Pedang Ular Mas Chapter 32

NIC

Tukang perahu itu sangsi.

"Tak usah demikian banyak. "katanya. "He, banyak bacot!" bentak Un Ceng. "Berapa aku suka kasih, aku kasih, buat apa kau ngoceh saja! Nanti aku bolongi perahumu sehingga tenggelam, Baru kau tahu!"

"Terima kasih, terima kasih, tuan," kata tukang perahu itu kemudian. Ia tahu orang telengas, ia tak berani membantah pula. Ia jumput uang itu.

Un Ceng lantas buka bungkusannya, sehingga berkilauan cahaya kuning-emas dari kira-kira tiga-ratus potong emas yang tiap potong terdiri dari kira-kira sepuluh tail.

Dengan tangan kanannya, si anak muda pecah uang itu jadi dua tumpukan, yang setumpuk diantap diatas meja, yang setumpuk lagi, ia bungkus pula, bungkusannya terus ia gendol dibelakangnya. Dengan kedua tangan, ia tolak tumpukan yang satu itu kedepan Sin Cie.

"Untuk kau!" katanya.

"Apa?" tanya Sin Cie. Ia tidak mengerti. Un Ceng tertawa dengan manis.

"Apakah kau sangka benar-benar aku buang harta ini kedalam kali?" tanyanya. "Itulah tolol! Biar mereka selulup timbul, untuk mencarinya, jikalau mereka berhasil, tentu mereka akan pungut sebungkusan batu saja!"

Lalu ia tertawa geli sekali.

Sin Cie menghela napas. Anak muda ini lebih muda daripada ia, toh satu tua-bangka sebagai Eng Cay masih kena diperdayakan! "Aku tidak membutuhkan ini, kau ambil sendiri," ia menampik. "Aku bantui kau bukan karena uang."

"Tetapi inilah pemberianku kepadamu," si anak muda mendesak. "Uang ini bukannya kau yang ambil sendiri! Kenapa berpura-pura jadi kuncu palsu?" Sin Cie menggeleng kepala.

Tek Lin ada satu saudagar yang banyak hartanya, tetapi menghadapi dua orang itu, ia heran sekali. "Yang satu tak menghargai uang, yang lain tak memandangnya. Yang satu mendesak mengasih, yang lain keras menolak."

"Tidak peduli kau suka atau tidak, aku mesti berikan padamu!" kata si anak muda akhirnya, suaranya keras, tandanya ia gusar. Lalu dengan sekonyong-konyong ia lompat kedarat! Sin Cie tercengang, tapi segera ia mendusin, ia pun lompat, untuk menyusul.

Un Ceng bisa lari keras, akan tetapi sejenak saja, ia dapat didahului.

"Tunggu!" Sin Cie kata sambil ia pentang kedua tangannya, untuk menghalangi. "Kau bawa emasmu itu!"

Anak muda itu coba nerobos, kekiri dan kanan, sia-sia saja, tak mampu ia lewati si pemuda, dalam sengitnya, mendadakan ia serang mukanya pemuda itu.

Sin Cie tangkis serangan itu, ia menolak dengan tangan kiri. Sebenarnya ia tidak gunai tenaga, akan tetapi si anak muda mundur tiga tindak.

Menampak bahwa ia tak sanggup tobloskan cegatan, mendadak Un Ceng jatuhkan diri, untuk duduk ditanah, dengan tiba-tiba juga ia menangis sesenggukan.

"Kau sakit?" tanya Sin Cie, jang heran dan kuatir. Ia sangka tangkisannya membuat anak muda itu merasai sakit pada lengannya.

"Fui!" berseru Un Ceng, yang lompat bangun dengan tiba-tiba, terus ia loncat lagi, untuk menyingkir.

Sin Cie melongo ia awasi Un Ceng lenyap dari pandangan matanya. 0o-d.w-o0

"Benar-benar kukoay!" kata ia sambil ngeloyor balik ke perahu. Ia kagumi kepandaian anak muda itu, tetapi ia heran tabeat yang mendelukan tapi juga menggelikan. Terpaksa ia bungkus tumpukan uang itu, untuk dibawa pergi, dari Tek Lin, ia ambil selamat berpisah. Ia pergi kekota, akan cari sebuah hotel.

"Tak lega hatiku jikalau uang ini aku tidak dapat kembalikan kepada si anak muda," ia berpikir selagi ia duduk terpekur dalam kamarnya. "Aku kasihan padanya, sebab itu aku bantu dia, maka jikalau aku terima pemberiannya itu, tidakkah namaku jadi jelek? Dia bilang dia ada orang Cioliang, kenapa aku tidak susul dia dirumahnya? Jikalau dia tetap menolak, aku nanti letaki uang di rumahnya itu dan tinggal pergi!. "

Karena ini besokannya, setelah cari keterangan tentang jalanan ke Cio-liang, Sin Cie gendol bungkusannya, ia menuju ketempat itu, jang terpisahnya dari kota Kieciu cuma dua-puluh lie, hingga tak ada setengah jam, ia sudah sampai.

Cio-liang ada satu dusun kecil, yang berdampingan sama bukit Lan Ko San. Nama dusun itu, dan bukitnya juga, mempunyai cerita dongeng sebagai berikut : Di jaman purbakala ada satu tukang kayu yang pergi ke bukit itu mencari kayu bakar. Dia ketemu dua dewa asyik main catur. Dia menonton. Ketika satu babak berakhir dan ia menoleh pada kampaknya, kampak itu "bonyok" sendirinya. Dan ketika ia pulang, rumahnya, orangnya semua, sudah berubah, karena ternyata, dia telah pergi untuk lamanya beberapa puluh tahun. "Lan Ko" berarti

219 "kampak bonyok", demikianlah, gunung itu ada dua puncak yang tersambung satu pada lain dengan satu batu besar dan panjang, yang merupakan penglari. Itu pasti bukan batu buatan manusia dan terpalangnya disitu bukan pekerjaan manusia juga, maka orang-orang tua anggap itu ada buah- kesaktian dewa. Maka itu, tempat itu dipanggil "Cio-liang" yang berarti "penglari".

Selagi berjalan untuk cari rumah orang she Un, Sin Cie berpapasan dengan seorang tani perempuan.

"Enso, numpang tanya, disini dimana tinggalnya keluarga Un?" tanyanya.

Orang perempuan itu terkejut nampaknya.

"Tidak tahu!" sahutnya. Dan air mukanya berubah tak senang, dia pun lantas berjalan pergi dengan cepat.

Sin Cie heran, akan tetapi ia jalan terus. Ia sampai pada sebuah toko.

"Numpang tanya disini dimana tinggalnya keluarga Un?" ia tanya pemilik toko.

"Ada apa saudara tanya keluarga Un?" balik tanya si tuan toko dengan tawar.

"Aku hendak kembalikan serupa barang," Sin Cie terangkan.

"Kalau begitu, kau ada sahabatnya si orang she Un! Habis, untuk apa kau menanyakannya kepadaku?" kata tuan toko itu.

Sin Cie heran berbareng jengah.

"Kenapa seorang dagang begini kasar kelakuannya?" tanya ia kepada diri sendiri. Ia ngeloyor, lalu ia hampirkan dua bocah yang lagi memain diujung jalanan. Ia keluarkan sepuluh uang tangchie, ia sesapkan itu dalam tangannya satu bocah.

"Saudara kecil, mari antar aku kerumah keluarga Un!" minta dia.

Bocah itu sudah genggam uang yang diberikan padanya, atau ia segera kembalikan.

"Rumah keluarga Un? Itu dia yang besar!" jawabnya. "Aku tak sudi pergi kerumah itu!"

Kembali Sin Cie menjadi heran, akan tetapi segera ia mengerti, rupanya keluarga Un itu tak disukai sesama penduduk sehingga tak ada orang yang ingin bergaul dengannya. Ia hanya tidak tahu, apa yang menyebabkan kesungkanan itu. Ia segera bertindak kearah rumah besar yang ditunjuk si bocah.

