Halo!

Pedang Ular Mas Chapter 27

Memuat...

Tak tempo lagi, pemuda ini berlatih didalam kamar itu sambil ia ikuti sesuatu petunjuk dari setiap ukiran. Kesudahannya ia jadi sangat girang. Satu kali ia dapat menjalankannya, terus ia ulangi dan ulangi lagi, sampai ia ingat betul.

"Terima kasih!" kata ia kepada Kim Coa Long-kun, dimuka kuburan siapa ia bersoja kui dua kali.

Pemuda ini hendak berlalu ketika ia tampak pedang aneh dari Kim Coa Long-kun, jang masih menggeletak dipinggiran, yang tadinya ia tidak perhatikan. Pedang itu rada bengkung bagaikan ular melilit diri, ekornya adalah yang merupakan gagangnya, sedang ujungnya, jang tajam, bercagak dua seperti lidah ular. Cagak ini bisa dipakai menikam berbareng menggaet senjata lawan.

"Tentu A Pa pikiri aku," pikir Sin Cie, jang terus jumput pedang itu, untuk dibawa keluar, begitu juga sejumlah Kim Coa Cui, senjata rahasia jang merupakan sebagai bor istimewa.

Dimuka terowongan masih ada melintang sepotong batu, yang agak menyulitkan untuk orang merayap keluar, iseng- iseng Sin Cie gunai pedangnya akan bacok batu itu. Untuk keheranannya, untuk kegirangannya, begitu ditabas, batu itu sapat! "Aha!" berseru pemuda ini. Itulah sebatang pedang mustika! Ketika ia coba menusuk, batu pun dapat ditikam bagaikan kayu saja! Bukan main girangnya pemuda ini, maka itu, ketika ia telah kembali kerumah, tidak buang tempo lagi, ia terus berlatih pula dilapangan peranti dia belajar silat. Mulanya ia jalankan ilmu pedang Hoa San Pay ajaran gurunya, nyata pedang aneh itu cocok untuk dipakai, akan tetapi kapan ia telah mencoba Kim Coa Kiam-hoat, kegirangannya meluap.

Selanjutnya, untuk belasan hari, tak ada bosannya, Sin Cie yakinkan semua pengajaran dalam kitab dari Kim Coa Long-kun, pelajaran senjata rahasia Kim-Coa-cui pun tak dilupakan, yang tak kalah liehaynya dengan ajaran Bhok Siang Toojin.

"Mungkin Kim Coa Long-kun tersesat tapi ia harus dikagumi," pikir Sin Cie, jang jadi menaruh harga kepada jago yang telah marhum itu.

Mempelajari kitab terlebih jauh, tiga halaman yang terakhir membuat Sin Cie pusing kepala. Ia membaca, ia melatih, tidak juga ia ketemu jalan. Ia memahami, ia tidak berhasil. Toh ia merasa, ia tak salah mengertikannya. Begitu beda itu dengan pelajaran gurunya... Malamnya, selagi rebahkan diri diatas pembaringannya, Sin Cie pikirkan kitab rahasia itu. Ia lihat sinar rembulan yang indah masuk dari jendela. Ia menghitung-hitung. Duapuluh delapan hari telah lewat dengan lekas sejak pergi gurunya.

"Lagi dua hari, aku mesti susul suhu," ia pikir. Tiba-tiba ia ingat sikap Thio Cun Kiu yang telengas. "Kitab ini sangat luar biasa, apabila ini terjatuh dalam tangan orang jahat, bahayanya untuk umum besar sekali. Kenapa aku tidak bakar saja?"

Sin Cie tidak berpikir lama dan segera ia ambil putusan. Ia turun dari pembaringan, akan sulut lampu, lalu ia ambil Kim Coa Pit-kip, tidak sangsi lagi, ia bakar itu.

Sekian lama, api menyala, membakar kitab, akan tetapi aneh, selagi semua lembaran habis hangus menjadi abu, adalah halaman kulitnya utuh, cuma hitam saja. "Aneh," pikir pemuda ini, apapula ketika ia coba beset, ia tak berhasil, sedang kedua tangannya kuat. Karena ini, ia perhatikan lebih jauh kulit buku itu, dipencet-pencet, disentil-sentil.

Segera ternyata, kulit buku itu terbuat dari tembaga campur emas dan dilapis entah dengan bulu apa dan juga lapis dua, mirip dengan baju kaos pelindung diri dari Bhok Siang Toojin, hanya ini ada terlebih tipis.

Dengan gunai pisau, Sin Cie coba korek akan buka kedua lapisan kulit buku itu. Untuk keheranannya, didalam situ ia dapatkan dua lembar kertas, yang ia lantas tarik keluar. Dihalaman depan, ia lihat tulisan bunyinya : "Gambar dari barang berharga." Dipinggiran itu ada peta- bumi serta banyak tanda-tanda. Dibelakang peta itu terdapat tulisan yang sebagai berikut bunyinya : "Siapa dapatkan harta, diminta dia pergi ke Cio-liang di Kie-ciu, Ciatkang, untuk cari Un Gie, untuk dihadiahkan uang sepuluh ribu tail."

"Sungguh jumawa!" pikir Sin Cie, karena jumlah itu besar sekali.

Sekarang pemuda ini periksa kertas yang kedua, yang memuat gambar ilmu pukulan, apabila ia telah periksa dengan hati-hati, ia sadar. Ini adalah gambar penjelasan untuk bagian ilmu silat didalam "Kim Coa Pit Kip", yang sampai sebegitu jauh masih kurang jelas untuknya, hingga tak dapat ia melatih diri dengan itu. Maka sekarang kegirangannya jadi meluap, hingga ia akhirnya menghela napas saking kagumi silat yang terrahasia itu. Terang telah disengaja, penjelasan didalam kitab dibikin kurang jelas dan itu Barulah terang apabila ini penjelasan dalam lipatan kulit halaman sudah diketemukan. Bagaimana hebat! "Coba peta bumi ini tak didapatkan, atau didapatkannya oleh orang tolol, bukankah harta besar itu bakal terus tak kedapatan?" pikir Sin Cie.

Dua lembar kertas itu diselipkan pula kedalam kulit kitab dan disimpan.

Masih Sin Cie rajin berlatih, sampai lewat lagi dua hari, sesudah mana, ia siapkan satu buntalan sederhana, untuk ia berangkat susul gurunya. Ia ambil selamat berpisah dari A Pa, siapa antar ia sampai ditengah gunung. Si empeh gagu ajak kedua orang hutan.

Berat Sin Cie merasa akan, setelah sepuluh tahun, mesti berpisah dari A Pa, dari kedua binatang piaraannya juga. A Pa sendiri ada masgul. Tapi juga kedua orang-hutan itu mengerti, keduanya pegangi tangannya si anak muda, keduanya berpekik. Mereka ini menahan orang berangkat.

Sin Cie terharu.

"Aku mesti bawa mereka!" pikir dia, setelah mana, ia bicara dengan tangan pada A Pa.

A Pa merasa berat tetapi ia kasih kedua binatang itu dibawa, maka itu, ketika ia turun gunung, Sin Cie diiring oleh dua binatang liar itu.

Inilah untuk pertama kali Sin Cie turun gunung, tidak heran apabila ia merasa asing dan lihat segala apa seperti baru baginya. Ketika pada suatu hari ia sampai di Shoasay, ia lihat gerakan tentara disana-sini dan disetiap tempat penting ada penjagaan tentara sukarela, yang melakukan pemeriksaan keras kepada orang-orang yang berlalu-lintas.

Di sebuah pos, apabila tentara yang menjaga dapat tahu, pemuda ini hendak menghadap Giam Ong, tak ayal lagi, satu serdadu diperintah mengantarnya ke markas besar dari Lie Cu Seng, sang jenderal. Sebab Sin Cie sebut dia muridnya Bok Jin Ceng, Lie Cu Seng keluar sendiri untuk menyambut, walaupun ia sedang repot.

Sin Cie kagum akan lihat pemimpin tentara ini mengenakan pakaian sederhana tetapi romannya gagah. Ia pun puas akan penyambutan manis dari pemimpin ini. Rupanya Bok Jin Ceng telah pujikan muridnya ini kepada kepala perang itu, hingga dia ini tidak berani mengabaikannya.

"Sayang gurumu sedang pergi ke Kanglam," Giam Ong terangkan kapan tetamunya tanya tentang Bok Jin Ceng.

Sin Cie menyesal, lantas hilang kegembiraannya, apalagi sesudah ia tanyakan Cui Ciu San, sahabat atau gurunya yang pertama itu, ia diberi keterangan, Ciu San pun ikut Jin Ceng ke Kanglam, untuk kumpul rangsum tentara.

"Hendak aku susul suhu," Sin Cie nyatakan. "Nanti, setelah bertemu sama suhu, aku akan kembali kemari untuk membantu."

Lie Cu Seng lihat orang berniat tetap, ia tidak mencegah.

"Kau temani dia bersantap," kepala perang ini kata pada Lie Gam, sebawahannya yang berpangkat Tie-ciangkun. Ia pun bekalkan uang sepuluh tail, uang mana Sin Cie tak berdaya menampiknya maka ia haturkan terima kasih.

Lie Gam ada ramah-tamah, melihat orang bawa-bawa orang-hutan dan pedangnya pun luar biasa, pedang mana bisa menarik perhatian orang, sedang cara dandannya si anak muda pun tak seperti orang kebanyakan, ia kasih pedang itu dititipkan didalam tangsi, sementara dilain pihak, ia lantas siapkan dua perangkat pakaian peranti mahasiswa. Sin Cie anggap pikiran itu baik, ia suka menurut, maka demikian ia tukar dandanan dalam perjalanannya ke selatan.

Pada suatu hari sampailah pemuda kita di Giok San sebelah timur dari Kangsay, habis bersantap, ia pergi kepelabuhan, akan sewa perahu untuk melanjutkan perjalanan kearah timur. Ia dapati sebuah perahu besar, yang tukang perahunya doyan persenan, sedang penyewanya, saudagar Liong Tek Lin asal Siang-jiau, Ciatkang, untuk beli barang, tak keberatan, karena dia lihat, pemuda itu ada satu siucay.

Disaat tukang perahu hendak jalankan perahunya, ditepian berlari-lari seorang anak muda sambil dia berkaok- kaok minta dikasi menumpang untuk ke Kie-ciu, katanya dia ada urusan sangat penting dikota itu.

Sin Cie ketarik mendengar suara nyaring orang tetapi halus. Iapun heran akan tampak wajah orang itu.

"Apa benar ada satu pemuda begini ganteng romannya?" memikir dia.

Pemuda itu berumur delapan atau sembilan-belas tahun, kulitnya putih halus, mukanya bersemu dadu, buntalannya tergendol dibelakangnya.

Liong Tek Lin merasa suka kepada anak muda itu, ia berikan perkenannya, maka tukang perahu lantas pasang papan tangga, untuk orang naik kedalam perahunya.

Begitu lekas orang menaruh kedua kakinya diatas perahu, Sin Cie terkejut. Ia merasakan bagaimana perahu mendadakan seperti melesak kedalam air. Ia heran sebab si pemuda itu kurus dan berat tubuhnya tak ada seratus kati. Kenapa dia ada begitu berat? Buntalannya juga tak besar. Sesampainya didalam perahu, pemuda itu beri hormat pada Tek Lin dan Sin Cie, ia menghaturkan terima kasih. Ia bilang she-nya Un dan namanya Ceng, bahwa ibunya dikabarkan sakit, ia hendak lekas-lekas pulang untuk menyambanginya.

Nampaknya pemuda ini menaruh perhatian kepada Sin Cie.

"Mendengar suaramu, saudara Wan, kau mestinya bukan penduduk sini?" tanyanya kemudian.

"Aku asal Kwietang, tetapi dibesarkan di Siamsay," sahuti pemuda kita. "Inilah untuk pertama kali aku pergi ke Kanglam."

"Ada urusan apa saudara datang ke Ciatkang?" tanyanya pula.

"Untuk menyambangi sanak saja," terang Sin Cie.

Selama itu perahu mereka asyik berlayar. Tiba-tiba dua buah perahu kecil, jang dikayuh cepat, lewat melesat dikedua samping. Un Ceng awasi kedua perahu itu, yang lenyap disebelah depan diantara tikungan, lalu kealingan bukit.

Disaatnya bersantap tengah hari, saudagar Liong baik budi, ia undang kedua anak muda itu dahar bersama, Sin Cie makan tiga mangkok, Un Ceng cuma satu. Selama itu, gerak-gerik pemuda she Un ini ada halus.

Boleh dibilang Baru mereka habis bersantap, terdengarlah suara air dikayuh, lalu terlihat dua buah perahu lewat disamping, dari sebuah diantaranya, seorang yang bertubuh besar, yang berdiri dikepala perahu, melirik beberapa kali. Menampak sikapnya orang diperahu kecil itu, alisnya Un Ceng berdiri dengan tiba-tiba, matanya bersinar, wajahnya berubah menjadi padam.

Heran Sin Cie akan lihat wajah orang itu.

"Dia begini muda dan cakap, mengapa romannya berubah sengit begini?" pikirnya.

Un Ceng dapat lihat keheranannya ini kenalan Baru, ia bersenyum, lantas wajahnya pulang asal, sikapnya tetap lemah-lembut.

Sebentar kemudian, tukang perahu datang menyuguhi air teh.

Un Ceng minum secegluk, mungkin ia anggap teh itu kasar, ia kerutkan alis, lalu cawan teh diletakinya diatas meja.

Sin Cie keluar merantau untuk pertama kalinya, kecuali segala pengetahuan yang didengar dari penuturan kedua gurunya, serta nasehat-nasehatnya mereka ini, begitupun sedikit pengalaman diwaktu belum berusia sepuluh tahun, ia belum punyakan pengalaman lainnya, akan tetapi disebelah itu, ia cerdik, otaknya hidup. Maka itu, ia duga, mungkin ada hubungan apa-apa diantara pemuda itu serta keempat buah perahu kecil, entah urusan apa itu.

Kedua perahu kecil itu lewat terus.

Mendekati sore, perahu besar berlabuh disebuah dusun. Sin Cie ingin mendarat, untuk pesiar. Tek Lin menolak, katanya tak dapat dia tinggalkan barang-barangnya.

"Ditempat tegalan sebagai ini, apa yang bisa dilihat?" nyatakan Un Ceng seraya ia mainkan bibirnya secara memandang enteng, agaknya ia hendak menyindir. Sin Cie jujur, ia anggap orang jumawa, ia tidak memperdulikannya, malah ia bersenyum, lalu ia mendarat seorang diri. Ia jalan-jalan sebentar, ia minum beberapa cawan arak, setelah beli sedikit bebuahan, ia pulang keperahu, niatnya mengundang Tek Lin dan Un Ceng, tapi dua orang itu sudah masuk tidur, maka iapun lantas rebahkan diri.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment