sungguh dan dengan terharu. Ketika kepala kampung menanyakan nama, dara itu menjawab, “Namaku adalah Siauw Eng, she Gak dan aku datang dari Gobi-san.”

“Kalau begitu, siocia pantas disebut Gobi Ang Sianli (Bidadari Merah Dari Gobi),” kata kepala kampung itu dengan suara keras hingga semua orang kampung bersorak girang menyatakan persetujuan mereka. Siauw Eng dengan muka kemerah-merahan dan mata berseri-seri menjawab,

“Kalau memang kalian hendak menyebutku demikian baiklah mulai sekarang aku memakai julukan Gobi Ang Sianli.” Kembali semua orang bersorak dan pada malam hari itu semua orang dalam keadaan pesta pora dan semua mendapat bagian daging harimau yang mereka benci itu. Bahkan, untuk membalas sakit hati anak-anak, anak kecilpun diberi makan sedikit daging harimau. Akan tetapi, Siauw Eng yang mendengar bahwa harimau itu telah banyak makan manusia, menjadi jijik dan tidak mau ikut makan.

Ketika ketiga orang pemburu yang bertemu dengan Siauw Eng di dalam hutan menceritakan kepada kepala kampung bahwa nona pendekar itu hendak membasmi Ci Lui, ia menjadi pucat sekali dan segera menghadap Siauw Eng.

“Lihiap,” katanya dengan gemetar, “Kuharap lihiap jangan sampai mengganggu orang she Ci itu sungguhpun tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hatiku selain melihat manusia itu mampus sekarang juga.”

Siauw Eng memandang heran. “Eh, kau ini aneh sekali, lopek. Kau ingin melihat dia mampus akan tetapi melarang orang mengganggunya, bukankah ini bertentangan sekali ?”

“Lihiap, orang itu datang dari kota raja dan agaknya ia berpengaruh sekali di sana. Kalau sampai ia diganggu dan kemudian hal ini terdengar oleh para pembesar, bukankah kampung kita akan mendapat hukuman berat ?”

Siauw Eng tertawa dan menjawab, “Lopek, jangan kuatir. Ketahuilah, aku sendiri adalah orang yang tinggal di ibukota Tiang-an dan bahkan ayahku adalah seorang perwira, seorang komandan yang memimpin pasukan besar, maka apakah yang harus ditakutkan menghadapi seorang penipu rendah seperti orang she Ci itu ?”

Mendengar ini, kepala kampung segera berlutut dengan hormatnya, “Ah, tidak tahunya lihiap adalah puteri seorang pembesar tinggi.”

Biarpun hatinya merasa bangga dan senang, namun Siauw Eng merasa tak enak juga melihat kepala kampung yang tua itu berlutut di depannya.

“Sudahlah, lopek. Besok pagi saja antarkan aku menemui orang itu, hendak kulihat sampai di mana kebusukkannya.”

Berita tentang kenyataan bahwa nona baju merah yang gagah perkasa itu puteri seorang pembesar tinggi, membuat semua orang makin tunduk menghormat dan kagum. Pada keesokkan harinya, dengan diantar oleh serombongan pemburu karena kepala kampung sendiri tidak berani mengantarnya, Siauw Eng dengan langkah gagah menuju ke dusun di mana tinggal Ci Lui yang memiliki sebuah rumah gedung besar.

Orang she Ci ini keluar sendiri menyambut kedatangan serombongan pemburu yang disangkanya hendak memberi hadiah hasil buruan seperti biasanya karena memang banyak orang yang menjilat dan berusaha mengambil hatinya. Akan tetapi ia heran sekali melihat bahwa rombongan pemburu itu tidak membawa hasil buruan, dan melihat pula bahwa mereka itu mengikuti seorang nona baju merah yang bersikapgagah dan wajahnya cantik luar biasa.

Sebaliknya Siauw Eng yang mendapat bisikan bahwa orang tinggi besar yang keluar dari gedung itu adalah Ci Lui sendiri, lalu melangkah maju dengan tindakan kaki lebar dan setelah berdiri di depan Ci Lui, ia menuding,

“Kau kah manusia jahanam yang bernama Ci Lui ?”

