Halo!

Pedang Ular Mas Chapter 34

Memuat...

Sin Cie periksa seluruh ruangan, sampai ia tak dapatkan sesuatu apa jang mencurigai, Baru ia tutup pintu. Selagi ia hendak buka baju, untuk naik tidur, tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu, ketokan yang pelahan sekali.

"Siapa?" tanya ia.

Pertanyaan itu dijawab sama tertolaknya daun pintu dan muncullah satu bujang perempuan umur enam atau tujuh belas tahun, romannya cantik dan cerdik, ditangannya ada sebuah nampan.

"Wan siauya, silakan dahar tiat-sim," ia mengundang. Ia letaki nampan diatas meja.

Itu adalah semangkok yan-oh.

Pemuda ini ada puteranya satu kepala perang, akan tetapi sejak masih kecil sekali, ia telah tinggal didalam desa, diatas gunung jang sunyi, maka itu, belum pernah ia tampak minuman istimewa itu, tidak heran, ia tak tahu apa itu yan-oh. Ia pun Baru pernah kali ini bicara dengan orang perempuan remaja, ia likat sendirinya, wajahnya menjadi bersemu dadu.

"Namaku Goat Hoa, Wan Siauya," kata si kacung sembari tertawa manis. "Siauya yang tugaskan aku melayani kepadamu. Jika Siauya perlu apa-apa, perintah saja aku, nanti aku kerjakan."

"Tidak apa-apa lagi," bilang Sin Cie dengan ringkas. Ia pun memang tak tahu apa lagi yang ia butuhkan.

Goat Hoa undurkan diri pelahan-lahan.

"Itulah buatan siauya sendiri istimewa untuk Wan Siauya!" kata dia.

Sin Cie melengak, tak tahu apa ia mesti bilang.

Goat Hoa bertindak keluar sembari tertawa, dengan pelahan ia tarik rapat daun pintu.

Sin Cie buka bajunya, ia singkap selimut dan naik keatas pembaringan. Itu adalah satu pembaringan yang harum sekali sehingga bisa bikin orang tak sadar akan dirinya....

Tanpa curiga, Sin Cie jatuh pulas. Akan tetapi tengah malam, ia sadar karena ia dengar suara tertawa pelahan diarah jendela - tertawa cekikikan. Ia memang waspada dan getap.

Tiba-tiba terdengar ketokan pelahan pada jendela, dua kali, yang segera disusul dengan suara tertawa empuk dan kata-kata: "Rembulan bercahaya, angin sejuk, malam indah....Saudara Wan, tak kuatirkah kau akan mensia- siakan waktu yang begitu bagus?"

Sin Cie kenali suaranya Un Ceng. Ia menoleh kearah jendela. Diantara kelambu, ia tampak sinar rembulan yang permai. Ia pun lihat bajangan orang bergelantungan didepan jendela, kaki diatas kepala dibawah. Orang itu sedang mengintai kedalam kamar.

"Baik, aku nanti pakai baju dan keluar," pemuda ini menyahuti. Tertarik rasa heran Sin Cie, ia jadi sangat ingin tahu kelakuannya tuan rumah yang luar biasa itu. Hendak ia ketahui, sebenarnya tuan rumah itu ada orang macam apa. Setelah pakai baju, ia selipkan pisau belati di pinggangnya. Begitu pentang daun jendela, bau wangi menyerang hidungnya.

Nyatalah kamar itu mempunyai jendela yang menghadap taman bunga.

Un Ceng sendiri sudah mendahului loncat turun dari payon rumah dimana ia barusan bergelantungan.

"Mari turut aku!" ia mengundang sambil terus bertindak lebih dahulu. Ditangannya, ia menenteng sebuah naya.

Tanpa bilang suatu apa, Sin Cie mengikuti.

Tuan rumah itu keluar dari dalam taman dengan jalan loncati tembok pekarangan, sesampainya diluar, ia berlari- lari dengan cepat menuju kebukit dan lalu mendakinya.

Sin Cie terus mengikuti sambil berlari-lari juga.

Hampir sampai dipuncak, Un Ceng menikung, sampai dua kali, lantas mereka sampai disatu tempat dimana angin halus mendesir-desir, bau harum datang dari empat penjuru dimana terdapat pohon-pohon bunga. Sinar rembulan ada indah sekali, mirip dengan salju putih, hingga tertampak nyata bunga-bunga mawar putih dan kuning.

