Si orang tua sementara itu dapat duga pemuda ini bukanlah kawannya si anak muda, karena mana, ia menjadi girang sendirinya.
"Sahabat Wan," berkata dia "kau tidak punyakan hubungan dengan si orang she Un ini, itulah bagus! Harap kau tunggu sampai aku sudah beres berurusan dengannya ini, nanti kita pasang omong, bolehlah kita ikat tali persahabatan!"
Sin Cie tidak menjawab, dia cuma manggut, lantas ia mundur kebelakang Un Ceng.
Lantas si orang tua hadapi Un Ceng dan kata : "Kau masih berusia sangat muda, perbuatan kau telengas sekali. See Lo Toa bukan tandinganmu, itu pun sudah cukup, kenapa dan kau kehendaki jiwanya?" "Tapi aku bersendirian saja, kamu ada orang-orang lelaki bertubuh besar dan berjumlah banyak, kamu maju dengan berbareng, tanpa aku berlaku bengis, apa mungkin terjadi?" balas si anak muda. "Kau masih menegur aku, apakah kau tak takut orang nanti katakan kamu si tua menghina si kecil, yang banyak kepung yang sedikit? Jikalau kamu punya kepandaian, pungutlah emas orang, kenapa mesti tunggu aku? Apakah kamu hendak serakahi yang sudah sedia saja? Apakah itu bukannya tak tahu malu?"
Sin Cie dengar suaranya terang dan halus, kata-kata yang tajam sehingga si orang tua bungkam karenanya.
Tiba-tiba si orang perempuan, yang alisnya berdiri dengan mendadakan, turut bicara: "Kacung cilik, orang tuamu manjai kau hingga kau makin tak tahu aturan!" dia membentak. "Sungguh ingin aku tanya yayamu, ibumu juga, siapa sudah ajar kau hingga dimatamu ini tak lagi ada orang yang terlebih lanjut usianya!"
"Orang tua yang ingin dihormati juga mesti ada sertanya!" kata Un Ceng. "Orang tua yang hendak menang sendiri, dia tak berharga untuk dihormati!"
Orang tua itu menjadi sangat mendongkol hingga dia keprak meja dikepala perahu dan meja itu menjadi melesak, apabila dia telah angkat tangannya, tangan itu menjumput potongan-potongan kayu meja, yang menjadi hancur bekas tercengkeram.
Nyata tangan orang tua ini kuat bagaikan besi.
"Eng Lo-ya-cu!" berkata Un Ceng, "tentang kepandaianmu yang liehay, aku sudah tahu, maka tak usahlah kau jual lagak didepan yang mudaan! Jikalau kau hendak pertontonkan kepandaianmu itu, pergi kau pertontonkan kepada sekalian yayaku!" Kembali orang tua itu gusar.
"Jangan kau coba gertak aku dengan sebut-sebut beberapa yayamu itu!" ia membentak. "Siapa yayamu itu? Jikalau mereka punyakan kepandaian, tak nanti mereka antap anak-gadisnya diperkosa orang, sehingga tak nanti anak-gadisnya itu lahirkan bocah haram seperti kau ini!"
Meluap hawa amarahnya Un Ceng, yang berbareng pun jadi sangat berduka, hingga wajahnya menjadi merah padam, gusar, malu dan bersedih. Sekelebatan, cahaya matanya menyala bagaikan api.
Si orang bertubuh besar dan si orang perempuan lihat itu, mereka tertawa berkakakan.
Sin Cie awasi si anak muda, kedua matanya dia ini mengalirkan air mata. Ia heran dan terharu dengan berbareng.
"Nampaknya dia jauh lebih berpengalaman daripadaku, mengapa sekarang dia menangis?" dia berpikir.
Biar bagaimana, anak muda ini kena diperhina - dia bersendirian, dia diperhina juga. Karena ini, semangatnya Sin Cie jadi terbangun, berniat ia membantu anak muda ini, apabila saatnya sudah sampai.
"Apakah faedahnya untuk menangis?" kata si orang tua, dengan tajam, lagu-suaranya mengejek. "Kau lekas keluarkan emas itu. Kami juga tidak serakahi, dari uang itu, kami nanti pisahkan sejumlah untuk tunjang jandanya See Lo Toa..."
Tubuhnya Un Ceng bergemetar.
"Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah!" ia menantang, sambil menangis. "Aku tidak hendak menyerahkannya!" "Hm!" berseru si orang tua, yang sementara itu lihat perahu besar itu laju terus dengan cepat, maka ia lantas jumput jangkar besar yang terikat rantai, ia lempar itu jauh ketepian, hingga dilain saat, perahu berhenti dengan tiba- tiba.
Berat jangkar kira-kira dua ratus kati maka bisalah diduga besarnya tenaga orang tua ini, siapa lantas tegaskan Un Ceng : "Kau hendak serahkan atau tidak?"
Anak muda itu angkat tangan kirinya, akan susuti air matanya.
"Baiklah, aku nanti serahkan!" katanya, yang segera lari kedalam perahu, akan sedetik kemudian keluar pula, sambil kedua tangannya membawa satu bungkusan, yang mestinya berat.
Si orang tua ulur tangannya, untuk sambuti bungkusan itu.
"Fui! Begini gampang!" mendadak si anak muda berseru. Dengan sekonyong-konyong ia menimpuk dengan bungkusan itu, kearah sungai, hingga dilain saat terdengarlah suara tercebur jang nyaring. Lantas dia menantang : "Jikalau kau berani, bunuhlah aku! Jikalau kau menghendaki emas, jangan harap!"
Tidak terkira kemurkaannya si orang tubuh besar, ia menjerit, ia angkat goloknya membacok anak muda jang licik itu, yang berbareng pun mempermainkan kepadanya.
Habis membuang bungkusan, Un Ceng pun segera hunus pedangnya, maka itu, setelah diserang dan berkelit, dia balas menerjang, beruntun sampai dua kali.
"Tahan ! Tahan!" berseru si orang tua. Si orang bertubuh besar, kawannya orang tua ini, lompat mundur dua tindak, Si orang tua sendiri terus awasi anak muda itu.
"Benar-benar, naga melahirkan naga, burung hong menetaskan burung hong!" kata dia. "Ada orang semacam ayahnya, ada anaknya semacam dia ini! Kalau hari ini aku antap terus kau main gila dihadapanku si orang tua, bocah cilik, aku bukan si orang she Eng lagi!"
Hampir tak kelihatan lagi, orang tua ini tutup kata- katanya dengan tahu-tahu tubuhnya sudah berada didepannya si anak muda.
Un Ceng rupanya telah siap, ia menyambut dengan satu tusukan hebat. Tapi si orang tua benar-benar liehay. Dia bertangan kosong, dia berkelit dari tikaman itu, lantas dia merangsak. Mau atau tidak, anak muda itu mundur. Malah ia mesti mundur terus, karena desakannya si orang tua, jang gerakannya membuat si anak muda tak sempat menyerang dia. Sia-sia saja Un Ceng menyekal pedang panjang, tak mampu ia gunai itu.
Sedetik saja, Sin Cie telah dapat lihat bahwa Un Ceng bukan tandingan orang tua itu, yang sangat gesit. Dengan ini pun telah dibuktikan dengan segera. Baru bisa luputkan diri dari sepuluh gebrak lebih, atau lengan kanan si anak muda sudah kena ditotok, atas mana dia rasai tangannya kesemutan dan kaku, hingga pedangnya lantas terlepas dari cekalan dan jatuh dilantai perahu.
Begitu pedang jatuh, si orang tua menyontek dengan kakinya yang kiri, hingga pedang terangkat mumbul, hingga gampang saja dia menanggapinya dengan tangannya yang kiri, lalu dengan menyekal ujungnya pedang itu, dengan tangan kanan dengan satu gerakan saja, dia bikin senjata itu patah dua! Un Ceng kaget hingga mukanya pucat. Si orang tua masih berkata : "Jikalau aku tidak tinggalkan suatu tanda dalam tubuhmu, aku kuatir kau nanti melupakan liehaynya aku si orang tua!" Dan lalu, dengan ujung pedang yang patah itu, dia menggurat kemukanya si anak muda! Un Ceng kaget dan ketakutan, mukanya pucat, cepat-cepat dia mundur, untuk menyingkir dari serangan itu, atas mana, si orang tua desak padanya, hingga dilain saat, ujung pedang, yang dipegang dengan tangan kiri, hampir mampir dimuka orang.
"Celaka dia...." pikir Sin Cie, yang merasa sayang muka demikian cakap dan putih nanti meninggalkan cacat.
Un Ceng sendiri, dalam takutnya, telah keluarkan jeritan.
Dengan sebat Sin Cie rogo sebutir biji caturnya dengan apa ia lantas menimpuk kearah pedang si orang tua.
"Trang!" demikian satu suara nyaring.
Si orang tua terkejut, justru waktu itu ia sedang kegirangan karena segera ia bakal dapat coret muka orang yang cakap-ganteng, sedang tangannya pun tergetar, sesemutan sakit, hingga tak sanggup dia cekal lebih lama pedangnya itu, yang lantas terlepas dan jatuh.
Melihat demikian, dari ketakutan, Un Ceng menjadi girang sekali, hatinya lega dengan tiba-tiba. Tidak buang tempo lagi, ia loncat kearah Sin Cie, untuk berlindung dibelakang dia ini, lengan siapa ia pegangi dengan keras, agaknya ia hendak memohon perlindungan.
Orang tua itu, orang she Eng seperti dia telah perkenalkan diri, bernama Cay. Dia adalah pangcu, atau ketua, dari Liong Yu Pang, satu kawanan di Ciat-kang Selatan dimana, kecuali Ngo-cou dari Cio Liang Pay, dia adalah orang tertangguh satu-satunya. Adalah biasanya bagi dia, apabila dia bertempur dia tak suka gunai senjata. Inilah disebabkan dia telah yakin ilmu silat Eng-jiau-kang, Kuku Garuda, sehingga tangannya jadi kuat melebihi golok atau pedang yang biasa. Maka itu, ia tak kepalang kagetnya apabila ia dapatkan, pedangnya dilepaskan orang hanya dengan timpukan sebutir biji catur. Ia kaget berbareng malu, hingga mukanya menjadi merah. Seumur hidupnya, ini adalah malu besar pertama yang ia pernah alami.
"Kenapa bocah ini besar sekali tenaganya?" pikir dia, jang masih tercengang.
Si orang tubuh besar dan wanita pun segera lihat liehaynya Sin Cie, mereka merasa bahwa dilanjutinya pertempuran tidak akan membawa bahagia untuk mereka, maka justru emas telah dibuang ke sungai, mereka anggap baiklah sudahi urusan sebelum perkara berlanjut hebat.
"Lo-ya-cu, marilah!" si nyonya segera mengajak. "Dengan memandang mata kepada sahabat she Wan ini, hari ini kita kasih ampun pada bocah ini..."
"Hm!" Un Ceng menghina, selagi si orang tua belum sempat buka mulutnya. "Melihat orang liehay, lantas hendak angkat kaki! Jadi tukang menghina si lemah tapi jeri kepada si kuat - tak malu?"
Sin Cie kerutkan alis.
"Anak licik," memikir ia " diri sendiri Baru lolos dari bahaya besar, sekarang kembali sudah mengeluarkan kata- kata tajam, sedikit juga tidak mau memandang orang. "
Benar-benar wanita itu menjadi sangat mendelu karena perkataan si orang muda ini, tapi ia pun berdiam, karena ia insyaf, melayani salah, tidak melayani salah juga. Sampai
disitu, si orang tua buka mulutnya. Dasar ia berpengalaman. "Lautee, kau liehay," berkata dia kepada Sin Cie. "Rembulan permai, cuaca indah, angin pun sejuk, bagaimana jikalau kita berdua main-main sebentar?"
Pangcu dari Liong Yu Pang menantang. Dia ingin coba- coba Eng-jiau-kangnya yang telah dia yakinkan lebih dari dua-puluh tahun lamanya. Dia mau percaya, melihat usia muda orang, jikalau bertanding, tidak nanti dia kalah dari si anak muda.
Sin Cie bersangsi. Ia telah pikir: "Jikalau aku layani dia, walaupun belum pasti aku kalah, tapi setelah bergebrak, itu artinya aku bantu Un Ceng. Dia ini tua, nampaknya dia berpandangan cupat, dia pun licin, pertempuran tentu tidak ada faedahnya. Kenapa aku mesti tanam bibit permusuhan?"
Maka itu lekas-lekas ia memberi hormat.
"Aku yang muda Baru pertama kali ini menginjak dunia kangouw, belum tahu aku tingginya langit dan tebalnya bumi," berkata ia, "maka itu, dengan kebisaanku ini yang tidak berarti, cara bagaimana aku berani melayani locianpwee?"
Eng Cay bersenyum.