Bukan main marah dan terkejutnya Cilui mendengar betapa nona cantik ini datang-datang memakinya manusia jahanam. Matanya yang bundar itu bergerak-gerak berputar-putar dan sambil bertolak pinggang ia membentak,

“Perempuan hina dina yang mau mampus. Siapa kau dan dari mana kau datang ? Hai, kalian membawa orang liar ini dari manakah ? Dan apa maksud kalian ? Awas, hal ini tentu akan kulaporkan kepada kota raja dan kalian tentu akan dihukum sebagai pemberontak-pemberontak jahat !”

Semua pemburu ketakutan dan menundukkan kepala tanpa berani bergerak. Akan tetapi Siauw Eng memperdengarkan suara sindiran sambil tertawa.

“Gertak samabal segala bajungan kecil mana dapat menakutkan aku ? Eh, keparat, kalau kau memang benar seorang utusan Kaisar dari kota raja, kenalkah kau kepada seorang perwira bernama Gak Song Ki?”

Ci Lui tertawa dan membelalakkan matanya. “Mengapa tidak kenal ? Aku kenal baik Gak-ciangkun itu. Bukankah ia yang tinggal di sebelah selatan kota dan memiliki rumah gedung yang bercat kuning ?”

Siauw Eng terkejut juga, akan tetapi dengan suara gagah ia bertanya lagi, “Kalau kau kenal baik dengan Gak Ciangkun, tentu kau tahu pula bahwa dia mempunyai seorang puteri yang gagah ?”

“Puterinya ...... ?” Ci Lui ragu-ragu dan bingung. “O, ya, ya aku tentu saja kenal puterinya itu yang

gagah.”

“Hm, bangsat rendah pembohong tolol. Akulah puteri Gak ciangkun yang datang hendak menghukummu !” kata Siauw Eng sambil mencabut pedangnya.

“Bagus ! Kau perampok wanita dari mana dan siapakah namamu ?” teriak Ci Lui dengan marah pula dan ketika tangannya meraba ke belakang punggung, iapun telah mengeluarkan sebatang pedang tajam.

“Dengarlah baik-baik. Aku adalah Gak Siauw Eng yang berjuluk Gobi Ang Sianli !” Sambil berkata demikian, secepat kilat Siauw Eng lalu maju menyerang yang dapat ditangkis oleh Ci Lui dan dibalas dengan serangan hebat. Dan keduanya lalu bertempur dengan seru dan mati-matian.

Ci Lui sebetulnya adalah seorang penjahat yang berkepandaian tinggi. Ia pernah menjadi perampok dan belum lama ini ia bergelandangan di kota raja, bercampur gaul dengan semua buaya dan penjahat, bahkan pernah menjadi tukang pukul seorang pangerandi kota raja. Oleh karena ini, sedikit banyak ia kenal atau tahu tentang para pembesar dan perwira di kota raja. Ilmu silatnya cukup lihai, terutama ia telah mempelajari ilmu pedang Thai kek yang boleh juga, biarpun hanya dipelajarinya secara menjiplak dan bukan langsung dari seorang tokoh Thai Kek.

Akan tetapi, kini ia menghadapi Siauw Eng, anak murid Gobi tulen yang baru saja turun gunung setelah mendapat gemblengan hebat bertahun-tahun di bawah pimpinan ayahnya yang gagah, kemudian hampir lima tahun di bawah pimpinan Cin San Cu dan Bok San Cu. Setelah mencoba dengan dengan segala tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak Siauw Eng, akhirnya Ci Lui terpaksa mengakui kelihaian gadis baju merah itu dan ia terdesak hebat tanpa dapat melakukan serangan balasan lagi. Siauw Eng mempercepat gerakan pedangnya dan dengan teriakan keras, “Lepaskan telinga kananmu

?” pedangnya menyambar dan Cilui menjerit kesakitan ketika ujung pedang Siauw Eng membabat dan membikin daun telinganya putus.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment