Halo!

Pedang Ular Mas Chapter 28

Memuat...

Pada tengah malam, dari kejauhan terdengar suara suitan samara-samar. Sin Cie getap, ia lantas mendusin. Diam-diam ia rapikan pakaiannya.

Tidak lama dari arah hilir terdengar suara pengayuh mengenai air, terang ada perahu lagi mendatangi. Tiba-tiba Un Ceng mendusin, ia berbangkit akan duduk dengan mendadak. Nyata ia tidur tanpa buka pakaian. Dari bawah selimut, dia hunus sebatang pedang jang panjang. Dengan membawa itu, ia memburu ke kepala perahu.

Sin Cie terkejut dan heran.

"Apa mungkin dia pengintai bajak?" menduga dia. "Mungkin orang hendak kerjakan saudagar she Liong ini? Aku tidak boleh peluk tangan saja. "

Sin Cie titip pedangnya kepada Lie Gam, dia cuma bekal pisau belati dan biji-biji caturnya, maka itu ia turun dari pembaringan dengan bawa pisaunya itu.

Segera ternyata, perahu yang mendatangi sudah datang dekat. Dari perahu itu lantas terdengar satu suara kasar : "Orang she Un, apa benar kau tidak hargakan persahabatan kangouw?"

"Kalau hargakan bagaimana? Kalau tidak, bagaimana?" tanya si anak muda. "Dengan susah payah kami menguntitnya dari Bu-han, kau sendiri enak-enakan memegat ditengah jalan dan memakannya sendiri!" jawab orang itu.

Liong Tek Lin mendusin karena suara berisik itu, ia mengintip keluar, untuk kagetnya, sampai tubuhnya bergemetar, ia tampak empat buah perahu kecil, yang obornya dipasang terang-terang. Ia tampak orang-orang dengan pelbagai alat-senjata terhunus.

"Jangan takut, inilah bukan urusanmu," Sin Cie menghibur. Ia lantas menduga kepada duduknya perselisihan itu.

"Apa...apa mereka bukannya bajak?" tegasi Tek Lin. Ia tidak dapat jawaban hanya ia dengar suara nyaring dari Un Ceng: "Harta dikolong langit ada kepunyaan umum! Mungkin emas ini kepunyaanmu sendiri?" demikian pemuda ini.

"Kau keluarkan itu dua ribu tail emas, kita bagi dua, perkara habis," bilang orang didalam perahu kecil. "Kami suka berbuat baik kepadamu..."

"Fui!" Un Ceng menghina. "Kau mengharap demikian?

Hm!"

Dua orang lain, yang romannya pun gusar, berkata pada orang yang pertama bicara: "See Toako, buat apa adu mulut dengan anak biadab itu?" Lalu keduanya loncat naik ke perahu besar.

Tek Lin sedang ketakutan, melihat orang bersenjata naik keperahunya, ia kaget tak terkira.

"Wan...Wan Siangkong, mereka turun tangan!..." menjerit dia.

Sin Cie tarik mundur saudagar itu. "Jangan takut, ada aku," ia menghibur.

Justru itu Un Ceng telah bergerak untuk papaki kedua orang itu, kaki kirinya menendang seorang, sehingga dia itu terlempar kecebur kedalam sungai, sedang pedangnya menyambar orang yang kedua. Dia ini menangkis dengan goloknya, tapi pedang ada tajam luar biasa, golok terbacok kutung, menyambar terus kearah pundak, maka penyerang itu tak ampun lagi rubuh mandi darah diatas perahu.

"See Lo Toa, jangan pertontonkan ini segala gentong kosong!" Un Ceng mengejek sambil tertawa dingin.

"Hm!" bersuara si orang she See. "Gotong Lau Lie kemari!"

Dari sebuah perahu kecil, dua orang naik keperahu besar, akan gotong si orang yang dikatakan she Lie itu, jang luka hebat lengan kanannya.

Orang yang ditendang kecebur pun sudah berenang naik perahunya.

Segera terdengar suara nyaring dari si orang she See: "Kami dari pihak Liong Yu Pang tak pernah bentrok dengan kamu dari Cio Liang Pay, pemimpin kami menghargai Ngo-coumu, tak ingin kami ganggu padamu, maka itu, jangan kau anggap kami dapat dibuat permainan!"

Sin Cie bercekat akan dengar disebutnya Cio Liang Pay. Ia ingat: "Itu Thio Cun Kiu yang datang mencuri kitab dipuncak Hoa San bukankah menyebut dirinya dari Cio Liang Pay?"

Sebagai jawaban, terdengarlah suaranya Un Ceng: "Jangan kau baiki aku! Kamu tak menang, apa kamu hendak meng-ambil-ambil hati?" See Lo Toa itu jadi gusar sekali.

"Kau bilang, kau hargakan aturan kangouw atau tidak?" dia tegaskan.

"Aku lakukan apa yang aku suka, aku tak memusingkan kamu!" ada jawaban si pemuda.

"Ingin aku omong jelas lebih dahulu," kata orang she See itu. "Kami gunai lebih dahulu adat sopan-santun, habis itu Barulah senjata! Tak sudi aku nanti dikatai Ngo-coumu bahwa yang banyak menghina yang sedikit, yang tua mempermainkan yang muda!"

Kata-kata ini menunjuki pihak Liong Yu Pang itu menghargai jang dikatakan Ngo-cou, Lima tertua, dari pihak Un Ceng si anak muda bernyali besar itu.

Un Ceng tertawa dingin.

"Dengan kepandaian macam kepunyaanmu ini kau anggap dapat menghina aku?" dia mengejek pula.

Mendengar sampai disitu, Sin Cie percaya, senjatalah yang akan bicara terlebih jauh. Ia mengerti sekarang : Liong Yu Pang hendak membegal harta, Un Ceng mendahului, Liong Yu Pang jadi tidak senang, dia menyusul, tapi masih minta sebagian saja. Tubuhnya Un Ceng kecil tapi berat, harta itu pasti berada dalam buntalannya.

"Kelihatannya mereka berdua sama-sama bukan orang baik-baik, baiklah aku berpura-pura tak mengerti ilmu silat, aku tak bantu pihak mana saja..." pikir Sin Cie.

Selagi Sin Cie memikir demikian, pertempuran sudah lantas dimulai.

See Lo Toa berseru, lantas kira-kira sepuluh orangnya loncat naik ke perahu besar. Ia pun turut naik dengan tangannya menyekal sebatang golok besar, ia berdiri didepan mereka ini, terus ia angkat tangan, untuk memberi hormat.

"Saudara-saudaraku ini bukan tandingan kau," kata dia dengan merendah tapi sifatnya menantang," maka itu biarlah aku See Lo Toa yang menggantikan mereka menyambut pedangmu, pedang Ngo-hong-kiam dari Cio Liang Pay yang menjagoi di Kanglam!"

"Hm!" Un Ceng bersuara. "Kau hendak maju sendiri atau berbareng beramai-ramai?"

See Lo Toa melengak, ia tertawa terbahak-bahak.

"Kau terlalu tak melihat mata!" katanya. "Masih ada sahabat siapa lagi dalam perahumu ini? Undang dia keluar, untuk minta dia menjadi saksi. Tak suka aku apabila kemudian kaum kangouw yang mengatakan See Lo Toa tak punya muka!" Lantas ia menambahkan : "Sahabat dalam perahu, silakan kau keluar!"

Dua orang bertindak kedalam perahu, akan kata pada Tek Lin dan Sin Cie : "Toako kami undang jiewie!"

Tek Lin bergemetaran, tak dapat ia menjawab.

"Mereka melainkan inginkan kita sebagai saksi, tidak apa, mari kita keluar," kata Sin Cie. Dan ia tarik tangannya saudagar itu.

Un Ceng menjadi tak sabaran.

"Kau hendak pertontonkan kejelekanmu sendiri, jangan katai aku keterlaluan," kata dia. "Mari mulai!"

Lantas dia mulai menyerang, membabat ke iga kiri lawan.

See Lo Toa bertubuh besar tetapi gesit, dengan goloknya, dia menangkis, lalu dengan belakang golok, dia teruskan balas menyerang. Ini adalah serangan cepat sekali.

193 Un Ceng tidak sudi terima kebaikan hati lawan, yang serang ia hanya dengan belakang golok.

"Jikalau kau mempunyai kepandaian, keluarkan semua itu!" dia berteriak. "Aku tak sudi terima kebaikan hatimu!"

Ucapan congkak dan menantang ini diikuti dengan serangan pula, demikian sebat sampai See Lo Toa, yang tidak menyangka dan karenanya jadi kurang waspada kaget tak terkira ketika ujung pedang merobek baju di pundaknya sebab hampir ia tak keburu berkelit. Dia tergetar hatinya mengingat ancaman bencana itu, tapi segera dia balas menyerang dengan sengit.

Si anak muda sangat gesit, pesat gerak-geriknya, sambil menyingkir dari sesuatu bacokan, berbareng ia seperti kurung lawannya dengan pedangnya senantiasa berkelebatan disekitar tubuh lawan itu.

Setelah menyaksikan beberapa jurus, Sin Cie segera dapat kenyataan, ilmu silat Un Ceng terlebih tinggi daripada ilmu See Lo Toa, tak perduli orang ini mencoba pertunjuki keulungannya, tanda dari banyak pengalaman, tak perduli goloknya berat dan pedang enteng, dia kewalahan melayani kegesitan si anak muda. Selang sekian lama, dia mulai bernapas mengorong dan keringatnya pun mulai membasahkan jidatnya, menyusul mana, gerakannya juga tak lagi sepesat mulanya. Di sebelah dia, sianak muda perhebat desakannya.

Sekonyong-konyong, berbareng dengan seruan Un Ceng, See Lo Toa merasai pahanya tertusuk pedang, sehingga dengan muka pucat, dia lompat mundur, sembari lompat, sebelah tangannya diayun, hingga tiga buah senjata rahasia berupa paku Tou-kut-ciam menyambar kearah lawan. Si anak muda bulang-baling pedangnya dua kali, untuk sampok jatuh dua potong paku berbahaya itu, sedang paku yang ketiga ia halau dengan egos diri.

Dua potong paku yang disampok terbang ke jurusan Sin Cie, kearah dadanya.

Melihat demikian, Un Ceng menjerit.

"Celaka," pikir dia, jang menyangka dia akan celakai anak muda itu. Tadinya dia menyangka Sin Cie mengerti silat, akan tetapi ketika dua paku menyambar, pemuda itu tidak berkelit dan juga tidak menangkis. Ia kuatir sekali menampak paku menjuju dada. Dia Baru berteriak, dia hendak loncat untuk menolongi, atau kedua paku itu, setelah mengenai dada si pemuda, runtuh sendirinya, jatuh tanpa menerbitkan bencana. Si pemuda sendiri berdiam saja, seperti ia tak lagi diancam marah-bahaya.

Orang-orangnya See Lo Toa memasang banyak obor terang-terang, mereka semua saksikan senjata rahasia menyambar kearah si pemuda, akan tetapi, melihat kesudahannya, mereka melengak, saling mengawasi. Mereka anggap si pemuda liehay walaupun romannya mirip satu siucay lemah tak berdaya... Tentu sekali orang tidak tahu yang didadanya Sin Cie dipasang baju kaos pemberian Bhok Siang Toojin mustika Kim-sie Pwee-sim, yang tak mempan senjata tajam.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment