Coba ia inginkan itu, dengan leluasa Sin Cie bisa teruskan merampas pedang dan golok orang itu, tapi ia sudah tidak berbuat demikian, ia kuatir Un Cheng mendapat malu dan menjadi tak senang. Juga dengan cara ini, ia telah membuat kaget dua orang yang adu jiwa itu, sebab tidak saja tangan mereka tertolak, tubuh mereka juga mesti mundur beberapa tindak, supaja mereka tak usah rubuh terbalik. Tanpa merasa, tangkisan Sin Cie telah menggempur juga kuda-kuda mereka itu. Maka mereka menjadi kaget dan heran, mereka menjadi gusar juga.
Un Cheng gusar berhubung dengan kejadian semalam dipuncak dimana ia tak dapat muka dari adik misannya ia malu sendirinya terhadap pemuda tetamunya itu.
Si nona tak dikenal menjadi gusar karena ia menyangka Sin Cie, yang keluar dari dalam, adalah konconya lawan itu. Akan tetapi ia insyaf kegagahan orang itu, ia tahu ia tak bakal berhasil, dari itu bukannya ia menegur atau menyerang, ia hanya loncat pula, mundur, untuk angkat kaki.
"Nona, tunggu dulu!" Sin Cie mencegah apabila ia lihat sikap orang. "Aku hendak bicara!"
"Tak dapat aku lawan kamu!" berseru nona itu dalam murkanya. "Bakal ada lain orang yang terlebih pandai dariku, yang akan datang pula akan menagih emas! Kau ingin apa?"
Sin Cie menjura kepada nona itu.
"Jangan gusar, nona," berkata dia. "Aku ingin ketahui she dan namamu yang terhormat..."
"Fui!" si nona berludah. "Siapa sudi ngobrol denganmu!" Dengan satu loncatan, nona ini mencelat keluar pintu.
Sin Cie menjejak dengan kaki kirinya, tubuhnya mencelat hingga ia dapat lewati nona itu, didepan siapa ia menghalang.
"Jangan pergi dulu!" kata dia. "Aku bantu padamu!" Nona itu melengak, ia mengawasi.
"Kau siapa?" tanya dia.
"Aku orang she Wan," jawab Sin Cie. Nona itu berdiam, ia mengawasi dengan matanya mencilak.
"Apakah kau kenal An Toa-nio?" tanya si nona.
Sin Cie rasai tubuhnya seperti menggigil, telapakan tangannya panas.
"Aku Sin Cie!" ia memperkenalkan diri. "Kau toh Siau Hui?"
Mendadak si nona kegirangan hingga ia lupa akan dirinya. Ia sambar tangannya si anak muda dan tarik itu.
"Benar, benar!" serunya. "Kau benar-benar Wan Toako!"
Tapi segera si nona lepas pula cekalannya, mukanya menjadi merah. Ia jengah.
Un Ceng saksikan itu semua, ia menjadi tak leluasa sendirinya.
Un Cheng sebaliknya lantas berseru : "Aku kira kau siapa, saudara Wan, kau kiranya ada mata-matanya Lie Cu Seng yang dikirim kepada kami disini!"
Sin Cie tercengang. Ia benar-benar tak mengerti.
"Aku kenal Giam Ong, itulah benar," kata dia. "Tapi itu tak dapat diartikan aku adalah mata-mata dia. Nona ini ada sahabat lamaku, sudah lebih dari sepuluh tahun kami berpisah dan tak pernah bertemu satu dengan lain. Kenapa kamu berdua bentrok? Bagaimana jikalau aku beranikan diri untuk damaikan kamu kedua pihak."
"Jikalau dia keluarkan emas yang aku minta, baru urusan dapat diselesaikan," kata Siau Hui.
"Apakah demikian gampang?" kata Un Cheng dengan mengejek. "Saudara, mari aku ajar kenal," berkata Sin Cie. "Nona ini ada nona An Siau Hui. Ketika kami masih kecil, kami tinggal bersama. Sampai sekarang ini, sudah sepuluh tahun kami tak pernah saling bertemu."
Dengan dingin Un Cheng awasi si nona, ia tidak memberi hormat, ia pun diam saja.
Tak enak hatinya Sin Cie karena sikap orang itu. "Bagaimana kau kenali aku?" pemuda ini lalu tanya si
nona An.
"Itulah tanda diatas jidatmu!" jawab Siau Hui. "Bagaimana aku bisa lupakan itu? Ketika kita masih kecil, ada datang orang hendak culik aku, dengan mati-matian kau tolong padaku dan kau kena dilukai. Apakah kau telah lupa?"
Memang dijidatnya Sin Cie ada sedikit tanda luka.
Anak muda ini tertawa, dia kata: "Pada hari itu kita sedang main masak-masakan dengan pakai mangkok dan kwali kecil!"
Wajahnya Un Ceng menjadi berubah.
"Pergilah kamu pasang omong, aku hendak masuk kedalam..." kata dia. Terang dia tidak puas.
"Tunggu sebentar!" Sin Cie mencegah. Ia kaget untuk sikapnya pemuda itu. "Siau Hui, bagaimana duduknya maka kau jadi bentrok dengan Un Toako ini?"
"Aku bersama...bersama Cui Suheng..." kata Siau Hui.
Tapi segera ia dipegat.
"Cui Suheng?" demikian Sin Cie. "Apa bukannya Siokhu Cui Ciu San?" "Dia ada cucu keponakannya Siokhu Cui Ciu San," Siau Hui terangkan. "Kami mengantari sejumlah uangnya Giam Ong untuk propinsi Ciatkang. Dia ini orang busuk, ditengah jalan dia merampasnya!..." Dia tuding Un Ceng.
Baru sekarang Sin Cie ketahui, emasnya Un Ceng itu ada hartanya Giam Ong. Jangan kata Giam Ong pernah sambut ia secara terhormat, dan gurunya - Cui Ciu San - sedang bantui Giam Ong itu, walaupun hanya karena Cui Cio San, An Toa-nio dan Siau Hui bertiga saja, pasti dia bantui pihaknya Siau Hui ini. Lain dari itu, emas itu Giam Ong kirim jauh dari Siamsay ke Ciatkang, mestinya itu ada penting sekali. Bukankah Giam Ong lagi bergerak untuk tolong rakyat? Bagaimana ia bisa tak berikan bantuannya? Maka lantas ia ambil putusannya, ia kata kepada Un Ceng : "Saudara, tolong kau lihat aku, baik kau kembalikan emasnya itu."
"Hm!" Un Ceng jawab. "Kau ketemui dulu kedua yayaku ini, Baru kita bicara."
Mendengar kedua orang tua itu adalah yayanya Un Ceng (engkong), Sin Cie pikir, harus ia beri hormatnya, sebab ia toh telah angkat saudara dengan cucu mereka itu. Tidak ayal lagi, ia hampirkan mereka didepan siapa ia paykui.
Si orang tua, yang memegang tongkat, berseru : "Ah, mana aku sanggup terima kehormatan ini? Saudara Wan, silakan bangun!"
Dimulut orang tua ini mengucap demikian, akan tetapi dengan kedua tangannya - setelah ia senderkan tongkatnya dipinggiran kursi - ia pegang kedua ujung bahu si anak muda, untuk dikasih bangun, untuk mana ia telah kerahkan tenaga khie-kangnya.
Sin cie terkejut kapan ia rasai cekalan yang keras, yang membikin tubuhnya seperti hendak terangkat, apabila ia
250 diam saja, tentu tubuhnya bakal terapung tinggi. Maka untuk mencegah, ia lekas-lekas kerahkan juga tenaganya. Secara begini, tanpa terganggu, ia bisa manggut terus sampai empat kali.
Oran tua itu kaget dalam hatinya.
"Liehay khiekangnya anak ini," berpikir ia. "Dengan latihanku dari puluhan tahun masih aku tidak sanggup angkat tubuhnya..." Maka ia lantas saja tertawa berkakakan dan terus kata: "Ceng-jie bilang saudara Wan mempunyai bugee liehay, itulah benar!" Artinya Ceng-jie adalah "anak Ceng" atau "si Ceng".
"Inilah sam-yaya, "Un Ceng terangkan. Kemudian ia menunjuk kepada orang tua yang bertangan kosong. "Ini adalah Ngo-yaya," ia tambahkan.
"Rupanya mereka ini adalah dua diantara Ngo-cou dari Cio Liang Pay," pikir Sin Cie. "Cou" berarti ketua atau leluhur kaum. Maka itu, ia pun memanggil : "Yaya".
Sam-yaya itu, "engkong" ketiga, ada Un Beng San, dan Ngo-yaya, ada Un Beng Go. Mereka tidak senang dipanggil "yaya", maka itu mereka diam saja.
Sin Cie heran atas kelakuan itu, ia pun jadi tak senang. "Ayahku ialah panglima pahlawan penentang musuh,
jenderal di Liautong, dengan aku angkat saudara dengan
cucu kamu, itu toh tak merendahkan derajatmu?" kata dia dalam hatinya. Tapi segera ia menoleh kepada Un Ceng: "Aku minta saudaraku, kau kembalikanlah emasnya nona ini."
"Kau senantiasa menyebut nona, nona saja, tetapi lain orang, tak kau perhatikan!" membalas Un Ceng. "Saudara, kita yang meyakinkan ilmu silat, kita harus hargakan kehormatan," berkata pula Sin Cie. "Emas itu ada kepunyaan Giam Ong, waktu kau rampas, kau tidak ketahui, karenanya, itu tak menjadi soal. Sekarang kita telah mengetahuinya, apabila kita tidak mengembalikannya, itu artinya kita tak me-mandang-mandang."
Un Beng San dan Un Beng Go juga tidak tahu suatu apa mengenai emas itu, mereka sangka itu ada satu kepunyaan suatu saudagar besar, Baru sekarang mereka ketahui dari keterangan Siau Hui dan Sin Cie, dengan sendirinya mereka pun merasa tak enak.Memang mereka tahu pengaruhnya Giam Ong , yang ditunjang oleh banyak sekali orang-orang kangouw kenamaan. Mereka mengerti, apabila mereka tetap tidak mengembalikannya, dibelakang hari mesti tak henti-hentinya datang orang-orang yang akan menagihnya. Dan inilah berbahaya untuk keselamatan mereka.
Un Beng San lantas tertawa. Dia berkata kepada Sin Cie
: "Dengan memandang kepada saudara Wan, pulangilah!" Kata-kata ini ditujukan kepada Un Ceng.
"Tidak, Sam-yaya, itu tak bisa jadi!" kata cucu ini.
"Kau telah berikan separuh kepadaku, yang separuh itu aku akan kembalikan lebih dahulu, "kata Sin Cie pada adik angkat ini.
"Jikalau kau sendiri yang inginkan itu, aku punya yang separuh lagi pun aku akan serahkan padamu," jawab Un Ceng. "Siapa sih yang sudi berpandangan cupat? Siapa sudi anggap emas beberapa ribu tail itu sebagai mustika? Tapi kalau dia yang inginkan, tak suka aku menyerahkannya!" Dan dia tunjuk Siau Hui.
Nona An maju setindak. Ia jadi sangat gusar. "Habis kau ingin bagaimana untuk kembalikan itu?" tanya dia dengan bengis. "Kau sebutkan saja!"
Un Ceng tidak jawab nona itu, ia hanya pandang Sin Cie.
"Sebenarnya, kau hendak bantu dia atau aku?" dia tegaskan toako itu.
Sin Cie bersangsi tapi ia menjawab : "Aku tidak bantu siapa juga, aku cuma hendak turut perkataan guruku..."
"Gurumu? Siapa itu gurumu?" Un Ceng tanya.
"Guruku ada orang penting dalam angkatan perangnya Giam Ong."