Dari jauh-jauh sudah terdengar suara riuh dari banyak orang, yang datang dari arah rumah keluarga Un itu, dimana pun berkerumun puluhan orang tani yang pada bawa pacul dan garu. Selagi mendekati, Sin Cie dengar nyata teriakan mereka : "Kamu telah aniaya tiga orang, apa boleh dengan begitu saja? Orang she Un, lekas keluar, ganti jiwa!"

Diantara mereka itu ada tujuh atau delapan orang perempuan dengan rambut riap-riapan yang sambil duduk ditanah, menangis menggerung-gerung, dan menjerit-jerit.

"Saudara, kau sedang bikin apa?" tanya Sin Cie pada satu orang.

"Siangkong ada orang asing, kau tentu tidak tahu kejadian ini," sahut orang yang ditanya itu. "Keluarga Un ini ada cabang atas disini, mereka menjagoi. Kemarin mereka pergi menagih sewa tanah kekampung. Empeh Thia

221 minta tempo, buat beberapa hari saja, tapi si empeh dijoroki, dia rubuh, kepalanya, kena batu, terus dia binasa. Anak dan keponakan empeh Thia gusar, mereka membelai, tetapi mereka kena dilabrak hingga luka-luka. Coba pikir, siangkong, apa tuan tanah begitu tidak kejam?"

Selagi petani itu memberi keterangan kepada pemuda kita, suara riuh bertambah-tambah, ada orang tani yang gunai garunya menyerang pintu, ada yang jumput batu-batu untuk dipakai menimpuk kedalam pekarangan.

Sekonyong-konyong pintu pekarangan terbuka lebar, satu bajangan melesat keluar, sebelum orang melihat tegas, sudah ada tujuh atau delapan petani yang terpelanting, rubuh jauhnya dua-tiga tumbak, sehingga kepala mereka mengeluarkan darah! "Dia gesit sekali," pikir Sin Cie. Ia lantas mengawasi.

Bajangan itu ada seorang dengan tubuh kurus dan jangkung, kulit mukanya semu kuning tetapi sepasang alisnya berdiri. Kelihatan nyata, dia mestinya pandai silat.

"Hai, kamu, mahluk-mahluk seperti anjing dan babi!" membentak orang itu. "Kenapa kamu datang mengacau kemari?"

Orang ini menanya demikian, akan tetapi, belum sempat orang jawab dia, dia sudah menyerang pula, hingga lagi beberapa orang terjatuh sungsang-sumbal.

Sin Cie lihat orang bertenaga besar, dia melempar- lempari orang seperti sedang melempar-lemparkan ikatan- ikatan jerami.

"Entah terkena apa dia dengan Un Ceng?..." pikirnya. "Coba itu malam dia ada beserta Un Ceng, tentu leluasalah mereka melayani Eng Cay, sehingga tak perlu aku berikan bantuanku..." Itu waktu seorang tani dari usia pertengahan dan dua orang muda majukan diri.

"Kamu telah bunuh orang, apa itu dapat disudahi secara begini saja?" tanya mereka. "Memang benar kami ada orang-orang melarat akan tetapi sekalipun melarat, kami mempunyai jiwa!"

Si jangkung-kurus itu tertawa dingin.

"Hm! Hm! Jikalau belum aku mampusi lagi beberapa jiwa, tentu kamu belum tahu rasa!" berseru dia. Mendadak tubuhnya mencelat maju, lantas si orang usia pertengahan kena dicekuk pada bebokongnya, kapan tubuhnya telah diangkat, tubuh itu segera terlempar ke ujung tembok timur! Kedua petani muda menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka menyerang dengan pacul mereka.

Si kurus menangkis dengan tangannya yang kiri, sekejab saja kedua batang pacul kena tersampok lepas dan terpental, menyusul mana, tubuhnya dua petani itu disambar seorang dengan sebelah tangan, lantas diangkat untuk dilemparkan keatas batu besar yang menjadi tunggul tiang bendera dimuka pintu pekarangan.

Posting Komentar