"Mirip dengan tempat pertapaan!" Sin Cie memuji saking kagum.

"Semua pohon bunga ini adalah hasil tanamanku sendiri," Un Ceng kasi keterangan. "Kecuali ibu dan bujang- bujang perempuan, lain orang, siapapun dilarang datang kemari!" Dengan tenteng terus nayanya, Un Ceng jalan didepan, pelahan-lahan.

Sin Cie mengikuti terus, dengan perasaan seperti melayang-layang. Tanpa merasa, sekarang hilanglah sikap berhati-hatinya.

Mereka sampai disebuah paseban kecil mungil.

"Silakan duduk," Un Ceng mempersilakan seraya ia turunkan nayanya, untuk buka itu, akan keluarkan satu poci arak berikut dua cangkirnya, cangkir-cangkir mana terus ia tuangi penuh arak dari poci tersebut.

"Disini orang dilarang dahar barang berjiwa," kata pemuda she Un ini. Dan ia keluarkan beberapa rupa sayur.

Sin Cie dapatkan semua itu adalah terbuat dari jamur, bokjie dan lainnya.

Masih Un Ceng keluarkan serupa barang dari dalam nayanya itu, ialah sebatang seruling kuningan.

"Aku nanti tiup serupa lagu untuk kau dengar," kata dia. Sin Cie manggut.

Segera anak muda itu tiup alat musiknya itu, suaranya pelahan.

Sin Cie asing dengan alat-alat tetabuhan akan tetapi waktu itu ia rasai dirinya bagaikan terapung-apung diawang-awang, ia seperti merasa berada diwilayah dewa- dewa, bukan lagi didalam dunia... Un Ceng meniup habis satu lagu, ia tertawa.

"Kau gemar lagu apa?" tanyanya. "Nanti aku mainkan untukmu..."

"Ah, kau tahu banyak sekali?" kata Sin Cie. "Mengapa kau begini cerdas?" Pemuda itu angkat dahinya, ia tertawa. "Apa benar?" katanya.

Ia angkat pula serulingnya, ia tiup lagi sebuah lagu, yang tekukannya terlebih halus dan merdu.

Sejak dia dilahirkan, belum pernah Sin Cie mengalami suasana sebagai ini.

"Apakah lagu ini enak didengarnya?" tanya pula Un Ceng sehabis meniup.

"Didalam dunia ada lagu begini merdu, mimpi pun aku tak pernah," sahut pemuda she Wan ini.

Kedua mata Un Ceng memain, ia bersenyum.

Mereka duduk dekat satu dengan lain, hidungnya Sin Cie dapat tangkap bau harum, kecuali harumnya bunga mawar juga sedikit wangi yancie dan pupur, hingga kembali ia merasa, anak muda disampingnya ini benar-benar tak punyakan sifat keperwiraan... "Kau suka dengar atau tidak aku meniup seruling?" Un Ceng tanya selagi orang berpikir.

Sin Cie manggut.

Kembali Un Ceng bawa seruling kepinggir mulutnya, akan mulai meniup pula.

Kembali Sin Cie mendengari dengan pikiran turut melayang-layang pula.Sedangnya begitu, mendadak suara seruling berhenti, disusul sama suara patahnya alat musik tiup itu.

Pemuda kita terkejut.

"Eh, eh, kenapa? Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kau...kau meniupnya dengan baik-baik."

Un Ceng tunduk. "Biasanya tak pernah aku tiup seruling untuk lain orang dengari..." sahutnya dengan pelahan. "Mereka semua cuma gemar geraki golok, mainkan pedang. Mereka tak suka dengar lagu..."

"Tapi aku tidak dustakan kau, sesungguhnya aku suka mendengari," Sin Cie bilang.

"Toh besok kau bakal pergi! Begitu kau pergi, kau tidak bakal kembali. Untuk apa aku tiup pula serulingku?"

Dalam herannya, Sin Cie mengawasi.

Un Ceng berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Aku insyaf tabeatku buruk, akan tetapi tak dapat aku atasi diriku... Aku tahu kau sebal terhadapku, didalam hatimu, kau tak melihat mata padaku..."

Heran dan bingung adalah si anak muda, hingga ia diam saja.

"Itulah sebabnya mengapa kau selanjutnya tak bakal datang pula," kata lagi Un Ceng.

"Ini adalah untuk pertama kali aku berkelana," berkata Sin Cie kemudian. "Tak bisa aku mendusta. Kau bilang, didalam hatiku, aku tak memandang mata kepadamu, bahwa aku sebal terhadapmu. Bicara hal yang benar, tadinya benar aku beranggapan demikian, akan tetapi sekarang adalah lain."

"Apa?" tanya Un Ceng, dengan pelahan.

"Ya. Aku lihat, tentu ada apa-apa yang mendukakanmu, maka juga tabeatmu jadi luar biasa begini. Apakah itu? Apa bisa kau tuturkan itu kepadaku?"

Sahabat itu berdiam, sampai sekian lama, sampai mendadak ia angkat kepalanya. "Suka aku memberitahukan kepadamu, namun aku kuatir kau nanti tak memandang mata kepadaku," kata dia.

"Itulah tak akan terjadi!" Sin Cie memastikannya. Un Ceng kertak giginya.

"Baiklah!" katanya kemudian. "Aku nanti beri keterangan padamu!"

Sin Cie mengawasi, ia mendengari.

"Ketika dahulu ibuku masih muda remaja, ia telah kena diperhina oleh satu manusia busuk, karenanya, terlahirlah aku," demikian pemuda itu menerangkan. "Celakanya, engkong luarku, yang hendak labrak orang busuk itu, sudah tidak sanggup lakukan itu, karena ia tak dapat memenangkannya. Baru belakangan engkong dapat kumpul lebih dari sepuluh kawan yang liehay, bersama-sama mereka barulah manusia busuk itu dapat dibikin kabur. Begitulah maka aku tidak punyakan ayah. "

Bicara sampai disitu, Un Ceng berhenti, air matanya lantas mengalir.

"Kalau begitu, tak dapat kau dipersalahkan, tak dapat juga ibumu disesalkan," kata Sin Cie, yang menghibur. "Jang salah adalah manusia busuk itu."

"Akan tetapi lain orang tak sependapat sebagai kau," kata Un Ceng. "Di depan, mereka tak berani bilang suatu apa, dibelakang, diam-diam mereka caci aku, mereka pun caci ibu. "

"Hm, siapa si manusianya yang demikian hina-dina?" seru Sin Cie. "Baik, aku janji padamu, aku nanti bantu kau menghajar manusia jahil mulut itu! Sekarang tak lagi aku jemu terhadapmu, umpama kau suka anggap aku sebagai sahabat, pasti aku akan datang pula kepadamu!" Un Ceng girang hingga ia loncat berjingkrak. Melihat tingkah orang itu, Sin Cie tertawa.

"Aku janji untuk kembali, kau girang bukan?" tanyanya, tertawa.

"Kau toh bilang, kau bakal datang kembali." "Memang tidak nanti aku memperdayakan kau."

Sekonyong-konyong ada suara berkeresek dibelakang mereka. Sin Cie menduga ada orang, ia segera berbangkit sambil putar tubuh. Ia pun segera dengar suara yang dingin sekali. Katanya : "Tengah malam buta-rata kasak-kusuk disini, kamu bikin apa, he?"

Orang itu jangkung dan kurus. Dia adalah Un Cheng. Wajahnya suram-guram karena hawa amarah yang meluap- luap. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dipinggang.

Un Ceng pun kaget, akan tetapi kapan ia kenali Un Cheng, sang kakak, ia gusar.

"Perlu apa kau datang kemari?" dia menegur. "Tanyalah dirimu sendiri!" Un Cheng membalas.

"Aku sedang gadangi rembulan bersama saudara Wan ini! Siapa undang kau?" sang adik menegur pula. "Siapa juga dilarang datang kemari, kecuali ibuku! Samyaya bilang ini! Kau berani melanggarnya?"

Un Cheng tunjuk Sin Cie.

"Dia ini? Kenapa dia datang kemari?" ia balik tanya. "Aku undang dia! Kau tak berhak mencampurinya!"

Tak enak hatinya Sin Cie karena engko dan adik itu bentrok karena dia. "Sudah cukup kita gadangi rembulan, mari kita pulang," katanya.

"Aku tidak sudi pulang!" kata Un Ceng. "Kau duduk!" Sin Cie duduk pula.

Un Cheng berdiri diam, tapi hatinya terang tak tenteram.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment