Pedang Ular Mas Chapter 35

NIC

"Semua bunga ini adalah tanaman tanganku sendiri, aku larang kau melihatnya!" kata Un Ceng dengan gusar kepada kandanya itu.

"Aku telah lihat semuanya, sekarang aku hendak cium baunya," Un Cheng jawab.

Benar-benar ia dekati beberapa tangkai bunga, untuk dicium berulang-ulang.

Meluap hawa-amarahnya Un Ceng, dia berloncat bangun, dia sambar pohon bunga, dia cabuti itu dengan kedua tangannya, setiap kali ia mencabut, ia terus lemparkan. Ia berbuat itu sambil menangis.

"Baik, baik, kau menghina aku, kau menghina aku!" dia berteriak-terial. "Sekarang aku cabut pohon-pohon mawar ini, siapa pun tak bisa melihatnya lagi! Sekarang tentu Barulah kau puas!"

Lebih daripada dua-puluh pohon mawar telah menjadi korban.

Un Cheng tetap sangat gusar, akan tetapi dia bungkam, ia putar tubuhnya dan bertindak dengan mengarungi penasaran. Baru beberapa tindak, ia toh menoleh dan berkata : "Aku berlaku baik terhadapmu, begini rupa kau perlakukan aku. Coba pikir sendiri olehmu, kau punyai liangsim atau tidak?"

Un Ceng menangis. "Siapa kesudian kau berlaku baik kepadaku?" kata dia. "Jikalau kau tidak suka lihat padaku, pergi kau minta semua yaya usir aku dari sini! Aku akan berdiam disini bersama saudara Wan ini! Pergi kau mengadu kepada yaya semua, aku tak takut!"

Un Cheng menghela napas, lantas ia ngeloyor pergi. Ia tunduk, nampaknya ia berduka sekali.

Un Ceng kembali kedalam paseban dan duduk.

"Kenapa kau bersikap begini kepada kandamu?" tanya Sin Cie.

"Dia bukannya engko kandungku!" sahut Un Ceng. "Ibuku ada dari keluarga Un, dan disini ada rumahnya engkong luarku. Dia adalah anaknya engko cintong ibu. Maka benarnya dia adalah kakak misanku. Coba aku punyakan ayah, pasti kami punyakan rumah sendiri, tak usah kami tinggal dirumah lain orang dimana kita jadi terima penghinaan."

Ia menangis pula.

Sin Cie tetap heran, terutama atas perangainya yang aneh ini.

"Aku lihat dia bersikap baik terhadapmu, adalah kau, kau yang berlaku galak terhadapnya..." katanya.

Un Ceng angkat kepalanya, tiba-tiba ia tertawa.

"Jikalau aku tidak galaki dia, dia bakal lakukan segala apa yang bukan-bukan!" jawabnya.

Walaupun ia merasa aneh atas kelakuan lucu tapi aneh ini, sebentar nangis, sebentar tertawa, kapan Sin Cie ingat dirinya, yang juga sebatang kara, ia jadi bersimpati terhadap pemuda ini. "Juga ayahku orang telah aniaya hingga binasa," katanya. "Ketika itu aku Baru berumur tujuh tahun. Ibuku pun meninggal dalam tahun itu..."

"Apakah kau telah menuntut balas?" tanya Un Ceng. "Malu aku menerangkan, aku tak beruntung..."

"Jikalau kau hendak menuntut balas, aku nanti bantu padamu!" menyatakan Un Ceng. "Tidak perduli musuhmu itu bagaimana liehay, aku pasti bantu kau!"

Sin Cie sangat bersyukur, hingga ia cekal keras tangan orang.

"Terima kasih," kata dia.

Un Ceng tarik tangannya akan tetapi toh kena dicekal juga. Ia antapkan.

"Dalam hal bugee kau terlebih pandai sepuluh lipat daripadaku," kata pemuda she Un. "Akan tetapi mengenai penghidupan dalam kalangan sungai telaga, kau rupanya masih asing sekali, maka itu dibelakang hari, aku nanti bantu kau dengan pikiran."

"Kau baik sekali. Aku tak punya kawan yang usianya berimbang, Baru sekarang aku menemui kau..."

"Melainkan adatku jelek," mengakui Un Ceng sambil tunduk. "Aku kuatir nanti datang suatu hari yang aku berbuat salah terhadapmu..."

"Aku pandang kau sebagai sahabat, aku tahu tabeatmu ini, umpama kau kejadian berbuat salah, aku tak akan buat perhatian," Sin Cie bilang.

Un Ceng jadi sangat girang, ia menghela napas lega. "Adalah didalam hal ini yang hatiku tak tenang," ia

bilang. Sin Cie lihat perubahan sikap orang. Sekarang Un Ceng jadi sangat lemah-lembut, lenyap ketelengasannya waktu ditengah sungai.

"Aku hendak bicara sama kau, saudara Un, entah kau suka dengar atau tidak..." katanya.

"Didalam dunia ini, cuma tiga orang jang aku dengar perkataannya," sahut anak muda itu. "Yang pertama adalah yayaku, yang kedua ibuku, dan yang ketiga...kau!"

Hatinya Sin Cie tergerak.

"Nyata kau hargai aku," katanya. "Sebenarnya, perkataan siapa juga, asal yang pantas, harus kita dengar."

"Hm, tak mau aku sembarang dengar! Siapa perlakukan baik padaku, asal aku...aku suka padanya, tidak perduli kata-katanya pantas atau tidak, aku suka dengar dia. Jikalau manusia yang aku jemu, biar dia omong pantas, tidak nanti aku dengar!"

Sin Cie tertawa.

"Kau bertabeat bocah! Berapa usiamu sekarang?" "Delapan belas tahun. Kau?"

"Aku lebih tua dua tahun."

Un Ceng tunduk, mendadak wajahnya berubah merah. "Aku tidak punya engko, apa tidak baik jikalau kita

angkat saudara?" ia bicara dengan pelahan, masih ia tunduk.

Sin Cie ada terlalu teliti untuk segera terima baik tawaran itu. Ia masih belum ketahui jelas pemuda ini sekalipun orang sendirinya telah mempercayainya.

Un Ceng tidak dapat jawaban, ia bangun berdiri, mendadak ia lari. Sin Cie terkejut, ia memburu. Ia lihat orang lari keatas puncak.

"Ia beradat keras sekali. Tak dapat dia disinggung, tak boleh dia tak terkabul keinginannya..."

Ia jadi kuatir pemuda itu nampak bencana, maka ia memburu dengan cepat, kali ini ia gunai ilmu entengi tubuh, atau ilmu lari keras, ajaran Bhok Siang Toojin. Maka dalam beberapa rintasan saja, sudah dapat ia menyandak, malah ia segera mendahului, akan menghalang disebelah depan.

"Adik Un, kau gusar kepadaku?" tanyanya.

Mendengar ia dipanggil "adik", Un Ceng girang dengan tiba-tiba. Ia berhenti lari, lantas ia duduk.

"Kau tidak lihat mata padaku, kenapa kau panggil aku adik?" tanya dia.

"Kapan aku tak lihat mata padamu?" balas tanya Sin Cie. "Mari, mari, mari, disini saja kita angkat saudara!"

Benar-benar keduanya berdiri berendeng, lalu mereka paykui dengan berbareng, menghadap si Puteri Malam, akan angkat sumpah sebagai saudara, untuk hidup senang dan susah ber-sama-sama. Kemudian mereka berbangkit. Lantas kepada Sin Cie, Un Ceng memberi hormat sambil menjura seraya memanggil: "Toako!" Suaranya pelahan.

Sin Cie balas hormat itu.

"Baik aku panggil kau jie-tee," ia bilang. Jie-tee adalah adik. "Sekarang sudah jauh malam, mari kita pulang dan tidur."

Un Ceng menurut lantas mereka balik ke paseban, untuk benahkan naya, lalu dengan bergandengan tangan, mereka lari pulang. "Jangan kau banguni ibu, kita tidur disini saja," kata Sin Cie sesampainya mereka didalam kamar.

Mukanya Un Ceng merah mendadak, tangannya menolak.

"Kau....kau...." katanya yang terus tertawa. "Sampai besok..."

Dia lari keluar kamar, hingga anak muda kita menjadi melengak.

"Aneh!" pikirnya.

Besoknya pagi-pagi, Sin Cie sudah bangun seperti biasa, terus ia bercokol diatas pembaringan, untuk bersamedi, tapi ketika Goat Hoa muncul dengan tiamsim dan air, ia loncat turun.

"Terima kasih," kata ia kepada kacung itu.

Kemudian, selagi anak muda ini dahar tiamsim, Un Ceng muncul didalam kamarnya.

"Toako, di luar ada datang satu nona, "katanya sambil tertawa. "Katanya dia datang untuk menagih emas. Mari kita lihat."

"Baik," sahut Sin Cie.

Maka keduanya lantas pergi keluar, ke thia besar. Disini mereka saksikan satu pertempuran dahsyat : Un Cheng sedang layani satu nona. Dikedua pinggiran dua orang tua asyik menonton sambil duduk. Orang tua yang satu menyekal sebatang tongkat, yang lain bertangan kosong.

Un Ceng hampirkan orang tua yang memegang tongkat dikuping siapa ia terus berbisik, atas mana orang tua itu menoleh kepada Sin Cie, untuk dipandang dengan perhatian, sesudah mana, dia manggut-manggut. Sin Cie lihat wanita yang lagi bertanding itu, yang ia taksir umurnya delapan atau sembilan-belas tahun, kedua belah pipinya bersemu merah, parasnya cantik sekali. Ia menduga-duga, siapa nona itu.

Pertempuran itu berlangsung sepuluh jurus lebih, dua- dua tetap tangguh nampaknya.

Sekonyong-konyong hati Sin Cie tergerak, ia bersangsi.

Nona itu tiba-tiba merangsek, ujung pedangnya menyambar kearah pundak Un Cheng. Mereka memang berkelahi dengan gunai senjata tajam. Gegaman Un Cheng adalah tan-too, golok sebatang. Tusukan itu hebat sekali, tapi yang ditusuk segera menangkis. Jikalau pedang kena tertangkis, mestinya terpental. Tapi si nona gesit dan liehay, tak tunggu pedangnya disampok, dia telah putar itu, untuk dikelitkan akan diteruskan menusuk leher! Un Cheng kaget, ia mencelat mundur tiga tindak.

Masih si nona tak mau berhenti, dia juga loncat akan menyusul, akan menusuk pula, buat menabas beberapa kali ketika tusukannya lolos dan beberapa tabasannya tidak memberi hasil. Desakannya itu ada sangat membahayakan.

Sekarang Sin Cie sudah lihat nyata gerak-gerakan tubuh orang, kaki dan tangan. Nona itu bukan murid dari Hoa San Pay akan tetapi sedikitnya dia mesti pernah terima didikan dari salah satu murid Hoa San Pay itu, kalau tidak, tidak nanti dia sanggup layani terus pada Un Cheng. Tidak perduli dia garang, pedangnya liehay, akan tetapi didalam hal latihan dan ketenangan, dia bukan tandingannya pemuda she Un ini, yang hatinya mantap.

Un Ceng pun lihat si nona bukan lawannya itu kakak misan, maka sambil bersenyum tawar, dia kata seorang diri

: "Hm, dengan kepandaian seperti ini berani datang untuk menagih emas!..." Memang, setelah gagalnya desakannya itu, si nona mulai kendor gerakannya, tetapi didepan ia, Un Cheng tetap seperti biasa, malah sekarang, pemuda ini mulai mendesak, satu bacokan demi satu bacokan yang mengancam sekali.

Sin Cie lihat keadaan telah sampai disaat paling genting, mendadakan ia lompat maju kedalam kalangan, menyelak diantara kedua orang yang lagi bertempur itu. Ia menempuh bahaya, karena justru itu, pedang dan golok lagi saling sambar, hingga dia mesti menjadi talenan.

Un Ceng kaget hingga ia menjerit.

Kedua orang tua juga loncat bangun dari kursi mereka, akan tetapi mereka masih tak sempat memburu untuk mencegah perbuatan berbahaya itu.

Akan tetapi Sin Cie tak tampak bencana walaupun golok dan pedang sambar ia. Dengan tangan kanan, dengan pelahan, ia tolak lengannya Un Cheng. Dengan tangan kiri, dengan pelahan juga, ia sambuti lengannya si nona. Ia bebas dari serangan sebab segera ia mendak diantara mereka, cuma kedua tangannya membujur keatas.

Dengan tangkisan semacam ini, tidak ampun lagi, kedua tangan dari dua-dua penyerang kena tertolak mundur, dengan begitu, dengan sendirinya juga, pedang dan golok mereka tak dapat meminta korban.

Posting Komentar